Dering telepon genggam mengagetkan Seto di sela aktifitasnya di depan laptop. Sebuah nomor tidak dikenal, rupanya.
"Halo?"
"Selamat siang, apakah benar ini nomor Nak Seto?"
Seto mengernyitkan dahi, "Betul, saya Seto. Dengan siapa?"
"Saya Irwan, pamannya Angsana."
"Oh, Om Irwan, ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa bertemu?"
Jantung Seto seakan berhenti berdetak. Ada apa gerangan Irwan memintanya untuk bertemu. Lebih dari itu, Irwan menghubungi nomor yang dipakainya dengan nama lain.
"Bisa Om, kapan Om ada waktu?"
"Sore ini sekitar jam 3, kita ketemu di luar saja sambil ngopi, ya?"
"Baik Om."
Seto menutup telepon setelah Irwan mengatakan tempat yang dituju. Dimantapkannya untuk menemui Irwan. Orang yang menggantikan sosok ibu angkat kekasihnya sebagai yang disebut keluarga. Apapun yang Irwan akan katakan, adalah untuk Angsana, pikir Seto.
Mendekati waktu pertemuan, Seto melangkahkan kaki ke dalam mall yang dituju. Dilihatnya Irwan menuruni tangga berjalan dari arah depan. Disapanya ramah.
"Sore, Om."
"Sore, Seto, mari kita sambil ngopi."
Irwan memilih tempat di pojok yang jauh dari pintu dan cukup sepi. Seto menuruti. Di tangannya tampak sebuah berkas.
"Kedatangan saya mengajak Nak Seto bertemu adalah tidak lain menyangkut Angsana. Saya ingin tahu, seberapa serius Nak Seto menjalin hubungan dengan Angsana. Karena saya, yang diamanahi oleh mendiang Ibunya untuk menjadi wali Angsana ketika menikah. Tentunya saya tidak ingin kalau Angsana tidak bahagia, kan?"
Seto menganggukkan kepalanya, "Niat saya baik, Om, dengan Angsana. Saya serius untuk mengajak Angsana ke jenjang pernikahan."
"Apa yang membuat Nak Seto begitu tertarik dengan Angsana?"
"Semuanya, Om. Sifatnya, kinerjanya, ide-idenya, juga parasnya. Saya tidak ingin menyangkal bahwa Angsana itu cantik bagi saya."
"Apa Nak Seto yakin, bisa membahagiakan Angsana dengan keadaan Nak Seto sekarang?"
Seto tertegun. Apakah ini berarti Irwan juga meragukan profesinya sebagai OB bisa membahagiakan Angsana?
"Maksud Om? Dengan profesi saya yang hanya sebagai OB?"
Irwan tersenyum penuh arti, "Benar. Profesi Nak Seto sebagai OB. Apa maksud Nak Seto? Terhadap Sana, maksud saya?"
Seto tidak mengerti arah pembicaraan Irwan.
"Nak Seto bilang bahwa niatnya baik terhadap Sana. Ingin mengajak menikah. Dengan berpura-pura menjadi OB, apakah itu benar bahwa niat Nak Seto bisa dibilang baik?"
Seto semakin terpojok dengan perkataan Irwan yang tepat sasaran.
"Saya tahu siapa Nak Seto. Makanya, pas ketemu di rumah Sana, saya merasa mengenal. Akhirnya saya ingat.", kata Irwan sembari menunjukkan sebuah salinan berkas kontrak perusahaannya terhadap sebuah perusahaan jasa layanan keamanan digital dengan tanda tangan pemiliknya yang tertulis atas nama Dr.Ing Anggara Seto Dimas.
Bagaikan mendengar petir, Seto kaget mendengar perkataan Irwan.
"Saya tahu, Nak Seto dan Sana saling mencintai. Itu adalah sebuah kebenaran. Dan saya juga sangat senang, Sana dicintai oleh orang seperti Nak Seto. Seperti satu diantara seratus juta kemungkinan, orang seperti Sana akan bersanding dengan orang seperti Nak Seto. Tapi, sampai kapan Nak Seto akan mempermainkan identitas di depan Sana? Jika memang serius, sudah saatnya Nak Seto membuka jati diri, sebelum dia merasa dipermainkan. Saya pikir, Sana bukanlah wanita yang tertarik dengan harta dan nama. Apalagi punya mertua sangat terkenal. Sana bukan orang yang percaya diri."
Seto hanya terdiam mendengar perkataannya. Yang dikatakan Irwan adalah benar. Benar bahwa dia menyembunyikan jati dirinya untuk bisa mendekati Angsana. Benar bahwa dia sengaja bekerja sebagai OB di kantor Angsana. Dan adalah benar, bahwa dia adalah anak bungsu Ratna Arum Miranti.
"Justru karena sifat Angsana yang seperti itu, saya melakukan ini semua, Om. Saya tahu, jika saya bertemu dengannya pada identitas saya sebagai Dimas, Angsana tidak akan pernah mendekat. Saya pernah mencobanya. Dua kali, Om. Setelah pertemuan saya dengannya untuk pertama kali yang membuat saya tertarik dengannya."
Irwan tersenyum. "Restu saya berikan untuk kalian berdua. Tapi, tolong, selesaikan masalah identitas Nak Seto dengan Angsana segera. Saya tidak ingin, Sana kembali murung seperti sebelum bertemu Nak Seto."
--**--
"Sayang, ini aku daftar ya?"
Kata Angsana membuyarkan lamunan Seto.
"Iya, daftar ya," kata Seto penuh arti, "Kamu nggak masalah kalau ditawarin gaji yang lebih sedikit dari gajimu sekarang kan?"
Angsana menoleh sembari tersenyum manja, "Iya kan aku bisa minta ke kamu sekarang."
"Yah, gajiku aja lebih sedikit dari kamu, sayang."
"Yang penting bisa cukup buat sebulan, nanti aku berkebun sayuran, jadi biar nggirit beli bumbu, ya kan?"
Dan Angsana melanjutkan ocehannya tentang impiannya setelah menikah. Pikiran Seto melayang, membayangkan bagaimana dia akan mengungkapkan jati dirinya pada Angsana.
"Angsana, ada yang ingin kubicarakan, sebetulnya, aku adalah Dimas."
"Angsana, aku Dimas, yang selama ini kamu benci."
"Angsana, orang yang mengejarmu selama ini itu aku, Dimas."
"Sayang?" kata Angsana membuyarkan lamunannya.
"Yah? kenapa sayang?"
"Tapi kamu nggak apa-apa kan kalau tinggalnya di sini? Aku males kalau pindah-pindah. Sayang?"
Seto menarik nafas lega. Dia hanya melamun.
"Iya, aku suka koq rumah ini. Nanti aku beli biar jadi atas namaku."
"Ih nggak mau, nanti kalau aku ribut, aku nggak bisa ngusir kamu dari rumah."
"Loh, koq niatnya gitu? Jahat banget..."
Angsana tertawa terbahak-bahak. Seto tiba-tiba memeluk Angsana dari belakang. Pelukannya yang semakin erat, membuat Angsana berhenti tertawa dan bertanya.
"Kenapa?"
"Aku takut kehilangan kamu."
Angsana heran dengan sikap Seto yang tiba-tiba berubah melankolis. Seto hanya menggelengkan kepalanya sambil masih mendekap erat kekasih yang sangat dicintainya. Dirinya tak tega terhadap perasaannya sendiri apabila harus mengatakan kepada Angsana tentang jati dirinya, lalu Angsana akan meninggalkannya. Seto, tidak, Dimas, belum mampu menghadapinya.
Angsana, wanita yang selama ini dicarinya. Wanita yang membuat hatinya tersentuh, membuat pandangannya akan kehidupan berubah. Wanita yang membuatnya jatuh cinta karena kesederhanaan lakunya, namun kekayaan hati dan pikirannya yang tak pernah terjamah yang lain. Dimas memikirkan itu lebih jauh. Bukan hanya fisik Angsana, melainkan berbagai macam potensi dalam diri Angsana yang membuatnya jatuh cinta. Dimas belum siap untuk kemarahan Angsana.
Didekapnya erat sembari memejamkan mata menahan air mata yang memaksa keluar.
"Aku sayang kamu, Sana."
Catatan penulis:
Mohon maaf kalau penulis tidak bisa membuat adegan romantis. Karena memang jarang diromantisin hiks. Hari ini saja, Shin, pacar saja, datang. Dia bilang mau masak. Wah sudah mau romantis, pikir saya.
Shin membiarkan saya mengetik cerita ini, lalu kemudian masakannya jadi. Mau tahu apa? Indomie pare. Iya pare yang pahit itu.
Sebuah pelecehan Indomie bagi saya. Indomie yang lezat itu menjadi tidak enak dimakan. Akhirnya saya harus rela menyingkirkan parenya sebelum menikmati Indomie.
Oh.....sungguh, kehidupan cinta saya jauh dari unsur keromantisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angsana (Completed)
Любовные романыKepingan puzzle hidup Angsana mulai tersusun satu per satu akan kehadiran Dimas. Jati diri Dimas yang selama ini dibencinya dan juga sangat dicintainya membuat Angsana merasa sangat dipermainkan. Pada saat seperti inilah, tidak ada orang lain yang l...