"Tahu, Ma. Itulah kenapa Dimas mencari-cari Angsana selama ini.", suara lelaki di seberang saat Ratna Arum memberitahukan perihal Angsana. Dirinya heran, sejak kapan putra bungsunya menaruh hati pada wanita itu.
Laki-laki itu mengamati ke seberang dari dalam warung makan sembari menikmati es teh kegemarannya. Angsana yang sedang berjalan kaki menuju ke dalam kantornya. Kenangannya berputar pada tujuh tahun yang lalu, saat dia masih berada dalam masa krisis memasuki usia pertengahan abad.
Saat kegelisahan akan bisnis yang sedang dijalaninya tidak mendapatkan kemajuan, tak ada cara lain baginya selain menemui ayahnya. Sore itu dengan menggunakan ojek, Dimas melaju ke tempat kerja sang ayah.
Dengan hati yang masih galau, dirinya tergesa memasuki pintu gerbang rumah sakit. Tanpa sengaja, dia berpapasan dengan Angsana yang sebetulnya masih kurang kuat untuk berjalan.
"Eh mbak...maaf..maaf..", kata Dimas sembari memegang kedua lengan Angsana.
Tangan Angsana reflek menggenggam erat tangan Dimas hingga dirinya bisa berdiri. Akibat sakit yang dirasakannya, tangannya tanpa sadar masih memegang laki-laki yang tak dikenalnya.
"Mbak kalau masih nggak kuat, saya antar ke dalam, ya", kata Dimas mulai khawatir dengan wanita yang ditabraknya.
"Nggak mas, nggak apa, saya barusan dari sana," kata Angsana masih sambil memegang tangan kekar Dimas yang menuntunnya untuk duduk di pinggir pagar beton setinggi paha orang dewasa.
Tak disangka pecah tangis Angsana tiba-tiba, sedangkan Dimas mulai panik, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Mbak...aduh jangan tiba-tiba nangis di jalan, saya takut nanti dikira saya ngapain mbak,"
Angsana terkekeh di sela tangisannya mendengar perkataan polos Dimas.
"Maaf ya mas, saya hanya lelah dengan hidup saya sendiri."
Dimas tertegun mendengar jawaban wanita di depannya. Kemudian memutuskan untuk duduk di sampingnya. Seolah tahu pria itu mendekat untuk mendengar, Angsana mulai mengeluarkan semua isi hati yang tak bisa dia ungkapkan sebelumnya.
"Dibuang oleh orang tua sendiri sejak lahir, ditemukan oleh ibu yang sangat baik hati tapi kemudian dipanggil Tuhan saat saya membutuhkan kebijakan dan perlindungan orang tua. Direndahkan, ditolak, dilecehkan, sudah menjadi satu bagian hidup saya setiap hari. Saya tak punya impian yang neko-neko. Cukup bisa merasakan bagaimana rasanya disayangi. Pada akhirnya saya jatuh cinta pada orang yang saya kira juga menyayangi saya. Saya nggak punya siapa-siapa, kalau ada yang datang dalam hidup, saya pasti berikan semuanya. Termasuk hidup saya.", Angsana menghela nafas berat.
"Tapi orang tua mana yang ikhlas membiarkan anaknya bersama dengan orang tidak jelas macam saya? Nggak ada. Pada akhirnya saya memang tidak pantas untuk disayang mungkin ya?" Angsana terkekeh. "Hari ini, lagi-lagi saya ditolak oleh orang tua kekasih saya. Dan dia sendiri pun ternyata sudah akan menikah dengan orang lain yang disebut selevel dengannya. Tak peduli saya mengandung anaknya sekalipun."
Dimas tertegun dengan ucapan Angsana. Dilihatnya dengan seksama wanita yang tak dikenalnya itu. Wajahnya tirus dan pucat dengan rambut lurus sebahu yang dibiarkannya tergerai begitu saja. Blus kuning polos dengan rok hitam bermotif bunga selutut nampak jauh dari kesan fashionable. Tas tangan LV yang diyakininya sebuah barang KW.
"Pada akhirnya saya memang harus kalah. Hari ini juga saya kehilangan janin itu. Meski ini tidak baik, saya ikhlas jika harus membesarkan anak itu sendiri. Toh selama ini saya juga terbiasa sendiri. Bukankah menyenangkan ya bisa bersama dengan keluarga kandung? Namun rupanya, takdir belum berpihak. Rasanya sungguh melelahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angsana (Completed)
RomanceKepingan puzzle hidup Angsana mulai tersusun satu per satu akan kehadiran Dimas. Jati diri Dimas yang selama ini dibencinya dan juga sangat dicintainya membuat Angsana merasa sangat dipermainkan. Pada saat seperti inilah, tidak ada orang lain yang l...