03.5

1.2K 84 4
                                    

Sana, hujan......

Udah di rumah?

--Seto


Angsana memandangi layar ponselnya dalam kegelapan, setelah dia mematikan lampu kamarnya. Suara gemercik hujan berpadu petir menggelegar di telinganya. Kotak pesan di ponselnya kini tak lagi penuh dengan pesan dari Raka. Seto telah memenuhi bukan hanya memori di ponselnya, melainkan juga di hatinya. Tak bisa lagi menghindar dari kenyataan bahwa Angsana telah tertawan oleh perhatian Seto.

Udah, tadi nebeng Raka.

Udah sampai kos?

Angsana--

Seto tersenyum membaca balasan dari Angsana. Usahanya meluluhkan hati Angsana membuahkan hasil. Sejak pertama kali Seto mengenal Angsana, dirinya sudah jatuh hati. Penampilannya yang sederhana, jauh dari kesan glamor dan make up justru membuatnya tertarik. Terkadang Seto merasa gemas ingin membelikan Angsana baju yang lebih fashionable. Namun ditahannya sendiri, karena takut Angsana justru akan membencinya jika dia nekat.

Angsana bukan seperti kebanyakan perempuan lain yang pernah singgah di hidupnya. Pengalamannya mengarungi pahit dan manisnya hidup membuatnya kuat. Meskipun begitu, Seto sangat memahami bahwa Angsana merasa kesepian. Angsana tidak butuh harta, atau pesona. Yang dibutuhkannya hanyalah kasih. Itu sudah cukup bagi Seto.

Namun, hati Angsana sangat keras, tidak mudah ditembus dengan mudah. Seto tidak ingin menyerah begitu saja. Cintanya pada Angsana mengalahkan semua gengsi yang dipertaruhkannya. Dia harus mendapatkan Angsana dan membuatnya bahagia.

Hei, aku nggak pandai bermain kata.

Tapi aku hanya ingin bilang, rindu.

Aku harap kamu adalah seseorang 

yang bersamaku membangun rumah kita bersama.

--Seto

Angsana tersenyum lebar membacanya. Meski begitu, air matanya kembali menetes di saat yang bersamaan. Dia sejatinya tak ingin berlari, tak juga ingin menghindar. Jika bukan karena cinta, untuk apa dia menangis saat ini? Jika Seto bukan tercipta untuk Angsana, lantas mengapa dia harus datang dan mendekat?

"Tuhan, apakah aku salah jika aku mencintai Seto? Apakah aku pantas untuk bersanding dengannya?" Isak Angsana lara sendiri.

Dimatikannya layar ponselnya, lalu tenggelam dalam isak tangis tanpa suara hingga terlelap. Tanpa membalas lagi pesan dari Seto yang sedang menunggunya. Seto menghela nafas panjang. Mungkin butuh waktu lebih lama lagi untuk meyakinkannya, batin Seto. 

--**--

"Mbak Sana, dicari Bu Ratna di ruangan Pak Bambang." Kata Joko mengejutkan Angsana yang baru kembali dari gudang.

"Hah? Serius?"

"Iya mbak, tadi sampai dibelain kesini. Terus beliau bilang kalau mbak Sana datang, suruh ke ruangan pak Bambang habis rapat direksi."

"Aduh....rekapanku belum selesai." Kata Angsana panik sambil memandang jam dinding di ruangannya. Masih ada waktu satu jam hingga rapat direksi selesai. Dengan segera, dinyalakan komputer kerjanya lalu dikerjakan tugasnya.

"Semangat mbak!! Katanya Bu Ratna kalau nggak puas bisa minta ganti tuh."

"Iya Jok, ngerti aku. Anak-anak desain katanya banyak yang diganti pas proyek interior katanya."

"Nah itu dia mbak. Untung bukan aku yang nge-handle ya." Kata Joko dengan penuh kemenangan.

"Hisssh....tadinya mau Tania itu, gara-gara dia harus pulang dulu jemput Varel, pas digudang adanya aku, ya..sudah."

Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang