Part 26

1K 152 30
                                        

Airin mempercepat langkahnya begitu mereka tiba di bawah. Sebisa mungkin ia melangkahkan kakinya menjauhi Nino. Ia sangat berharap bumi terbelah dan menenggelamkan dirinya saat itu juga. Jantungnya berdegup kencang lebih parah saat dia naik roller coaster. Mungkin bianglala bukan wahana yang memacu adrenaline. Tapi orang yang naik bianglala dengannya lah yang sangat memacu adrenaline Airin.

Dua kali! Dua kali Nino mencium bibirnya setelah mengatakan rangkaian kata yang terdengar sangat menggelikan tersebut. Dua kali juga Airin tertipu oleh akal busuk Nino tersebut.

Sebuah lengan melingkar di pundak Airin diiringi oleh usapan pada puncak kepalanya. "Kalo elo ngambek gue cium lagi loh...," bisik Nino.

Serta-merta Airin dengan kasar melepaskan tangan Nino dari pundaknya. "Elo tuh... brengsek banget sih! Asal cium bibir orang aja!" bentak Airin.

"Gue mau balik," ucap Airin. "Tapi nggak mau dianter elo! Gue mau balik naik taksi aja...,"

"Nggak," tolak Nino. "Gue yang bawa elo pergi, gue juga yang harus anter elo balik...,"

"Gue nggak bisa ada di satu mobil setelah elo cium gue! I can't face you after what you did up there!" jujur Airin.

"Doesn't it mean you like me?"

"Asumsi gila darimana itu?! Yang ada saat ini gue pengen nyekek elo!" bentak Airin.

Nino melipat kedua tangannya di dada. Satu hal yang harus Nino ingat kalau cewek di depannya ini punya kadar gengsi tingkat tinggi dan juga watak keras kepala. Cowok itu meraih tangan Airin dan membawanya meninggalkan Dufan.

Tak ada pembicaraan apapun selama perjalanan pulang. Airin pura-pura tidur dan Nino berusaha fokus pada kemacetan di depannya. Seperti biasa, hanya suara penyiar radio yang mengisi keheningan di mobil tersebut.

Bahkan saat sampai di rumah Airin pun, Nino hanya berpamitan pada Mamih dan Papih. Cowok itu memberi jarak pada Airin. Airin mendadak bingung dengan tingkah Nino yang sama sekali tidak mengajaknya berbicara walau sekedar basa-basi.

"Harusnya kan gue yang marah... kok malah dia yang ngediemin gue sih," gumam Airin memperhatikan mobil Nino yang semakin menghilang dari pandangannya.

***

"Yaelah blo'on!" teriak Samudra. "Elo tuh yah... gue saranin mending sekolah lagi deh biar lebih pinter lagi...,"

"Nino... Nino... gue yakin selama di Stanford dulu elo tidur terus di kelas kagak pernah dengerin materi dari dosen," ucap Samudra yang masih terus mencaci Nino. Samudra menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar cerita Nino.

"Gue harus bilang berapa kali sih ke elo?! Jangan samain Airin kayak cewek-cewek yang sering elo temuin dulu... cewek yang lagi elo hadapin saat ini tuh Airin. Airin sepupunya Joanna... dan dua saudara sepupu ini punya tingkat kepolosan yang kelewat polos hampir nyamain bayi baru lahir,"

"They still think about the right moment of kissing. The magic hour of falling in love. Elo nggak bisa sembarangan nyosor Airin. Apalagi sebelumnya ngomong blak-blakan soal perasaan elo... Dia pasti panik lah... dan mikir kalau cara elo ngedeketin dia tuh terlalu buru-buru... dan semakin nge-judge elo sebagai cowok brengsek yang gampang banget ngomong gombal dan sembarangan nyium bibir cewek... am I right?"

"Iya elo bener...," jujur Nino tak bisa mengelak kebenaran ucapan Samudra.

Samudra terkekeh pelan. "Masih mending Airin berubah jadi sentimen gitu. Elo tahu reaksi cewek gue pas gue cium? Dia ketawa, Nino! You do know how hot I can kiss girls. And all the girls admitted that my kisses could make them lose their mind. But Joanna ain't like that... dia nganggap ciuman gue bercandaan... gombalan gue dia jadiin bahan lawakan. Gila nggak lo punya cewek komedian gitu?! Sampai gue bingung mau ngeromantisin dia kayak gimana!"

Hello, You ! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang