04.4

1.3K 77 2
                                    

Hujan di Sabtu pagi tidak mengurungkan niat Seto untuk bertandang ke rumah Angsana. Dilihatnya sang kekasih sedang bermuram hati membaca sindiran tentangnya di sosial media. Berkali-kali Seto mengatakan untuk jangan lagi dilihat, namun tak diindahkannya.

Suara perut dihiraukannya, pandangannya masih tertuju pada ponselnya. Seto menggelengkan kepalanya sembari berjalan ke dapur dan mulai memasak. 

"Makan dulu," katanya sembari merebut ponsel Angsana. 

"Orang-orang kantor punya grup whatsapp tapi aku nggak dimasukin ternyata."

"Aku juga nggak ada koq, tenang aja."

"Ya kamu kan OB."

"Sama-sama karyawan kan?"

"Salah aku apa sih?"

Seto tak tega melihat pandangan mata Angsana yang berkaca-kaca. Direngkuhnya Angsana dalam pelukannya.

"Tak ada alasan orang untuk menyukaimu, begitu juga dengan membenci. Benci itu bukan merupakan salah atau benar. Benci itu sama seperti cinta, perasaan yang kamu nggak tahu kenapa ada."

"Tapi kenapa aku?"

"Karena kamu diam. Kamu nggak balas."

"Apa itu salah?"

"Enggak, tapi nggak benar juga. Ada kalanya, kita juga utarakan apa yang ada di pikiran kita, sayang. Karena kamu selama ini nggak pernah mengatakan apa yang sebenarnya ada di pikiranmu, di hatimu, jadi...sekalinya kamu ngomong jujur, orang kaget. Bukan salah siapa-siapa. Tapi juga bukan sebuah hal yang bagus."

Angsana hanya terdiam sembari memeluk lengan Seto dengan manja. 

"Sering-sering ngomong jujur dengan perasaanmu, ya? Masak cuma sama Raka aja beraninya?"

"Raka itu orangnya baik dan sayang sama aku."

"Aku juga sayang."

Angsana tersenyum malu sembari menyembunyikan wajahnya di bawah ketiak Seto. Diusapnya rambut Angsana perlahan. 

"Percayalah, Sana, Embah pun pasti akan berkata demikian.", ujar Seto sembari melihat ke arah foto Angsana kecil bersama Embah.

"Hei, daripada mikirin itu terus, aku mau ngomong serius."

Angsana menengadahkan wajahnya, membuat jantung Seto berdetak lebih kencang. 

"Sana, ingat pesanku beberapa waktu lalu?"

"Yang mana?", wajah Angsana yang terlihat imut di mata Seto membuatnya menahan nafas.

"Yang aku bilang, aku ingin membangun rumah bersama Sana. Aku serius dengan hal itu. Aku memang tidak bisa menjanjikan banyak harta seperti Dimas, atau perlindungan seperti yang dilakukan Raka kepadamu. Tapi, akan aku usahakan untuk membuatmu selalu seperti ini. Sekarang ini. Menggelayut manja, tersenyum malu, pipi yang merona merah. Aku ingin melihat itu setiap hari."

Seto menelan ludah sebelum melanjutkan, "Sana, maukah kamu menikah denganku dan menjalani sisa hari kita bersama?"

Angsana tidak menyangka Seto akan mengatakan hal ini secepat itu.

"Kita sudah seharusnya menikah, Sana. Ingat umur.", ucap Seto mencoba mencairkan ketegangan.

"Tapi, aku belum tahu, apakah orang tuamu menyukaiku atau tidak. Apakah mereka menerimaku dengan masa laluku? Aku nggak mau kamu berbohong atau tidak mengatakan dengan jujur tentang aku apda orang tuamu. Aku tak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Sakit, Seto." Kata Angsana sembari bangun dan duduk dengan tegak.

"Mereka sudah tahu. Dan mereka menerimamu. Aku tahu, mereka akan menyayangimu, aku bisa menjamin itu."

"Mereka belum pernah bertemu denganku. Bagaimana mungkin kamu bisa seyakin itu?"

Pertanyaan itu tidak dijawab Seto. Hanya senyuman yang diberikannya sembari merapikan rambut Angsana.

"Aku mau kamu ketemu dulu dengan Om Irwan. Aku mau tahu pendapat Om Irwan tentang kamu. Sebelum aku sakit dan terbuang untuk kesekian kalinya."

"Baik, setelah itu, kamu ketemu orang tuaku, ya?"

Angsana mengangguk, meski dalam hati ketakutan masa lalu mulai menghantuinya lagi.

"Besok acara nikahan Rania. Kita pergi ya?", Seto mengangguk. 

"Sekarang makan dulu, terus telepon Raka, dari tadi kirim pesan belum kamu buka, kan? Jangan bikin dia khawatir. Bisa ngamuk nanti, yang diamuk pasti mbak Sekar, kan?", kata Seto sambil melirik ke ponsel Angsana yang diletakkannya di meja. Angsana tertawa mendengarnya. Memang benar, setiap Raka khawatir, sasarannya jika bukan Sekar, adalah dirinya. 

--**--

Seto tak berkedip memandangi Angsana yang berbalut kebaya putih dengan rok batik yang menawan. 

"Nggak kayak ibu-ibu kan?"

"Masih kayak gadis umur 25-an."

"Ck, bohong!", katanya sambil menggandeng tangan Seto. "Pinjam Mirai lagi?"

"Iya donk, yang available," ujar Seto sambil tertawa.

Seto melajukan mobilnya ke tempat resepsi. Meskipun dia berusaha tidak nampak tegang, namun hatinya berdebar. Ini adalah kali pertamanya dan satu-satunya dia melamar wanita. Meski masa mudanya dia sering berganti pacar, namun baru kali ini dia berani untuk berhenti berpetualang. 

Pernikahan Rania sangat megah. Wajar saja, karena Irwan Santoso merupakan salah satu pengusaha yang sukses. Besannya juga merupakan seorang wakil rakyat. Pesta pernikahan yang begitu mirip dengan perayaan di negeri dongeng ala Disney. Rania sangat anggun dengan baju pengantin berwarna emas. Gemerlap lampu kristal di ruangan menambah daftar mewah acaranya. belum lagi, tamu undangan yang berasal dari kalangan atas. 

Angsana sengaja menghindari keluarga Irwan yang lain. Dirinya masih merasakan ketegangan di mata mereka yang melihatnya datang. Namun dia tak mampu menolak saat Kevin menarik tangannya, meminta berfoto keluarga bersama. 

Rania tak henti-hentinya memintanya berfoto bersama. Tak mempedulikan tantenya yang sedikit menyindir mengapa dia bisa sedekat itu dengannya. Angsana akhirnya menepi setelah memaksa Rania untuk menyambut teman-temannya terlebih dahulu. Seto menghampirinya. Begitu juga dengan Irwan.

"Sana, makasih sudah datang."

"Selamat ya Om, akhirnya Rania sudah mentas."

"Ini kan...."

"Seto om, kita pernah bertemu saat Om berkunjung ke rumah Angsana beberapa bulan lalu," potong Seto cepat sembari mengulurkan tangan memberi salam.

"Pacar Sana, Om."

"Aa...waktu itu masih teman ya?", seloroh Irwan membuat Angsana tersipu malu. "Ya..ya...sudah serius dengan Angsana?"

"Insyaa Allah serius, Om." Ujar Seto mantab.

"Saya sebagai wakil ibunya Angsana hanya bisa menyetujui keputusan Angsana, selama itu adalah yang terbaik dan membuatnya bahagia. Tapi ingat, kalian harus bisa jujur satu sama lain."

Tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan Irwan, Angsana hanya mengangguk-angguk. Dirinya senang, Irwan menyetujui pilihannya. Setelah berbincang agak lama, Angsana lantas membaur menuju ke meja makan bersama Seto. Irwan masih berdiri di tempatnya untuk beberapa lama, mengamati Seto dengan penuh arti.


Curhatan penulis:

Ngantuk........sudah segini dulu ya pembaca. Terima kasih atas waktunya untuk membaca Angsana :)


Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang