Seminggu, terasa begitu cepat berlalu. Brian bahkan tidak menyangka jika ini sudah hari senin saja.
Tanpa kehadiran si adik kelas penggangu itu, hidup Brian benar-benar tenang. Ya, meski perkataannya seminggu yang lalu memang sedikit kasar. Tapi dia memang tidak menyukai sifat Marina yang satu itu.
Brian berjalan menuju kelasnya, tapi langkahnya berhenti saat menemukan Marina di bawah pohon dengan sebuah gitar di pelukannya.
Brian tidak tau jika Marina bisa bermain gitar. Ternyata cewek itu tidak bodoh amat.
"Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah..Hei, sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergiMeskipun, ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu..""Lo bisa main gitar?" Marina yang tadinya sedang bermain tersentak, cewek itu menoleh dengan kaget.
Marina cepat membuang muka, cewek itu menunduk. Marina hanya mengangguk tanpa melirik Brian sedikitpun.
Memutar bola matanya, Brian berbalik dan meninggalkan Marina begitu saja.
Marina menatap punggung Brian yang menghilang saat masuk ke dalam kelas. Cewek itu memajukan bibirnya, kesal karena Brian tidak peka.
"Lagi ngambek juga, coba di rayu atau apa gitu." Marina masih menatap pintu kelas Brian, menyerah Marina beranjak dari tempatnya. Cewek itu berjalan menuju kelasnya yang berlawanan arah dengan kelas Brian.
Marina berjalan masuk ke dalam kelasnya, dia meletakan gitarnya bersandar pada tembok. Berhubung tempat duduknya berada di pojok.
Mereka memang di minta untuk membawa alat musik masing-masing, karena beberapa alat musik mereka di ruang musik rusak. Marina tidak keberatan dengan itu.
"Ajarin gue main gitar dong. Gue nggak mau nilai gue D lagi." Amelita yang baru saja datang langsung mengambil gitar Marina dan memetik asal senar gitar. "Hari ini ada praktek dan gue nggak tau main alat musik apapun."
Marina terkekeh. "Ini kunci C." Marina memindahkan jari Amelita pada kunci yang seharusnya. "Tekan yang kuat, kuku lo lagi panjang amat. Mana bisa."
Amelita mengecutkan bibirnya. "Gue nggak rela potong kuku."
"Susah kalo kuku lo panjang. Mana ketekan senarnya, nggak keluar suaranya nanti." Marina menggeleng pelan. "Potong kuku dulu baru gue ajari."
Dengan sangat-sangat tidak rela, Amelita memotong kukunya. Sedangkan Marina hanya tersenyum kecil.
"Marina." Sang pemilik nama yang tadinya sedang duduk sambil bermain ponsel menoleh. "Sini."
Marina memutar bola matanya. "Apa lagi sih?" Marina menatap malas Ketua Osis SMA Sakti Bangsa yang tersenyum ke arahnya. "Gue udah seminggu jadi anak baik, jadi udah habis 'kan hukumannya?"
Manggala tertawa. "Ingat aja lo. Hukuman lo emang udah habis, tapi gue mau minta tolong sama lo."
"Apa?"
"Brian nggak bisa main alat musik."
"Terus?"
Manggala berdecak. "Lo ajari lah. Gue kasih saran supaya lo bisa dekat sama dia."
Marina menyipitkan matanya, menatap Manggala dengan penuh curiga. "Gue tau Kak, lo pasti punya rencana lain. Nggak mungkin lo begitu aja suruh gue dekat sama Kak Ian."
Manggala menghela nafas pelan. "Jangan bicara di sini, di tempat lain. Di rooftop jam istirahat. Bisa?"
"Kenapa nggak di sini aja?" Marina mengerutkan kening bingung, sepenting apa sih memangnya.
"Nggak bisa. Pokoknya gue tunggu lo di rooftop, awas lo nggak datang." Manggala berbalik, cowok itu langsung berjalan menjauh.
Marina menatap aneh Kakak kelasnya itu. Tiba-tiba datang dan memberi saran agar lebih dekat dengan Brian. Perasaan teman-teman Brian tidak ada yang setuju kalau Marina dekat Brian deh.
"Kenapa? Kak Manggala ngomong apa?" Amelita yang telah selesai memotong semua kuku panjangnya bertanya saat Marina masuk ke dalam kelas.
Marina mengangkat bahu. "Enggak tau. Nggak jelas gitu."
***
"Boleh duduk di sini?" Brian menatap adik kelas yang tersenyum dengan manis. Malas memberikan respon, Brian hanya menggeser duduknya. Mempersilahkan secara tidak langsung.
"Kenalin, Kak. Nama aku Ceria." Adik kelas bernama Ceria itu mengulurkan tangannya, tapi sama sekali tidak di respon oleh Brian, membuat adik kelas itu menarik kembali tangannya.
"Lo bukannya tetangganya Manggala?" Lakshan bertanya, cowok itu melirik Ceria.
Ceria tersenyum. "Iya, Kak."
"Kak Ian." Semua orang di meja itu menoleh saat panggilan yang sangat familiar dan hanya satu orang yang menggunakan panggilan itu memanggil.
Brian melirik, cowok itu memperhatikan Marina yang sama seperti pagi tadi. Dengan malas, Brian melanjutkan makannya.
"Eh, lo siapa?" Marina menatap Ceria yang juga menatapnya. "Lo mau deketin Kak Brian?"
Ceria hanya tersenyum. "Lo siapa sih? Mau tau banget urusan orang."
"Lo anak baru, ya? Pantas aja lo nggak tau." Marina mengibaskan rambutnya kebelakang. "Gue pacarnya Kak Brian, jadi jangan dekat-dekat Kak Brian lagi. Lo nggak mau ada adegan cakar-cakaran, kan?" Marina tersenyum miring. Dia sedikit menekan kata-katanya tentu dengan tatapan mata yang menantang dan dia tidak main-main dengan ucapannya.
Ceria tersenyum. "Gue cuma mau temenan sama Kak Brian kok."
Marina manggung-manggut, cewek itu duduk di samping Radeva yang kosong, tempat yang berhadapan langsung dengan Brian.
"Aku tau, Kakak pasti ngira aku nyerah setelah ucapan Kakak waktu itu," Marina menopang dagunya di atas meja, dia menatap Brian yang kini mengangkat kepala. Membalas tatapan adik kelasnya yang selalu menempel padanya. "Tapi Kak, aku nggak semudah itu buat menyerah. Apa lagi lihat model beginian dekat sama Kakak." Marina melirik sinis Ceria yang hanya tersenyum sambil memakan bakso.
Brian mengabaikan, cowok itu memakan suapan terahir nasi gorengnya.
"Jangan muka dua, boros skincare." Marina tersenyum tipis pada Ceria yang meliriknya dengan diam.
Lakshan dan Ishan tertawa kuat, bahkan sampai memukul meja. Duo rusuh itu mengacungkan kedua ibu jari mereka ke arah Marina.
Oh, ini artinya pegang di mulai.
. . .
Mulai konflik.........
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...