04.3

1.3K 78 2
                                    

Terkadang cinta membuat seseorang menjadi kuat melawan ketakutannya. Seperti itulah gambaran yang sedang dialami Angsana. Rasa cintanya yang semakin membesar membuatnya lebih berani mengambil resiko apa yang akan dihadapinya. 

Berkali-kali Angsana menarik nafas dan meyakinkan dirinya sendiri di depan kaca toilet. Di tangannya tergenggam barang-barang pemberian Dimas. Dia sudah memilih untuk menerima Seto dalam hidupnya. Dilangkahkan kakinya dengan mantab mendekati Ratna Arum yang sedang berjalan menuju ke dalam mobilnya.

Angsana tak peduli lagi dengan resiko yang akan di hadapinya. Baginya, toh dia bisa melamar kerja menjadi cleaning service atau office girl. Hal itu akan membuatnya menjadi lebih nyaman  dibandingkan status pekerjaannya sekarang yang lebih tinggi dari Seto. 

"Bu Ratna, boleh minta waktunya sebentar?"

Ratna Arum menoleh, lalu melihat apa yang dibawa Angsana. Dirinya tertegun, tak menyangka Angsana akan berbuat sejauh ini. 

"Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk Mas Dimas yang sudah mengirimkan banyak sekali hadiah ini. Tapi, saya rasa, saya tidak pantas untuk menerimanya. Bukan karena tidak suka, saya suka bu. Saya saja tidak mampu membeli ini semua. Tapi, saya tidak merasa pernah mengenal mas Dimas sebelumnya. Bertemu pun tidak pernah. Selain itu, saya sudah menentukan pilihan hati saya untuk orang lain. Saya mohon maaf sebesar-besarnya pada Ibu, Bapak dan juga mas Dimas. Saya kembalikan ini semua. Maafkan saya."

Ratna masih mematung sebelum akhirnya meminta supirnya untuk menerima barang-barang tersebut. Angsana masih menunduk. Dari kejauhan, Seto mengawasinya dengan tegang. Ratna awas dengan hal itu.

"Baiklah jika itu keputusanmu, saya hargai. Terima kasih banyak." kata Ratna sambil berlalu.

Angsana mengawasi kepergian mobil Ratna dengan perasaan khawatir. Segera dia masuk ke dalam kantor dan menemui Seto yang segera menenangkannya. 

"Kayaknya aku harus cepat-cepat beres-beres meja. Siapa tahu besok senin aku dipecat."

"Kupikir Bu Ratna nggak akan seperti itu, Sana."

"Dia punya kuasa, dan tindakanku tadi mungkin jadi sebuah penghinaan baginya." kata Angsana berjalan cepat kembali ke ruangannya. Meninggalkan Seto yang menarik nafas panjang memperhatikan wanita yang dicintainya penuh dengan pikirannya sendiri. 

Tak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita Angsana menolak semua pemberian dari Ratna Arum. Orang-orang satu kantor memandangnya dengan aneh. Seolah tidak percaya seorang Angsana bisa menarik hati putra Ratna Arum, dan menolaknya mentah-mentah. Anne menyebutnya sebagai wanita yang tidak tahu diri.

"Kamu tuh ya, udah syukur dipekerjakan sama Bu Ratna, kerja nggak beres-beres kayak gitu harusnya udah diganti bahkan nggak usah dipilih sekalian. Terus sekarang sok-sokan nolak anaknya Bu Ratna, gila kamu ya. cewek-cewek di kantor ini banyak yang lebih baik dari kamu, mereka lebih pantas sama anaknya Bu Ratna dibanding kamu tau nggak? Nggak tau diri banget. Nggak ngerti apa maumu."

Angsana hanya mampu menarik nafas panjang. Sepanjang dia berjalan di dalam kantor, yang terdengar hanyalah bisik-bisik karyawan lain.

"Angsana nolak anaknya Bu Ratna, gila kali ya dia?" Angsana masih tahan.

"Apa yang dilihat dari Angsana?", masih bisa dihadapinya dengan tersenyum.

"Kupikir dia itu ngejar Raka.", Angsana mulai menggelengkan kepalanya.

"Loh, bukannya dia ngejar Budi? Sering loh dia liatin Budi dari kejauhan.", Angsana mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Denger-denger dari OB, dia pacaran sama salah satu OB." Angsana mulai menahan nafasnya.

"Baguslah, emangs eleranya rendahan, pantesan aja anaknya Bu Ratna ditolak. Kalau aku ajdi dia, mendingan sama anaknya bu Ratna."

"Nggak nyangka ya di depan keliatan pendiam, ternyata kayak player juga."

Tak tahan sendiri dengan omongan yang didengarnya, Angsana memilih untuk menyendiri di rooftop. Memandang Jakarta dari atas, dirinya mempertanyakan apakah salah jika dia memilih cintanya sendiri? Cinta yang membuatnya merasa benar-benar dicintai dengan segala kesederhanaannya.

Angsana sedang memainkan rambutnya dengan pandangan ke bawah. Saat itu juga Budi dan teman-temannya datang. Angsana tidak bergeming di tempatnya. Meski samar terdengar juga percakapan diantara mereka.

"Angsana tuh."

"Katanya suka sama lo, Bud."

"Oh jadi dia nolak anaknya Ratna Arum karena gue? Ck, kayak nggak ada cewek lain yang mau direbutin aja." Kata Budi disambut dengan suara tertawa teman-temannya.

"Mmmhh, Shinta nge-WA, katanya dia baru denger gosip Angsana pacaran sama OB.", kata teman Budi yang lenjeh berkacamata.

"Nah, emang harusnya levelnya disitu. Udah bener nolak sih, nggak level dia sama keluarga Ratna Arum.", kata yang lain.

Angsana hanya menghela nafas berat. Dia tidak menyangka tindakannya akan berakibat seperti ini. Baginya, hal ini lebih buruk dari sekedar dipecat. 

"I didn't see that coming!", kata Raka yang memang sengaja sedang mencari Angsana, mendengar percakapan mereka, "Woy!! Kalo ngomong jangan sembarangan! Nggak usah kegeeran lo Bud!"

"Wooo Raka, gadunnya Angsana! Dikasih apa sama dia sampe suka ngebelain terus?", kata salah satu teman Budi.

Raka sudah bersiap untuk memukulnya, namun tangan Angsana mencegahnya. Tanpa sepatah kata pun, Angsana menarik Raka ke dalam kantor. Meninggalkan mereka dengan tertawa cekikikan. 

"Sana! Ngapain dicegah? Udah mau kena mukanya!"

"Udah Raka, udah. Apa yang mereka bilang bener kan? Aku sempat suka sama Budi. Memang masih ada banyak cewek yang lebih dari aku. Emang levelku cukup di OB aja. Itu semua bener, Raka. Mau ngebantah apa lagi?"

"Tapi nggak gitu juga cara mereka ngomong!"

"Aku nggak apa-apa. I am ok!", kata Angsana meyakinkan Raka. Meski telinganya panas, hatinya terpukul, namun dia harus meyakinkan agar Raka tidak mengamuk di kantor. "Aku mau ke pantry dulu. Kamu ada meeting kan habis ini, siapin itu. Aku nggak apa-apa, Raka. Please..."

Raka menurut. Dibiarkannya Angsana pergi menuju pantry. Dia tahu, Angsana akan mencari Seto. 

Seto telah menunggunya. Dipeluknya Angsana segera dan dibimbingnya untuk duduk. Sepiring nasi rames dengan es teh manis sudah disiapkannya. Sengaja dirinya tak menanyakan apapun karena dia tahu Angsana pasti tak bisa menahan emosinya saat ini. 

"Enak?", kata Seto memecah keheningan, Angsana hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya berkaca-kaca. 

"Besok libur kan, aku mau mindahin mawar-mawarmu ke tanah, di belakang pagar. Biar rapi dan akarnya nggak penuh. Aku udah belajar berkebun lho. Nih aku beli buku buat bikin taman," kata Seto sembari menunjukkan sebuahbuku tentang Landscaping.

Angsana tahu, Seto mencoba mengalihkan perhatiannya dari apa yang baru saja terjadi. Namun hatinya masih terasa penuh dengan apa yang dia dengar sedari tadi. Hanya saja, mulutnya tidak bisa mengutarakannya.

"Sana minta pulang aja gimana? Sana kan sering lembur, hari ini juga nggak ada kerjaan lapangan atau meeting kan? Bisa dikerjain di rumah. Ya..", bujuk Seto yang mulai khawatir dengan keadaannya.

Diusapnya lembut rambut kekasihnya. Angsana mengangguk lemah. Hari ini Angsana pulang cepat. Tak peduli apa yang akan terjadi sepulangnya. Dia berusaha untuk tidak mendengar apapun.


Curhatan penulis:

Saya bohong!! Ternyata wangsit Angsana datang lagi. Masih agak kasar sih. karena harus berpacu dengan waktu untuk mengejar jam reservasi pijet hehe. 

Mama needs massages.

Semoga pembaca suka dengan updatean Angsana kali ini ya.....

Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang