Angsana mendapatkan panggilan pada perusahaan yang terakhir dilamarnya. Seto menjadi sasaran kegembiraannya tanpa Angsana tahu tentang kegelisahan yang sedang menyelimuti Seto. Seperti pagi ini di telepon, ketika Angsana berpamitan untuk mendatangi tempat untuk wawancara.
Pada akhirnya Seto memberikan sinyal kegelisahannya pada Angsana.
"Sayang, aku mau kamu janji, apapun yang terjadi, kamu masih kekasihku, kamu orang yang aku sayang, dan kamu nggak akan ninggalin aku, ya?"
"Ya ampun, koq ngomongnya begitu terus sih, kenapa?"
"Enggak, aku cuma sedang khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah ini."
"Karena kita nggak kerja satu tempat? Kamu khawatir nanti ada yang tertarik sama aku? Aduh, sayangku....siapa yang mau?"
"Nyatanya aku mau,"
"Ya kamu aja. Yang lain mana ada? Orang kayak aku seperti ini, dapat kamu aja udah untung. Udah ya, jangan bertingkah seperti anak S1 yang baru pacaran, kita udah 10 tahun lewat dari masa itu, loh."
"Hei, tapi janji dulu, apapun yang terjadi jangan tinggalin aku, okay?"
Angsana menghela nafas panjang, "Iya, janji. Aku berangkat dulu ya."
Angsana menutup teleponnya, lalu memasuki gedung tempat dia akan diwawancara. Tanpa Angsana tahu, Seto sedari tadi mengawasinya dari lantas atas gedung tersebut.
"Ibu Angsana, sudah di tunggu, silakan ibu ke lantai 5, ruang konferensi 1, mari saya antar." Kata seorang pegawai laki-laki muda yang menerima Angsana dengan manis. Angsana tersenyum mengangguk dan menurut.
"Silakan duduk dulu, Pak Dimas akan segera datang."
"Pak Dimas?" Tanya Angsana kaget mendengar pegawai tersebut menyebut nama Dimas.
"Betul, Bu. Bapak Dimas Suherman, CEO dari perusahaan ini."
Mata Angsana terbelalak. Tiba-tiba saja dirinya menegang, jantungnya memburu. Dia tidak menyangka akan bertemu Dimas dengan cara langsung seperti ini.
"Silakan duduk, Bu. Saya panggil Bapak terlebih dahulu."
Wajah Angsana semakin menegang. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Siap atau tidak siap, dia harus menghadapi Dimas yang selama ini ditolak dan dibencinya.
"Mungkin ini yang dimaksud Seto, seharusnya aku lebih mawas diri lagi," pikirnya dalam hati.
Angsana semakin tidak tenang ketika mendengar suara di balik pintu.
"Sudah di ruangan? Makasih, Anwar."
Debaran jantung Angsana semakin terdengar keras. Tubuhnya gemetar, berpikir apa yang harus diucapkannya pada laki-laki yang ditolak kehadirannya itu. Mata Angsana tak mampu berkedip ketika melihat daun pintu bergerak dan pintu mulai terbuka perlahan.
Matanya semakin terbelalak, melihat kehadiran sosok yang sangat dikenalnya dalam balutan kemeja biru muda dan celana kerja hitam.
"Seto?"
"Sayang....", ujarnya canggung.
"Maksudnya gimana ini?"
"Duduk dulu, aku jelaskan."
Angsana menggeleng dan bertahan tetap berdiri pada tempatnya. Seto semakin mendekati Angsana yang kebingungan dengan situasi yang dihadapi sekarang.
"Sayang, kamu ngapain di sini? Siapa itu Dimas? Apa hubungannya dengan kamu? Dengan semua ini?"
Seto meraih tangan Angsana dan menggenggamnya erat.
"Sayang, aku....Dimas." Ungkap Seto dengan debaran jantung yang tak kalah keras.
"Ngawur! Bercanda kan?"
Angsana masih tidak percaya dengan apa yang dihadapinya saat ini.
"Nggak, sayang. Aku Dimas. Anggara Seto Dimas Suherman. Nama yang mengirim hadiah mewah untukmu, tapi itu sebenarnya Mama dan Papa yang melakukan. Niat mereka baik sayang, hanya ingin kamu segera mendekat padaku. Tapi itu salah, dan aku pun tidak menyetujuinya."
Angsana kehilangan kata-kata.
"Kamu mungkin nggak ingat, tapi kita bertemu untuk pertama kalinya di depan rumah sakit Laras Jiwa bertahun-tahun yang lalu. Saat kamu baru saja mengalami.....keguguran. Kita tabrakan tidak sengaja, lalu kita ngobrol di depan. Sejak itu, aku selalu mencari kamu. Aku ketemu kamu lagi, saat meeting di kantor cabang, dua kali. Aku berusaha mengajakmu bicara, namun pandanganmu tak pernah tertuju padaku. Lalu aku melamar menjadi OB di kantor, untuk bisa dekat denganmu."
Angsana terdiam tegang.
"Saat kamu resign dari kantor, aku nggak mau jauh darimu. Tapi kalau aku memintamu secara langsung kerja di sini, kamu pasti nggak akan menyetujuinya. Lalu..."
"Jadi selama ini kamu membohongiku?", potong Angsana cepat.
"Nggak sayang, aku nggak berbohong."
"Lalu, Seto si OB? Itu apa? Kamu bahkan selalu ada di depanku saat aku mengomel tentang Dimas. Pantas saja, kamu jarang sekali bicara tentang orang tuamu. Bu Ratna, huh...."
"Karena aku bingung dengan kekacauan yang terjadi karena ulah Mama."
"Tetap saja, kamu mempermainkanku dengan semua ini."
Angsana meninggalkan ruangan tanpa banyak berkata lagi. Perasaannya saat ini tidak tenang. Merasa dipermainkan oleh orang yang sangat dicintainya. Sedangkan Dimas masih berdiri lemas, tanpa bisa mengejar Angsana yang pergi dengan segala emosinya. Ini adalah saat-saat yang paling ditakutinya.
Curhatan penulis:
Segini dulu yaa...para pembaca. terima kasih sudah selalu menyimak Angsana.
Sekarang, saya mau mandi dulu, kemudian berangkat kerja. Nanti malam dilanjut lagi Angsananya yaa.... Terima kasih banyak.
3 atau 4 tulisan lagi rencananya Angsana akan TAMAT. Kira-kira endingnya enaknya bagaimana ya? Seto bersatu dengan Angsana, atau berpisah? Mohon sumbangan idenya hehe. Terima kasiiih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angsana (Completed)
RomanceKepingan puzzle hidup Angsana mulai tersusun satu per satu akan kehadiran Dimas. Jati diri Dimas yang selama ini dibencinya dan juga sangat dicintainya membuat Angsana merasa sangat dipermainkan. Pada saat seperti inilah, tidak ada orang lain yang l...