04.2

1.3K 78 2
                                    

"Hei!"

Sapa Angsana dengan kedua tangan yang dimasukkannya ke saku belakang celana panjangnya.

"Hai! Kayaknya aku salah waktu ya?"

"Eh enggak koq, duduk..duduk..."

Angsana melihat Seto membawa sebuah kotak kado kecil yang kemudian disembunyikannya .

"Uhm..aku kesini mau ngucapin selamat ulang tahun, Sana."

"Makasih Seto, kan udah semalam ditelepon," kata Angsana dengan sedikit ekspresi malu, "Itu...", katanya sembari menunjukkan isyarat akan kado yang dibawa Seto.

Namun mawar dan bingkisan dari Dimas di atas meja membuat nyalinya ciut.

"Ah, iya, ini cuma hadiah kecil buatmu. Aku membuatnya beberapa hari ini.", Seto sembari menyerahkan kotak itu pada Angsana.

"Wow...", Angsana takjub, sebuah kalung dengan liontin resin dengan desain antariksa yang indah. Dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya kali ini. Senyumnya merekah meski masih nampak malu-malu di depan Seto.

"Bukan apa-apa sih dibandingkan dengan itu semua," kata Seto sembari menunjuk barang-barang dari Dimas. 

"Itu semua yang bukan apa-apa dibandingkan dengan ini. Makasih ya, Seto.", kata Angsana sambil menatap lekat mata Seto. Jantungnya berdebar kencang, berusaha ditahan nafasnya agar tidak nampak begitu memburu. 

Seto meraih tangan Angsana, diajak duduk di sampingnya. "Sana, aku mungkin tidak seperti dia yang mengirimkanmu banyak hal, atau seperti Raka yang selalu ada untukmu 24 jam, aku sendiri tidak percaya diri dengan apa yang akan kulakukan. Tapi, yang aku tahu, aku sayang kamu, Sana. Aku ingin kita berdua melewati hari-hari ke depan bersama-sama."

Angsana meletakkan sebelah tangannya di atas tangan Seto yang menggengamnya, lalu ditariknya halus. 

"Seto, Raka itu bagiku sudah seperti saudara kandung. Kita memang saling menyayangi, tapi tidak akan pernah lebih dari sekedar sahabat.", Angsana berhenti sejenak, pandangannya diarahkan kepada satu kuncup mawar yang hampir kembang. "Dimas itu, aku bahkan tidak mengenalnya. Bertemu saja tidak. Aku hari ini ketakutan sekali, karena sejauh itu dia menguntitku."

Angsana melanjutkan, "Mungkin aku nggak tahu apa yang sedang kurasakan. Mungkin perasaan kita sama, mungkin juga berbeda.", kemudian mengarahkan pandangannya pada Seto. "Kamu hadir lalu mengisi ruang hatiku begitu saja. Raka bilang aku jatuh cinta. Aku pikir juga aku jatuh cinta. Tapi, sebelum aku jatuh karena cinta, aku ingin kamu tahu bahwa kau punya masa lalu dan ketakutan yang nggak akan mungkin banyak orang menerimanya."

"Katakan padaku, Angsana. Aku dengarkan." kata Seto dengan lembut.

Angsana menceritakan semua kisahnya. Tidak ada yang terlewat. Seto mendengarkan dengan seksama, dengan tatapan lembut yang Angsana tak pernah alami sebelumnya dengan siapapun selain Raka. Mata Seto seolah mengatakan, aku tidak peduli dengan itu semua.

"Seto, apa kamu mau menerimaku yang seperti ini?"

"Masa lalu itu adalah bagian darimu. Kalau aku mencintaimu saat ini, artinya aku juga mencintai masa lalumu. Karena itu satu paket. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah, bagaimana nanti kita akan merajut masa depan yang lebih indah. Dan itu nggak bisa aku lakukan jika kamu tidak ikhlas dengan semua kisahmu sendiri, Sana. Aku tidak mempermasalahkan itu."

"Kamu, nggak kaget atau marah denganku?"

Seto menggeleng sambil tersenyum. "Untuk apa marah, Sana? Aku justru lega kamu bisa mengutarakannya. Itu artinya kamu mulai mempercayaiku, bukan?" goda Seto yang membuat Angsana tersipu.

"Tapi Seto, bagaimana dengan orang tuamu? Dulu, dengan Jansen, dia selalu bilang tidak masalah jika aku yatim piatu, tapi ternyata... Aku takut aku tidak diterima lagi. Aku mohon, bicarakan dulu dengan orang tuamu. Aku nggak mau, karena kalau kamu nekat, kedepannya aku yang akan kena masalah. Hidupku sudah susah, Seto, jangan buat ini tambah susah."

Seto menenangkan Angsana dan berjanji untuk berbicara dengan orang tuanya setelah ini. Diajaknya Angsana keluar untuk makan malam. Dalam hati Angsana, ada perasaan lega yang luar biasa. Setidaknya, bebannya menahan perasaan sudah lepas. Masih tidak percaya bahwa dirinya dan Seto saat ini saling berpegangan tangan, berjalan bersama di bawah cahaya lampu malam ibukota.

--**--

"Ma....mama"

"Dimas? Tumben malam-malam begini pulang."

"Mama ngirim hadiah buah Angsana atas namaku?"

"Mama cuma kirim dia baju kerja, nak. Ada apa?", Ratna Arum bingung dengan Dimas yang saat ini berbicara dengan nada tinggi.

"Yang ngirim mawar siapa?"

"Itu papa. Tapi juga papa kirim gaun koleksi butik kita yang terbaru. Paling besok sampai.", kata Suherman yang muncul menyusul Ratna dari belakang.

"Pa!!! Apa-apaan sih Mama sama Papa!! Kenapa harus pakai nama Dimas? Ma, Pa??"

"Ya..supaya kalian segera jadian, lalu menikah."

"Tapi nggak kayak gitu juga kan?"

"Tenang, Dimas! Papa juga melakukan hal yang sama dengan abang-abangmu. Tidak ada niat selain untuk mempercepat proses kalian. Wanita itu suka kejutan, Dimas. Kamu terlalu lama pendekatannya."

"Ha....h... Sekarang Dimas tau kenapa abang semua punya istri-istri sosialita. Karena ulah Papa Mama sih! Angsana bukan tipikal ornag yang silau dengan semua itu. Ini malah membuat Dimas jelek di mata Angsana. Tolong, hentikan.", Dimas memohon dengan sangat pada kedua orang tuanya untuk benar-benar tidak ikut campur kali ini.

"Dimas ingin Angsana jatuh cinta dengan sendirinya. Kalaupun tidak, tidak masalah. Cinta nggak bisa dipaksa Ma, Pa. Tapi setidaknya, Dimas pernah mencoba untuk mendekatinya dengan cara Dimas. Bagi DImas, Angsana bukan permata Ma. Angsana adalah Angsana. Pohon dengan kayu yang sangat keras, dan bunga yang sangat indah, yang bisa tumbuh di tanah yang keras sekalipun."

Dimas menghela nafas panjang.

"Sekarang, Dimas harus mengembalikan nama Dimas di mata Angsana. Dan itu akan sangat sulit sekali.", katanya sembari berjalan keluar dari rumah. Meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang memahami keinginan putra bungsunya itu.

Sebelum sampai ke pintu depan, Dimas berhenti, dan berbalik, "Yang Angsana butuhkan bukan kejutan, bukan barang mewah. Dia hanya ingin diterima oleh calon mertuanya. Tidak ada hal lain yang dia inginkan selain itu, Ma, Pa."

Ratna Arum dan Suherman tertegun dengan itu. Herman mendekati Dimas perlahan, lalu meletakkan tangannya meremas pundak anaknya, "Papa dan Mama sudah mengambil keputusan untuk mendukungmu, membantumu meski kamu nilai kurang tepat. Ini adalah bukti bahwa Papa dan Mama menerimanya. Sekarang, kami serahkan sepenuhnya padamu. Kejarlah dia dengan caramu. Nyamankan dia dari kekhawatirannya."

Dimas mengangguk lega. "Makasih Ma, Pa..."

--**--

Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang