02.2

1.1K 73 7
                                        

Seto, maaf ya tadi ada tamu dadakan, jadi kepotong obrolannya

Sebuah pesan singkat dari Angsana yang membuat Seto tersenyum senang. Dibalasnya dengan icon senyum. Seto menyukai Angsana. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan itu. Meskipun begitu, keraguan menyerang ketika dia memikirkan kedekatan Angsana dengan Raka yang menurutnya tidak umum. 

"Angsana...", ucapnya lirih sambil tersenyum.

Sambil melempar-lempar bola karet kesukaannya, Seto mengingat-ingat, ketika dua bulan yang lalu dia bertemu di sebuah restoran bintang 5. Angsana datang sendirian, dengan memakai kemeja rapi dan celana kerja. Padahal, tamu yang datang disana berpakaian luxury dress dan jas. 

Seto yang saat itu sedang bersama teman-temannya, terkejut melihat Angsana dari kejauhan. Setelah agak lama mengawasi, dan rupanya dia datang sendirian. Seto mendatangi Angsana dengan hati-hati. Disapanya ramah, meski hal ini agak mengejutkannya.

"Mbak Sana, sendirian?"

"Eh, hai....", kata Angsana sedikit kebingungan dengan siapa yang menyapanya.

"Saya Seto, mbak. Office Boy yang baru masuk di pantry lantainya mbak Sana."

"Oh, iya, iya...maaf, aku nggak ingat namanya."

Seto hanya tersenyum tanpa mempermasalahkannya. Angsana memandang sekeliling dengan heran. Dalam benaknya terpikir bagaimana bsia sekelas OB datang ke tempat ini. Sedangkan dirinya, mempertaruhkan segala gengsi yang ada di dalam dompetnya.

Nampaknya Seto membaca apa yang dipikirkan Angsana.

"Kebetulan saya diundang acara dari ulang tahun teman kuliah mbak, " kata Seto sambil menunjuk ke arah meja yang ramai dengan para lelaki seumurnya.

Angsana mengangguk-angguk, "Teman kuliah? Seto pernah kuliah juga?"

Seto tertawa sambil menarik kursi di depan Angsana, "Boleh?", dijawabnya dengan anggukan.

"Saya kuliah di fakultas ekonomi, mbak. Pernah dengar omongan masyarakat kalau sarjana ekonomi di Indonesia itu  kebanyakan, jadi banyak yang nganggur? Itu benar loh." Kata Seto sembari meletakkan kedua tangannya di meja dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Angsana.

"Jadi, daripada nganggur, kamu nglamar jadi OB?"

Seto kembali terkekeh, "Hidup saya seperti roller coaster, mbak. Saya pernah kerja mbak di perusahaan, kena PHK, terus nyoba usaha sendiri tapi gagal, ya sudah jadi OB saja, toh juga ini pekerjaan yang halal, untung tidak ditolak," 

Hati Angsana berdebar ketika Seto memandang lurus ke arah matanya sambil memangku tangan kiri di pipinya. Alunan musik dan suasana restoran membuatnya semakin salah tingkah. 

"Emm, Seto, kamu tadi makan apa? Saya koq bingung baca menunya.", kata Angsana sambil nyengir, mencoba untuk menutupi kegelisahan di hatinya.

Seto kemudian memandunya untuk memesan makanan. Angsana tidak enak hati bila Seto terus menemaninya dan meninggalkan teman-temannya. Namun Seto hanya kembali ke mejanya untuk berpamitan dengan teman-temannya, lalu duduk kembali di meja Angsana. 

"Saya agak malu mbak, teman-teman saya sukses-sukses, saya cuma OB."

Angsana tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dirinya tidak punya pengalaman dalam memotivasi orang. Yang dia bisa lakukan hanyalah meberi pukulan halus ke tangan Seto. Seto terhenyak. Ini adalah kali pertamanya mendapat perlakuan seperti itu dari seseorang. 

Angsana memutuskan untuk mentraktirnya, namun Seto menolak dan memaksa untuk mentraktir Angsana dengan mengancam akan marah dan mengacak-acak meja kerjanya di kantor. Angsana menurut, dia lebih tidak rela jika meja kerjanya disentuh orang lain. 

Semenjak itu, Angsana menilai Seto adalah orang yang baik. Dia tahu, bahwa hidup ini terkadang berlaku tidak adil untuk beberapa orang. Seperti dirinya, dan Seto. Dan kalimat itulah yang diucapkannya sebelum berpisah dengan Seto setelahnya. 

--**--

Cemburu pertama Seto adalah ketika hari dimana Pak Ardi memarahi Angsana. Saat itu ada yang melapor bahwa Angsana merubah susunan gudang tidak seperti biasanya. Alasan Angsana sederhana, dia mengelompokkan berdasarkan jenis barang. Tapi Pak Ardi tidak sependapat.

Angsana hanya meminta maaf, lalu terdiam. Di hadapan orang, dia memang tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Seto menyaksikan ketika Angsana dimarahi di depan banyak orang. Dan hal itu bukan hanya yang pertama. 

Seperginya Pak Ardi, Seto mengikuti Angsana yang berjalan menuju ke tangga darurat yang jarang dibuka. Namun Seto menahan dirinya untuk tidak ikut masuk, dan memilih sedikit membuka pintunya untuk mengintip apa yang dilakukan Angsana. Rupanya dia duduk menangis tanpa suara.

Meski bukan pertama kali, Seto tetap merasa trenyuh. Cukup lama dia berdiri di balik pintu. Sekitar sepuluh menit diam tanpa beranjak. Saat dia memutuskan untuk mendekati, diurungkan niatnya oleh sebab langkah kaki dari tangga atas. Raka.

Bak orang saling mencinta, Raka memeluk Angsana dari belakang, Angsana menghempaskan kepalanya ke bahu Raka. Pelukan ternyaman yang Seto pernah lihat sebelumnya. Lalu meledaklah seluruh isi hati Angsana.

"Aku udah tanya ke Bu Anne, katanya gapapa, katanya ide bagus. Tapi kenapa malah aku dimarahin gini? Dibilang bikin kacau? Kalau misal Bu Anne ga suka, ya bilang aja dari awal. Ga perlu pakai bilang ide bagus kan? Kalau dari awal bilang jangan, aku juga nggak akan ngerubah apa-apa!! Kenapa juga harus di depan semua orang terus kalo pas marah ke aku? Kenapa aku terus yang kena marah? Apa aku se-enggak becus itu kerja? Kenapa nggak pecat aja aku sekalian? Biar aku nyari kerjaan di tempat lain kan?Aku juga ga masalah kalau harus jadi cleaning service pun, apapun. Aku capek dari dulu kayak nggak bener aja."

Raka hanya menenangkan amarah Angsana. 

"Minggu lalu, aku dibilang presentasinya jangan terlalu mencolok, dibilang jangan sok-sokan menarik perhatian manajer. Tapi pas Tiara bikin presentasi yang sama persis desainnya, koq dibilang bagus sekali. Apa karena Tiara lebih menarik dari aku ya? Atau memang karena aku bodoh? Kenapa selalu aku yang dimarahi? Aku nggak pernah menuntut apapun. Paling cuma menyampaikan ide kecil, tapi ditolak pun aku nggak masalah. Dilarang pun aku nggak akan protes juga. Tapi kalau aku memang bikin salah, tolong tegur aku langsung ditempat. Terus udah, jangan bawa-bawa ke atasan sambil...ah entahlah. Aku capek "

Pelukan Raka semakin erat sembari meletakkan kepalanya pada bahu Angsana. Dada Seto semakin panas, membuatnya tidak sanggup berada disana lebih lama lagi. Dilangkahkan kakinya perlahan, lalu pergi untuk menenangkan hatinya sendiri.

--**--

Ingatan tentang kejadian itu membuat Seto menangkap bolanya dengan cepat, meremasnya, lalu melemparnya dengan keras ke lantai. Dengan tanpa menangkapnya lagi, Seto bangkit dari tempatnya, mengambil jaket di atas kursi, lalu pergi meninggalkan kamarnya. 

Curhatan penulis:

Kali ini saya membayangkan backsound musik adegan ketika Seto bertemu dengan Angsana di restoran adalah seperti lagu Single ini. Saya kebetulan memang penggemar lagu-lagunya Ne Yo. I grew up with his songs loh. 

Entah karena saya memang sedang sentimental karena lagi mau menstruasi, tapi lagu ini buat saya justru terkesan sedih e. Bagaimana menurut pembaca semua?

Ngomong-ngomong, hari ini saya ke Tokyo lagi. Sudah sebulanan saya nggak ke Tokyo. Semenjak kontrak kerja Shin berakhir di sana, dia kembali ke sini. jadi kita lebih punya banyak waktu kentjan haha. Tapi, Tokyo menjadi sedikit lebih sepi karena tidak ada yang diajak jalan-jalan lagi. 

Tapi, untung saja ada sahabat-sahabat yang selalu menyambut saya dengan keramahannya di Tokyo. 

Ceritanya disambung habis pulang dari Tokyo yaa...

Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang