Airin terus menatap keluar jendela atau sesekali memainkan ponselnya. Sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Nino di sampingnya. Biar begitu, suasana di dalam mobil tidak begitu sunyi lantaran suara penyiar radio mengisi keheningan di antara keduanya juga suara dari klakson kendaraan lain di tengah kemacetan. Sesekali Nino mengetukkan jarinya pada setir mengikuti irama lagu yang diputar oleh radio.
Hingga akhirnya Airin menyadari kalau sedari tadi Nino tidak menanyakan alamat rumahnya. Sontak, cewek itu menoleh ke Nino. "Elo dari tadi nyetir, emang tau dimana rumah gue?" tanya Airin.
Nino tersenyum mendengar pertanyaan tersebut. "Akhirnya elo nyadar juga. Gue nggak tahu Airin. Tapi gue sengaja nggak mau nanya biar elo ngajak ngobrol gue duluan...,"
Airin mendengus pelan. Setelah menyebutkan alamat rumahnya pada Nino, Airin kembali menatap keluar jendela.
"Airin... mau denger cerita gue nggak?" tanya Nino tiba-tiba setelah akhirnya merasa bosan dengan diamnya Airin.
Airin melirik cowok itu sekilas. "Cerita apaan?"
Nino menahan senyumnya. "Mau denger atau nggak?"
Serta-merta kedua bola mata Airin menatap tajam penuh kekesalan pada wajah 'tengil' Nino. "Cerita apaan dulu?"
"Gue tanya duluan loh... elo mau denger atau nggak? Kalau nggak mau denger yah gue nggak akan cerita... kalau mau denger yah gue ceritain...,"
Cewek di sebelah Nino berdecak pelan. Nino mengulum senyumnya. Jelas sekali terlihat di wajah Airin kalau cewek itu penasaran. Hanya saja, Airin itu terlalu gengsi. Jujur saja, Nino paling suka melihat wajah kesal Airin seperti ini. Cewek itu terlalu polos dan semua ekspressinya terbaca jelas di wajah cantiknya. Nino menghentikan mobilnya di pinggir jalan depan taman komplek perumahan Airin.
"Kenapa berhenti disini?" tanya Airin.
Nino memiringkan tubuhnya menghadap Airin. "Kalau cerita sambil nyetir bisa bahaya. Makanya gue berhenti dulu buat cerita ke elo...,"
"Tapi kan gue belom bilang mau denger cerita elo,"
"Elo mau denger atau nggak, gue akan tetep cerita supaya elo nggak kepo dan bikin asumsi sendiri tentang gue...,"
"Maksud elo apaan? Siapa yang kepo? Siapa yang...,"
"Gue punya anak, Airin...," ucap Nino yang langsung membuat Airin terbungkam. "Atau gue harus bilang kalau Sophie yang punya anak...,"
Nino menatap Airin. Tak ada reaksi apapun dari cewek itu kecuali tatapan tajam pada kedua bola matanya. "Elo pasti berpikir kalau gue cowok paling brengsek yang berusaha kabur saat Sophie lagi hamil. Iya, waktu elo ketemu Sophie di tea shop dulu, tunangan gue itu udah hamil 10 minggu...,"
"Tapi satu hal yang harus elo tahu. Bukan gue yang bikin hamil Sophie. Nggak... gue bukan nggak mau ngakuin anak itu. Karena anak itu emang hasil hubungan Sophie sama selingkuhannya di Paris. Dan seminggu sebelum keberangkatan gue ke Seoul, gue mergokin Sophie ketemu sama selingkuhannya. Gue kabur ke Seoul karena kecewa sama Sophie,"
"Gila... gue cinta mati sama dia sampai bela-belain mohon ke Bunda sama Bapak buat ngelamar Sophie. Kita tunangan tapi harus menjalani hubungan jarak jauh karena dia masih harus selesaiin kuliahnya dan gue harus ngurus bisnis sama Samudra. Tapi ternyata Sophie nggak bisa menjalani hubungan jarak jauh itu. Dia butuh gue lebih dari sekedar cincin tunangan. Dia butuh gue untuk selalu hadir setiap saat. Dan karena itu, dia cari pengganti gue. Dia selingkuh,"
"Gue marah. Tapi gue juga nggak tega sama anak yang ada di perut dia. Sophie mohon ke gue buat nggak batalin tunangan ini. Tapi gue nggak bisa. Keluarga gue nggak bisa terima Sophie dan anaknya. Gue bolak-balik Paris-Jakarta buat nguber selingkuhan Sophie yang nggak mau tanggung jawab. Gue coba kasih moral support ke Sophie sampai dia ngelahirin. Dan... bayi yang gue gendong di rumah sakit itu anak Sophie,"
"Samudra bilang elo nggak sengaja ngelihat gue di rumah sakit," Nino menjeda sesaat penuturannya. Tangannya terulur menyingkap rambut Airin ke belakang telinga kirinya.
"Airin... elo mungkin cewek paling baik seperti yang diceritain Bunda. Sayangnya... elo nggak pernah mencoba untuk memahami keadaan sekitar. Elo lebih suka untuk membuat asumsi tersendiri dan menjauhi gue. Harusnya, kalau elo penasaran sama gue... elo bisa ngomong langsung ke gue dan gue akan dengan senang hati menceritakan semuanya,"
Nino menatap Airin lama. Merasa cewek itu tak akan memberikan reaksi apapun terhadap ceritanya, membuat Nino kembali menjalankan mobil Airin hingga mereka tiba di carport rumah keluarga Hassan. Keduanya segera turun dari mobil. Nino pun menyerahkan kunci mobil kepala Airin kembali.
"Gue balik dulu yah. Bilang sama tante Tara gue nggak mampir. Nggak usah khawatir gue balik naik taksi. Have a nice rest, Airin...," pamit Nino. Kemudian cowok itu berjalan meninggalkan rumah Airin. Meninggalkan Airin yang hanya terdiam menatap Nino yang semakin berjalan menjauh.
Entah sudah berapa menit terlewat, hingga Airin akhirnya tersadar dari lamunanya. Cewek itu menghembuskan napas berat. Dilangkahkannya kaki yang terasa berat masuk ke dalam rumah.
Mamih dan Alana yang kebetulan sedang menonton di ruang keluarga saling lirik saat mendapati Airin nyelonong masuk ke dalam kamarnya. "Kumat lagi kayaknya kakak kamu...," celetuk Mamih yang membuat Alana hanya tertawa.
Di dalam kamarnya, Airin justru termenung di atas tempat tidur. Otaknya terus memutar ulang setiap kata yang diucapkan Nino. Tangannya sibuk merogoh ponsel dari saku jaketnya. Lalu dengan cepat Airin menghubungi Joanna.
"Halo?"
"Elo bilang apa ke Samudra sampai cowok itu bilang ke Nino kalau gue lihat dia di rumah sakit?!" tuduh Airin langsung.
"Ai, gue nggak bilang apa-apa. Pas elo nelpon ada Samudra di samping gue dan dia denger semua yang elo omongin," jelas Joanna. "Did he already tell you everything?"
Airin menelan ludahnya. "Elo udah tahu semuanya? Tapi elo nggak cerita ke gue?"
Terdengar helaan napas Joanna dari seberang. "It's not my job to tell you about Nino's. Dan lagi... gue nggak ngerasa elo perlu tahu semua cerita tentang Nino. Kecuali... kalau elo pengen tahu siapa Nino,"
"Maksud elo?"
"Ai, elo sendiri kan yang bilang ke gue untuk nggak pernah ngebahas apapun tentang Nino. Dan gue turutin mau elo. Karena apa? Karena gue berpikir kalau elo cuma orang asing yang nggak perlu tahu cerita tentang Nino dan masalahnya. Gue tahu cerita Nino karena Samudra yang merupakan cowok gue cerita semuanya tentang Nino. Tapi gue nggak punya hak untuk ceritain masalah Nino ke elo meskipun elo sepupu gue,"
"Tapi tetep aja... elo harusnya cerita apalagi ini ada sangkut-pautnya sama kejadian di tea shop...,"
"Nggak, Ai. Nggak," potong Joanna. "Kejadian di tea shop itu udah nggak gue masalahin. Nino udah minta maaf ke gue dan gue udah tahu alasan Sophie ngelakuin itu. So, masalah Nino udah nggak ada sangkut-pautnya sama kejadian di tea shop. Kecuali kalau elo mau bilang bahwa masalah Nino ada sangkut-pautnya sama kejadian elo yang dijadiin temen kabur sama Nino...,"
Airin terdiam seribu bahasa. Cewek itu tidak punya alasan untuk membantah ucapan Joanna. Ia kehabisan kata-kata untuk berkilah dari fakta yang diucapkan sepupunya tersebut.
"Kita berdua tahu kalau ada dua tipe cowok di dunia ini, brengsek atau banci. Dan Nino adalah cowok tipe pertama yaitu brengsek. Tapi se-brengsek apapun Nino, dia masih ngebantuin Sophie ngelewatin masa kehamilan mantan tunangannya. Iya, Sophie udah jadi mantan tunangan Nino,"
"Jangan menghakimi kesalahan kecil yang dibuat Nino saat elo cuma tahu Nino selama dua hari. Kalau elo kenal Nino lebih baik lagi, mungkin elo akan ngerasa bersalah nantinya...,"
"Dan, Ai... gue nggak membela Nino. Gue cuma pengen elo lebih peka sama perasaan elo sendiri aja...," ucap Joanna mengakhiri pernyataannya panjang lebernya itu.
**************************************************************************************************
Hiya... Hiya... Hiya... Hiya...
Silahkan kalian berasumsi-ria atau malah berpesta-ria...
Vote and Comment as always...
XoXo, NonaTembam
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, You ! [COMPLETED]
General Fictionsemesta punya caranya sendiri untuk bermain dengan takdir
![Hello, You ! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/182951298-64-k902314.jpg)