20. Hangat

3.4K 331 8
                                    

Marina di bohongi, dia memang diantar pulang. Tapi bukan ke rumahnya, tapi ke rumah Asria. Yang artinya rumah sang Mama.

Sambutan hangat sang Mama membuat hati Marina agak menghangat, tapi Marina hanya diam.

"Ayo makan, Ayah kamu kembali ke kantor, baru aja berangkat tadi jadi nggak bisa ikut makan malam." Inara, Mama dari seorang Delphiniumarina tersenyum senang. Sangat bahagia melihat anak bungsunya ada di tempat yang sama dengannya. Dia sangat merindukan anaknya itu. "Makan yang banyak."

Marina hanya mengikut saja. Karena dia orang asing di sini, dia hanya datang dan akan pergi lagi.

"Kamu nginap disini ya?" Marina berhenti menguyah, dia menatap sang Mama. Wajah Marina memang lebih dominan sang Mama, sedangkan sang Kakak, Starla lebih mirip sang Papa. Tapi meski begitu Marina tetap tidak mengakui jika wajahnya jika di samakan dengan sang Mama sangat mirip, seakan versi muda sang Mama.

"Besok sekolah." Marina memberikan alasan kuat. Membuat wajah Inara agak kecewa.

"Kakak udah suruh orang buat bawa barang-barang kamu buat besok. Jadi kamu bisa nginap." Marina menatap Asria tajam. Sifat Asria yang satu ini tidak Marina sukai, sifat yang sangat mirip dengan Reznan, Ayah Asria.

Marina tidak punya alasan untuk menolak, dia hanya bisa pasrah. Mau bagaimana lagi.

***

Kamar dengan ukuran besar berwarna biru dengan sedikit sentuhan warna putih, serta kasur berukuran besar menjadi tempat Marina tidur untuk malam ini. Katanya ini kamar Marina di rumah besar ini. Tapi Marina tidak peduli, karena dia hanya akan tinggal semalam dan tidak akan terulang lagi. Dia tidak akan tertipu lagi.

Marina melirik jendela besar di kamar luas itu. Marina berjalan mendekat pada jendela, meski keadaan gelap ia masih dapat melihat jelas jika halaman rumah milik sang Mama dan suaminya itu sangat luas. Bahkan ada beberapa penjaga yang berlalulalang. Entah takut Marina kabur atau memang itu kegiatan sehari-hari mereka.

Menghela nafas pelan, jika ditanya. Rindu atau tidak pada sang Mama, tentu jawabannya dia rindu. Sangat, siapa anak yang tidak merindukan ibunya yang tidak dapat dia lihat setiap hari meski berada di kota yang sama.

Tapi, Marina takut sang Mama mungkin akan menolaknya karena telah menemukan keluarga yang sangat menyayangi sang Mama. Walau sang Mama selalu memperhatikan semua pergerakan Marina, entah dengan orang suruhan atau CCTV, tetap saja tidak semua hal Mamanya ketahui. Salah satunya Self Injuring yang selalu Marina lakukan. Dia tidak membiarkan sang Mama tau, meski yang selalu merawat luka-lukanya saat dia dengan sengaja melukai tangannya adalah Kakak tirinya, Asria. Dokter muda itu selalu tau kapan saat-saat Marina melukai dirinya sendiri.

Pintu ruangan luas itu di ketuk beberapa kali, membuat Marina mengalihkan pandangannya dari halaman.

Inara, tersenyum dengan membawa nampan berisi segelas susu yang tampaknya masih hangat.

"Mama buatkan kamu susu, di minum ya." Meski tampak cuek dan tidak peduli, Marina selalu menurut pada sang Mama. Meski dia terlihat membenci sang Mama, nyatanya dia tidak bisa membenci wanita yang telah melahirkannya itu.

Meraih gelas dan langsung meminum isinya, Marina melirik sang Mama yang tersenyum saat ia meminum susu cokelat itu hingga tandas.

Inara menarik tangan Marina untuk duduk di pinggir ranjang. Dia sangat merindukan anak bungsunya. Inara mengusap rambut Marina yang telah memanjang.

"Gimana sekolah?" Inara selalu ingin bertanya hal yang sama setiap bertemu Marina, karena dia ingin anaknya itu bercerita.

Marina mengangkat bahunya. "Biasa aja."

Inara tersenyum, sifat mantan suaminya memang kadang melekat pada Marina. Meski terlihat ceria, Marina bisa berubah menjadi sangat pendiam jika di dekat orang tertentu. Termasuk dirinya, ibu dari Marina sendiri.

"Besok Mama antar ke sekolah, ya? Mama mau lihat sekolah kamu."

Marina mengangkat bahunya acuh. Dia tidak peduli jika Mamanya ingin mengantarnya sekolah, tidak akan ada yang berubah. Lagipula, ini bukan kali pertama.

Inara tersenyum. Marina tidak pernah menolak, meski kadang memberontak jika dia tidak menyukai sesuatu yang Inara lakukan. Tapi semua itu demi kebaikan Marina.

Pintu kembali di ketuk, kali ini Sang bintang muda masuk dengan membawa tas serta dua paper bag. Dan sebuah kotak asing.

"Baju, sepatu sama buku pelajaran kamu buat besok udah ada di dalam." Starla, meletakan barang-barang sang adik di atas narkas.

Marina mengangguk, hanya diam. Tepatnya mencari kesibukan lain dengan menatap ke tempat lain.

"Ini." Marina menatap sang Kakak yang menyodorkan sebuah kotak. "Kamu suka korea, kan? Ini album idola kamu."

Marina meraih kotak memberikan Starla, agak tidak percaya.

"Ini masih satu, dua lagi masih di pesan. Mungkin minggu depan baru datang, harusnya kamu bilang kalau kamu suka korea, pasti Kakak belikan." Starla memperhatikan Marina yang membuka kotak pemberiannya.

Marina menatap tidak percaya, walau dia sanggup untuk membeli apa yang sekarang Starla belikan untuknya. Tapi tetap saja, Marina tidak pernah membeli album baru idolanya.

Marina mengeluarkan empat album dengan warna pink yang semua hampir sama jika di lihat sekilas. Binar itu tidak dapat berbohong, bahkan tanpa sadar sudut bibir Marina terangkat.

"Kamu suka? Kakak dengar idola kamu keluarkan album jepang sama apa satu lagi, Kakak lupa. Tapi Kakak udah pesan, teman Kakak ada yang jadi pemasaran album idola kamu itu, dan itu langsung di kirim dari korea. Kayanya sih gitu. Kakak juga nggak tau." Starla tersenyum saat Marina membuka plastik yang membungkus empat album berwarna pink itu.

"Makasih." Walau pelan, Starla dapat mendengar itu. Ucapan terimakasih Marina yang sangat pelan. Starla tersenyum, artis pendatang baru itu menepuk kepala sang adik.

"Sama-sama." Starla melirik sang Mama yang tersenyum, merasa senang karena bisa melihat senyuman Marina yang sudah sangat lama tidak ia lihat.

"Kamu tidur, udah malam." Marina mengangguk, cewek itu merapikan kembali isi kotak pemberian sang Kakak lalu naik ke atas tempat tidur dan menutup matanya.

Inara dan Starla berjalan keluar setelah memastikan Marina telah tertidur.

"Jadi, dia terima?" Asria bertanya saat sang Mama dan Adiknya tiba di ruang tamu.

Starla mengangguk. "Iya. Dia kelihatan senang banget."

"Mama senang lihat adik kalian senang." Inara tersenyum, merasa sedikit terharu melihat Marina yang terlihat sangat bahagia. "Mama mau ke kamar dulu. Kalian tidur, ini sudah malam." Inara kembali ke kamarnya.

"Keadaan Marina gimana? Masih sering ngiris?" Starla bertanya, cewek bertubuh ramping itu duduk di samping sang Kakak.

Asria menutup buku yang ia baca, menaikan kacamatanya lalu menghela nafas pelan. "Masih, nggak separah dulu. Tapi tetap dia masih nggak bisa lepas dari itu."

Starla ikut menghela nafas. "Dia nggak mau ke psikiater?"

"Dia nggak mau. Dia bilang hanya orang gila yang pergi ke psikiater." Asria melirik Starla. "Kita cukup ada di dekat dia. Walau dia menolak. Dia itu kesepian."

. . .

Komen yang banyak dongs, sepi amat...

GamaeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang