Sekolah yang awalnya tenang, berubah menjadi heboh karena kedatangan beberapa dokter yang katanya akan memberikan penyuluhan tentang penyakit yang belakangan ini sangat mudah tersebar.
Marina duduk di salah satu kursi di perpustakaan, dia berniat menghindari penyuluhan yang dia anggap tidak penting itu. Sakit ya sakit saja. Itu pemikirannya.
Ponselnya berkali-kali bergetar dan menampilkan nama kedua temannya yang bergantian mengirimi pesan atau bahkan telepon. Tapi Marina mengabaikan. Dia sudah bilang tidak mau berkumpul di aula untuk mendengar penyuluhan itu. Membosankan.
"Lo disini?" Marina yang tadinya bersandar pada tembok, dengan posisi kaki berada di atas kursi. Menoleh.
"Menurut lo aja deh." Marina mengabaikan Ceria yang kini duduk di salah satu kursi.
Marina merubah posisi duduknya, dia disini menghadap Ceria yang selalu tersenyum.
"Lo ngapain di sini? Mau cari gara-gara sama gue?" Marina mendengkus kuat. "Apapun yang lo lakuin Kak Ian nggak bakal berpaling dari gue."
Ceria tersenyum tipis. "Dia bahkan nggak pernah peduli sama lo."
Marina menatap Ceria tajam. "Lo datang kesini cuma buat cari masalah sama gue?"
Ceria menggeleng. "Gue cuma mau bangunkan elo dari mimpi lo yang terlalu tinggi."
Marina menarik ujung bibirnya. "Terus kalo gue mimpi, lo apa? Halusinasi? Emang kalo lo deketin Kak Ian dia pernah ngerespon? Enggak, kan? Jangan membanggakan sesuatu yang bahkan nggak bisa lo gapai."
Ceria mengangguk pelan. "Oke," kata Ceria. "Lo nggak pernah minta nomornya Kak Brian, kan?"
Marina menatap Ceria tajam. Darimana pula cewek itu bisa tau. Ya, selama ini Marina memang tidak pernah memiliki nomor Brian. Cowok itu tidak pernah memberikan nomornya, bahkan saat Marina meminta pada teman-teman Brian, tidak ada yang memberi. Kata mereka Brian melarang memberikan nomor ponselnya jika Marina meminta.
"Terus kenapa?"
Ceria tersenyum tipis. "Kalo lo bisa dapatkan nomor Kak Brian sebelum festival sekolah, gue bakal menjauh. Tapi kalo enggak, lo harus menjauh."
Marina tampak menimbang. "Festival sekolah itu kapan?"
"Bulan depan."
Marina mengangguk. "Oke. Sebelum itu gue akan kasih tunjuk ke elo kalo gue bisa dapatkan nomor Kak Ian."
Ceria tersenyum.
"Tapi ini bukan akal-akalan lo supaya lo bisa dapat nomor Kak Ian, kan?"
"Gue cuma mau lihat kegigihan lo."
"Fine! Gue akan dapatkan nomor Kak Ian."
***
Memang, Marina itu ceroboh dan selalu bertindak bodoh saat ia dalam keadaan marah atau kesal.
Memang Brian akan memberikan nomor ponselnya? Sepertinya tidak mungkin.
Marina baru saja selesai ekskul, masih dengan gitar kesayangannya cewek dengan jaket denim itu berjalan ke pinggir lapangan, tempat Brian dan beberapa teman cowok itu yang baru saja selesai latihan.
"Guru lo datang tuh." Axiel menyenggol lengan Brian yang sedang mengusap keringatnya menggunakan handuk kecil, membuat cowok itu menoleh.
"Hai, Kakak-Kakak semua." Marina tersenyum, menyapa dengan ramah. Seperti biasa.
"Halah, sok. Pake acara sapa baik-baik." Lakshan yang kadang ingin sekali mulutnya Marina sumpal pakai kaos kaki bersuara. "Caper, huuu!" Cowok dengan seragam basket itu dengan sengaja mengacak kuat rambut Marina sebelum berlari menuju Manggala yang masih bermain di lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...