Entah apa yang membuat Brian bisa lupa, biasanya dia tidak akan lupa jika di titipkan atau di minta melakukan sesuatu. Tapi kali ini dia benar-benar lupa.
Brian sudah sampai di lampu merah saat dia ingat ucapan sang Kakak yang memintanya untuk mengundang Marina besok. Alhasil dia harus putar balik ke rumah Marina, lebih baik dia mengorbankan sedikit bahan bakarnya dari pada sang Kakak mengamuk nantinya.
Brian menghentikan motornya tiba-tiba, untungnya di gang rumah Marina sepi, sehingga tidak menimbulkan kecelakaan saat dia berhenti tiba-tiba.
Membalikan badannya, Brian menatap sosok yang sedang berjalan dengan kepala menunduk.
Brian memarkirkan motornya di pinggir jalan, cowok itu melepaskan helm dan berlari mengejar sosok yang ia kenali itu.
"Hei." Brian menahan tangan Marina, membuat gadis itu berbalik dengan pipi yang basah. Brian tertegun sejenak.
Marina menatap Brian kaget, cewek itu membuang muka, cepat-cepat mengusap air matanya. Lalu dengan senyuman, kembali menatap Brian. Seakan air mata tadi tidak ada apa-apanya.
"Kok, Kakak balik? Ada yang lupa?" Marina menatap Brian yang tampak masih tertegun. "Jangan lihat aku kayak gitu, Kak. Nanti aku makin cinta sama Kakak."
Kesadaran Brian langsung kembali sepenuhnya, ia mendengkus kuat. "Mimpi."
"Semua berawal dari mimpi." Marina menyengir. "Kenapa Kakak balik lagi?"
Brian menatap Marina, memperhatikan bekas air mata di pipi gadis itu. Marina bisa menangis?
"Lo kenapa?"
Tangan Marina terkepal kuat, tidak. Dia tidak mau menunjukan sisinya yang satu ini pada Brian, dia harus tetap tampak ceria dan tampak baik-baik di depan Brian.
"Kelilipan aja." Marina menyengir. "Kakak khawatir sama aku?"
Tanpa sadar, Brian mengangguk membuat Marina menatap cowok itu kaget. Brian yang sadar langsung membuang muka.
"Tadi lo baik-baik saja, tapi sekarang nangis. Ya, pasti gue rasa gimana gitu, tadi lo 'kan pergi sama gue. Kalo orang kira gue apa-apain lo, gue yang repot." Brian masih menatap ke tempat lain.
Marina tersenyum. "Iya, Kak. Aku ngerti. Aku cuma kelilipan doang kok."
Brian menatap Marina yang tersenyum, dia tau Marina berbohong tapi dia juga tidak bisa memaksa gadis itu untuk cerita. Lagipula dia tidak mau dianggap kepo jika bertanya.
"Besok datang ke rumah gue, Kakak gue undang lo datang ke acaranya. Gue lupa bilang tadi." Brian menatap Marina yang perlahan mengangguk, gadis itu menunduk. "Gue mau bilang itu aja." Brian berbalik.
Langkah Brian terhenti, ujung bajunya di tahan. Cowok itu berbalik.
"Kak, soal yang tadi di kafe. Tolong jangan bilang siapa-siapa, aku nggak mau di kenal media." Marina mengigit bibir bawahnya, masih dengan kepala menunduk. "Ini masalah keluarga aku. Aku nggak mau sampai terekspos keluar."
Brian mendengkus kuat, membuat Marina mendongak menatap kakak kelasnya itu.
"Lo kira gue cowok gimana? Gue nggak mungkin lah bicara sembarangan, tenang aja. Itu akan tetap jadi rahasia." Brian menatap Marina yang menatapnya dengan mata yang masih memerah. "Itu urusan keluarga lo, gue yang orang asing nggak bisa ikut campur."
Marina perlahan mengangguk. "Makasih, Kak." Marina melepaskan tangannya yang menahan ujung baju Brian.
Hening melanda, keduanya masih pada posisi masing-masing.
"Kakak nggak pulang?" Brian melirik adik kelasnya yang memainkan jari dengan gugup. "Ini udah sore."
"Lo kenapa masih di luar?"
"Aku mau nginap di Joseline kayaknya. Mau cari angkot." Marina menghela nafas pelan. "Aku duluan, Kak."
Brian menyambar tangan Marina, membuat gadis itu berbalik. Menatap Brian dengan kaget.
"Gue antar, ini udah sore. Nggak baik." Brian menarik tangan Marina menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Brian naik ke atas motor, memakai helmnya sebelum memberikan helm pada Marina.
Hanya hening yang melanda keduanya, Marina yang biasanya membuat suara hanya bungkam.
"Ini rumahnya?" Brian bertanya saat motornya berhenti di alamat yang Marina maksud.
Marina turun dari motor Brian, memberikan helm pada Kakak kelasnya itu.
"Makasih ya, Kak." Brian mengangguk. "Besok acaranya jam berapa?"
"Jam 4." Brian menyalakan motornya. "Gue balik." Brian melajukan motornya.
Marina menghela nafas pelan, gadis itu mendial nomor temannya.
"Gue di depan."
Tidak lama, Joseline keluar dengan buku yang tidak pernah lepas dari tangan gadis itu.
"Sama siapa?" Joseline menutup pintu pagar.
"Kak Ian."
Joseline berbalik, menatap Marina dengan satu alis naik. "Really?"
Marina mengangguk pelan. "Mungkin mood Kak Ian lagi bagus."
***
Ini sudah kali ketiga Susan mendengar suara helaan nafas sang adik, yang mau tidak mau membuat ia menoleh.
"Kalo capek, duduk sana." Brian menoleh, menatap sang Kakak. Brian menggeleng pelan. "Terus kenapa nafasnya gitu?"
Brian terdiam, tangannya menatap telur yang baru ia pecahkan di dalam wadah. Sang Kakak tidak ingin membeli kue untuk acara besok, katanya ingin yang hand made, meski dia harus kerepotan.
Ini sudah kue ketiga yang mereka buat, dan rencananya ingin membuat lima kue. Dan yang paling spesial tentu saja kue kacang cokelat yang baru saja mereka buat tadi.
"Enggak." Brian membuang cangkang telur ke dalam tempat sampah.
"Mau bikin brownies nggak?" Brian menatap sang Kakak yang tersenyum. "Lo 'kan suka banget."
"Bukannya udah ada kue cokelat kacang."
"Rencana berubah, kita buat brownies aja. Buat sisanya." Susan mulai mengaduk beberapa bahan, sedangkan Brian memutuskan untuk mengoleskan mentega di wadah yang akan menjadi tempat brownies nantinya.
Susan tersenyum, meski dia meminta bantuan Brian dengan agak paksa. Adiknya itu tetap mau membantunya. Sebenarnya sang Mama sudah meminta agar Susan memesan saja semua makanan untuk acaranya besok, tapi Susan ingin untuk semua kue yang hidangkan atau untuk kue yang dia potong nanti, Susan ingin dia langsung yang membuatnya. Untuk makanan dia setuju untuk memesan catering.
"Gue udah makin tua aja." Brian melirik sang Kakak yang sedang menuangkan adonan ke dalam loyang-loyang. "Tahun depan gue udah 20."
"Kan masih tahun depan." Brian mulai membereskan meja yang menjadi saksi mereka membuat bebagai macam kue.
"Dan lo tambah tinggi aja." Susan memukul bahu Brian membuat adiknya itu meringis.
"Sakit, Kak."
Susan tertawa. "Lo jangan pernah kasar sama cewek, ya? Kalo lo kasar, secara nggak langsung lo lakukan hal yang sama ke gue." Susan menatap Brian. "Lo udah makin besar, gue udah nggak bisa atur jalan lo, gue nggak bisa larang lo ini itu selamanya, ada hal yang harus lo ambil keputusan sendiri. Gue cuma berharap pilihan yang lo buat itu nggak bakal bawa lo ke jalan yang salah."
Brian mengangguk pelan. "Iya."
Susan tertawa, tangannya dengan santai mengacak rambut Brian. "Aduh, ade kecil gue."
"Sakit, Kak!"
. . .
Komennnnnnnn...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...