Menghela nafas dan mengusap wajahnya kasar, Brian hanya bisa menghela nafas bekali-kali melihat Marina yang langsung dekat dengan Kakaknya.
Semua karena cowok-cowok Korea itu, jika saja Marina tidak membalas ucapan Susan tadi. Mungkin ini semua tidak akan seperti ini. Tidak, seharusnya ponsel Marina tidak berbunyi. Atau seharusnya dia tidak mengikuti permintaan Marina untuk belajar bersama.
"Frustasi banget." Brian melirik tajam Verga yang meminum es cendolnya untuk gelas kedua. "Namanya juga Fangirl, Susan sama Sheva aja kalo ketemu terus bicarakan nama orang-orang yang aneh--bahkan satu pun nggak ada yang gue hapal saking anehnya--bisa seharian mereka omongin itu."
Brian menghela nafas pelan, saat Susan tau jika Brian pernah berniat tidak mempertemukan Marina dengannya karena Marina adalah adik kelas yang selama ini mengejar Brian, dan Brian benci itu. Susan langsung berpindah tempat dengan menarik Marina. Keduanya duduk di sisi yang berlawanan dari tempat duduk Brian dan Verga. Kedua cewek itu duduk di samping gerobak cendol tapi dengan arah berlawanan dari tempat Verga dan Brian duduk. Tentunya agar bisa lebih leluasa bercerita.
"Atau lo jengkel karena akhirnya ade kelas lo itu ketemu dengan Kakak lo."
Brian melirik Verga yang tertawa kuat karena berhasil menebak pikiran Brian.
"Sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga. Sepandai-pandainya lo cari cara untuk jauhkan Susan dari ade kelas lo itu, kalo takdir memang mempertemukan mereka. Lo nggak bisa apa-apa." Verga meminum es cendolnya. "Dia lumayan deh, nggak jelek. Cantik. Terus kenapa lo enggak mau?"
Brian berdecak. "Gue nggak suka cewek yang nggak bisa diam, bego lagi."
Verga tertawa kuat. "Gue ingat Kakak lo pernah bilang gitu ke gue, tapi akhirnya dia malah cinta mati sama gue. Karma berlaku, Bro."
"Dia bukan tipe gue."
"Kadang tipe nggak berlaku saat lo ketemu dengan yang nyaman dan klop." Verga meluruskan kakinya saat gelas kedua cendolnya tandas. "Tapi gue sarankan jangan terlalu benci dia. Bisa jadi cinta nanti."
Brian menarik ujung bibirnya. "Gue suka sama cewek yang kalem."
"Buat apa sama cewek yang kalem kalo yang cerewet lebih menyenangkan? Banyak juga cewek sekarang yang kalem di luar di dalam kayak cacing kepanasan. Lebih baik sama yang udah kelihatan sejak awal sifatnya, dari pada sama yang munafik doang. Lo nggak mau cinta lo Fake Love, kan?"
Brian menatap Verga aneh. "Lo ketularan virus mereka?"
Verga tertawa. "Iya nih kayanya. Nggak pa-pa juga sih, asal cewek gue senang. Gue rela."
"Bucin."
"Orang yang ngomong bucin adalah orang yang mau ngebucin tapi nggak ada objeknya." Verga tersenyum menang saat wajah Brian berubah masam. "Sebenarnya lo punya sih objeknya, lo aja yang nggak mau."
Brian mendengkus kuat. "Gue mau antar dia balik." Brian beranjak, berjalan menuju Susan dan Marina yang bercerita dengan sangat asik. "Ayo."
Marina menoleh. "Eh, iya lupa. Kapan-kapan kita sambung lagi, Kak."
"Kita bertiga harus ketemu terus bicarakan ini. Lo udah simpan nomor gue, kan?" Marina mengangguk. "Chat aja, kita buat grup sekalian." Susan tertawa.
Marina mengangguk. "Siap, Kak. Kalo bicarakan tentang mereka mah nggak ada habisnya. Gue duluan, Kak." Susan mengangguk, melambaikan tangannya saat Brian melajukan motornya.
"Kalo ngefangirl lupa waktu banget." Verga mengacak gemas rambut Susan.
"Berantakan, bego!" Susan memukul tangan Verga, tapi cowok itu malah tertawa. "Dia beneran ade kelas yang suka sama Brian? Kok dia mau sih sama Brian? Padahal cantik loh. Kalo gue jadi dia nggak bakal mau gue ngemis-ngemis cinta, apalagi sama Brian."
Verga tertawa. "Roda berputar, pasti Brian akan ada di posisi ngemis-ngemis suatu hari nanti."
"Iya, kayak lo dulu."
"Lo juga."
"Lo lebih parah."
"Lo kali yang lebih parah."
Susan dan Verga saling tatap, kalo keduanya tertawa.
Aneh memang.
***
"Kakaknya Kakak asik." Marina tersenyum, menemukan orang yang memiliki kesukaan yang sama memang sangat menyenangkan. Apalagi menghabiskan waktu dengan membicarakan hal yang di sukai memang sangat menyenangkan.
Brian hanya diam, sejujurnya dia tidak menyukai kedekatan Marina dan Susan, Kakaknya. Dia tau jika Marina pasti menggunakan sang Kakak untuk mendekatinya, sebagai alasan agar lebih dekat dengan Brian. Dan Brian tidak suka itu.
"Kakak marah, ya?" Marina memajukan kepalanya, menatap Brian dari samping. "Kakak nggak suka kalo aku dekat dengan Kak Susan?" Brian mengabaikan, hanya fokus pada jalan.
"Kakak itu sebenarnya nggak cuek, Kakak itu cerewet 'kan orangnya. Cuma sama aku aja cueknya." Marina melirik spidometer motor Brian. "Kakak enak, punya Kak Susan yang baik gitu. Punya orang yang selalu ada di dekat Kakak. Aku yakin Kakak pasti dekat dengan Mama Kakak, 'kan? Kakak kelihatan sayang banget sama Kak Susan."
Brian melirik spion motornya, mata Marina yang berubah sendu sempat memecah konsentrasinya. Tapi cepat-cepat Brian fokus kembali pada jalan.
"Kakak nggak usah antar aku sampe rumah, antar sampe di mini market yang dekat rumah aku aja. Mau belanja dulu." Brian hanya mengangguk. Hingga motor Brian berhenti di depan mini market yang di maksud Marina.
Marina turun dari motor Brian, cewek itu tersenyum. "Kakak udah belajar lagu yang aku kasih? Kalo udah besok kita tes kemampuan Kakak di lab musik. Bye, Kak." Marina melambaikan tangannya sebelum berjalan masuk ke dalam mini market.
Brian mendengkus, lalu melajukan motornya menjauh dari mini market.
Marina menghela nafas pelan, setelah memastikan motor Brian tidak terlihat cewek itu mengambil asal camilan yang ada, lalu membawa ke kasir dan membayar.
Mini market hanya alasan agar Brian tidak mengantarnya hingga rumah, karena pembantu rumah tangga yang biasa berada di rumahnya mengirim pesan jika Ayahnya berada di rumah. Dia tidak mau sang Ayah maupun Kakak kelasnya bertemu. Sama seperti Brian yang tidak mau Marina bertemu dengan Susan, dia juga tidak mau Brian sampai bertemu dengan sang Ayah.
Bukan tanpa alasan, dia hanya tidak mau Sang Ayah mencampuri urusannya.
Terutama urusan cintanya.
Marina tiba di rumah, sang Ayah berada di meja makan. Berhubung ini sudah sore, bahkan mendekati pukul lima sore.
"Minggu depan Papa berangkat ke Singapura." Marina yang membuka kulkas menghentikan pergerakannya. "Papa akan siapkan uang buat kamu selama seminggu, kalau bisa kamu jangan pakai angkutan umum. Pakai motor yang Papa belikan."
Marina tersenyum sinis, berbalik dan menatap sang Ayah yang masih memakai kemeja kantornya.
"Kenapa? Papa malu? Takut kolega atau teman kerja Papa lihat aku pake angkutan umum?" Marina memutar bola matanya. "Mereka bahkan nggak tau Papa punya aku." Marina beranjak dari dapur, berjalan naik.
Andri, meremas kuat sendok di tangannya.
. . .
Komen dongs...
Sepi amat...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...