18. Kunjungan

3.2K 310 4
                                    

Masih seperti hari kemarin, hanya sedikit lebih baik. Dia tidak terlalu merasakan pusing yang menyerang kepalanya. Walau suhu badannya masih saja tinggi.

Marina berjalan menuju dapur dengan perlahan, bahkan dia tidak melepaskan kaos kaki hangat yang tetap membuat dia merasakan dingin meski sudah memakai kaos kaki.

Duduk di sofa ruang tamu, Marina menghela nafas pelan. Kadang dia merasa jika dia bukan anak keluarga ini. Bukan kali pertama Marina sakit dan tidak ada satu orang pun yang menjenguk atau sekedar menjaganya. Sang Ayah terlalu sibuk dan sang Mama mungkin sedang bahagia dengan suaminya.

Menghela nafas, Marina berjalan menuju dapur. Perutnya harus segera di isi. Hanya semangkuk mie instan dengan telur, pagi hari itu Marina lalui.

Meminum obat dan kembali berbaring di atas tempat tidur, hidupnya memang menyedihkan. Marina memeluk gulingnya erat.

Air matanya mengalir pelan, coba saja sang Mama ada di sini. Andai saja dia ikut sang Mama.

Tapi..

Sang Mama lah yang meninggalkannya, pergi dengan laki-laki lain bersama sang Kakak. Bahkan tidak pernah ingin tau tentang Marina.

Sakit kepala yang sempat menghilang kembali. Marina menghapus kasar air matanya.

Sudahlah.

***

Bel pertanda waktu belajar mengajar telah usai berbunyi, perlahan setiap kelas mulai di tinggalkan oleh para murid yang bergegas untuk pulang.

Namun Brian yang sudah memiliki janji untuk menjenguk Marina bersama teman-temannya harus tertahan. Walau ada sedikit rasa bersalah, tapi dia agak menyesal. Seharusnya dia sudah berada di rumah sekarang, sedang berlatih gitar, atau mengerjakan tugas yang di berikan guru fisikanya tadi.

"Gue dengar-dengar, Marina itu anak tunggal, ya?" Radeva mengunyah permen karet yang baru dia masukan ke dalam mulutnya. Matanya melirik Brian yang duduk di sampingnya. "Woi, gue nanya." Kesalnya karena Brian tidak membalas ucapannya.

"Lo ngomong sama gue?" Brian membalas datar. "Gue kira lo ngomong sama tembok." Brian kembali menatap ke depan.

Parkiran yang sepi membuat suara Radeva yang mendengkus kuat terdengar jelas, membuat Brian melirik.

Radeva memutar bola matanya. "Lo kali masalah Marina pura-pura budeg mulu." Si Wakil Ketua Osis itu tampak kesal. "Gue ambil tau rasa."

"Ambil, gue nggak butuh."

Oke, Radeva hanya bercanda. Tapi respon Brian membuatnya agak kesal juga. Brian terlalu dingin pada Marina, jika Brian memang tidak menyukai Marina kenapa cowok itu tidak mengatakan dengan baik-baik pada adik kelas itu?

"Gue ambil beneran tau rasa lo." Karena terlalu kesal, Radeva hanya mengatakan ini. Berhubung juga teman-teman mereka datang.

Brian mengabaikan.

"Maaf nih, gue nggak bisa ikut. Gue ada urusan, titip salam aja sama Marina." Manggala, sang Ketua Osis pamit karena memiliki urusan.

Brian berangkat bersama Joseline, itu juga karena Lakshan yang mengaku tidak membawa kendaraan pagi tadi dan menumpang pada Ikhsan. Sedangkan Axiel tentu membonceng Amelita.

Axiel dan Amelita memimpin jalan, duo rusuh berjalan duluan sedangkan Radeva yang menghindar langsung mengejar duo rusuh yang katanya sudah tau dimana rumah Marina.

"Lo tau rumahnya Marina, kan?" Brian bertanya pada Joseline yang balas dehaman dari cewek itu. Brian tidak terlalu mengenal teman-teman Marina, dia juga merasa tidak perlu mengenal teman-teman Marina.

Dari yang Brian dengar, Joseline termasuk orang yang pendiam dan sering cerita pedas bahkan pada teman-temannya, hingga banyak yang tidak ingin berteman dengan Joseline, hanya Amelita dan Marina yang mau berteman dengan Joseline.

"Lo bisa tolak dia baik-baik."

Brian melirik kaca spion motornya, Joseline yang mengetahui jika Brian memperhatikannya dari spion ikut menatap spion.

"Dia nggak sekuat yang lo kira."

Brian mendengkus kuat. "Lo harusnya tanya ke teman lo itu, seberapa banyak gue tolak dia dan dia terus kembali ke gue."

"Dia bisa capek buat kejar lo."

"Gue sangat menantikan hari itu." Brian membalas ketus. "Gue jenguk dia murni perasaan bersalah. Jadi jangan anggap gue punya perasaan lain sama dia."

Joseline diam. "Rumahnya di depan." Ucap gadis itu setelah menemukan rumah Marina.

Brian memarkirkan motornya di halaman rumah Marina, rumah yang bisa di katakan besar dengan halaman yang juga luas.

"Ayo." Brian menoleh pada Joseline yang sudah melepaskan sepatunya dan berjalan masuk ke dalam rumah yang ramai. Pasti ulah teman-temannya.

"Gue kira lo nggak bisa sakit." Brian mendengar suara Radeva yang sedang memakan kue bersama Ikhsan dan Lakshan di sofa. Sedangkan sang pemilik rumah berdiri di samping sofa dengan wajah cemberut, dan agak pucat.

"Lo kira gue apaan, Kak? Robot." Marina mendengkus kuat. "Temen gue!" Marina memekik dan berlari menuju Joseline, memeluk cewek itu.

"Lo lebay."

Marina melepaskan pelukannya. "Bilang aja lo kangen gue, pasti sekolah sepi karena gue, iya kan? Gue emang pantas di rindukan." Marina tersenyum.

"Malah tenang banget sekolah nggak ada lo. Gue suka."

Jawaban Joseline membuat wajah Marina berubah tertekuk.

"Jahat banget."

"Biarin." Joseline melepaskan tasnya, meletakan di atas sofa. Cewek itu berjalan menuju dapur.

Brian menoleh saat mendengar suara tawa, lebih tepatnya tawa cengengesan Marina yang menatapnya.

"Kakak datang, kangen aku ya?" Marina menatap Brian dengan senyuman menggoda.

Brian mendengkus kuat. "Gue di ajak, lebih baik gue di rumah kali." Brian berjalan, lalu duduk di samping Ikhsan.

"Mar, lo tinggal sendiri di sini?" Lakshan bertanya, masih dengan tangan memakan kue dan mata fokus pada televisi.

"Iya, Papa gue sering keluar kota." Marina melirik Lakshan. "Mau lagi kuenya? Masih ada di kulkas."

"Gue mau lagi!" Ikhsan melompati sofa dan berlari menuju dapur, menganggap seakan rumah Marina sebagai rumahnya sendiri.

"Mama lo?" Radeva bertanya, melirik Marina yang berdiri di belakang sofa.

"Hmm.. Mama gue kerja. Sibuk orangnya." Marina tersenyum agak paksa, dan Radeva dapat melihat arti senyuman itu. "Kak Brian mau minum apa? Amelita lagi buat sirup sih di belakang."

"Anggap aja gue nggak ada." Brian membalas, mendapat tatapan tajam Radeva yang di balas datar oleh cowok itu.

Amelita dan Joseline datang dengan teko dan gelas. Sedangkan duo rusuh Ikhsan dan Lakshan kembali dengan potong yang penuh dengan kue.

"Hape lo ketinggalan di dapur tadi, ada panggilan nggak terjawab." Lakshan memberikan ponsel Marina yang memang tertinggal di dapur saat dia buru-buru untuk membuka pintu karena kehadiran teman-temannya.

Belum sempat Marina menekan tombol ponselnya, sebuah telepon masuk.

"Gue angkat dulu, makan aja. Anggap rumah sendiri." Marina berjalan ke dapur.

Amelita duduk di sofa. "Panggilan nggak terjawab dari siapa tadi emang, Kak?" Amelita bertanya pada Lakshan.

"Tadi aku tulisannya Mama." Lakshan membalas.

Joseline yang sedang minum tersedak , bahkan mengenai Axiel.

"Maaf, maaf." Joseline mengeluarkan sapu tangan dari saku roknya, memberikanya pada Axiel.

"Reaksi lo aneh banget." Axiel melirik Joseline. "Kayak apaan aja."

"Gue tersedak bukan karena itu kok, emang mau tersedak aja." Joseline membalas. "Udah, ayo makan lagi."

. . .

Updateeee guysssss 

GamaeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang