Kemarin, Marina hampir saja mengetahui dimana letak rumah Kakak kelasnya yang bernama Gaellene Abrian Dyaksa, jika saja si pemilik rumah tidak menarik dan mengantar Marina pulang dengan paksa.
Marina sih senang saja di paksa-paksa pulang oleh Brian, tapi dia benar-benar ingin tau dimana rumah Brian.
Berhubung hari minggu dan Marina merasa bosan di rumahnya yang selalu kosong, hampir mirip dengan gedung berhantu, Marina memutuskan untuk mencari tau dimana letak rumah Kakak kelasnya itu. Dia harus tau.
Siapa tau bisa dapat restu Kakak dan Mama mantu sebelum anaknya naksir padanya.
Mengenakan hoodie berwarna putih dan celana denim, serta ransel kecil Marina bergegas untuk misinya mencari rumah Kakak kelasnya.
Marina lebih memilih menggunakan taxi untuk sampai di warung sate yang katanya berada di dekat rumah Brian.
Memulai pencarian dengan berjalan kaki, Marina menikmati suasana tenang dengan matahari yang belum begitu terik.
Marina berhenti hampir di setiap rumah, memperhatikan halaman setiap rumah. Siapa tau ada motor yang ia kenali di sana.
"Kok nggak ada?" Ini sudah rumah ketujuh yang Marina lihat, mungkin sebentar lagi dia akan di kira pencuri dan di kejar oleh warga sekitar.
"Lo ngapain?" Marina tersentak, cewek itu menoleh dengan kaget. Helaan nafas lega keluar saat orang yang ia cari berada di hadapannya.
Marina menyengir. "Aku mau cari rumah Kakak." Jawab Marina jujur, dia memang berniat untuk mencari rumah Brian. Berhubung Brian ada di hadapannya, jadi dia jujur saja. Siapa tau cowok itu memberitahu jika Marina jujur.
Brian mendengkus. "Buat apa?"
Marina memainkan kakinya. "Mau minta Kakak ajarin aku matematika." Sebagai alasan kuat, Marina mengeluarkan buku yang sempat di belikan oleh Brian. "Jangan setengah-setengah kalo bantu orang, Kak."
Brian memutar bola matanya. Mimpi apa dia semalam hingga bisa bertemu dengan pengganggu kecil ini, masih pagi pula.
"Lo tunggu di taman." Brian menghela nafas pelan, dia tau benar Marina tidak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang cewek itu mau.
"Tapi aku mau tau rumah Kakak dimana." Marina menatap Brian yang memutar bola matanya jengah. "Boleh, ya? Atau kalo enggak Kakak kasih nomor Kakak ke aku? Janji nggak bakal cari rumah Kakak lagi." Marina tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat.
Brian menarik ujung bibirnya, benar-benar adik kelasnya ini. Rasanya ingin sekali Brian membuang atau mengubur Marina agar tidak dia lihat lagi.
"Enggak."
Wajah Marina berubah cemberut, cewek itu menatap Brian memelas.
"Kak..." Marina menarik ujung kaos yang di gunakan Brian. Membuat cowok itu berdecak.
"Pergi ke taman yang ada di sana, kalo lo sampe ngintip kemana gue, jangan harap gue bakal ajari lo." Dengan terpaksa dan tidak rela, tentunya. Marina berjalan menuju taman yang sempat ia lewati sebelum tiba di tempatnya sekarang.
Dia juga tidak berani menoleh kebelakang, karena saat dia menoleh Brian masih disana. Menatapnya dengan wajah datar yang kadang menyeramkan.
Brian menghela nafas setelah tidak melihat pungung Marina lagi. Cewek itu benar-benar nekad. Buat apa juga dia tau rumah Brian? Memang akan ada yang berubah jika Marina tau rumahnya?
Brian berbalik, berjalan melewati beberapa rumah sebelum melirik kembali ke arah taman. Setelah memastikan keberadaan Marina tidak ditemukan, Brian berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Brian bergegas, cowok itu mengambil kunci motor dan jaketnya. Lebih baik dia membawa cewek itu jauh dari sini daripada Marina kembali berulah.
"Lo mau kemana?" Brian melirik, ada sang Kakak yang sedang mengunyah kacang dari toples.
"Belajar." Brian menggendong tasnya yang sempat ia ambil sebelum memakai sepatu. "Gue pulang agak lama."
Brian naik ke atas motornya, memakai helm lalu melajukan motornya menuju taman. Tempat Marina menunggu.
***
Marina duduk di salah satu kursi taman, cewek itu menarik penutup kepala hoodienya menutupi setengah wajahnya.
Taman terlihat mulai ramai, entah anak kecil yang berlarian atau beberapa anak seumuran Marina yang sedang berlari dengan celana training dan baju olah raga.
Mata Marina berhenti di salah satu titik, ada sebuah keluarga kecil. Seorang Ayah, Ibu, dan dua anak perempuan mereka yang bermain ayunan. Sang Ayah mendorong si gadis berbaju biru, sedangkan sang Ibu mendorong gadis berbaju putih.
Pemandangan yang biasa, namun sanggup merobek hati Marina. Mengalihkan pandangan dengan cepat, Marina berdiri saat menangkap figur Brian yang berjalan ke arahnya.
"Kita belajar di kafe aja. Lo harus ajarin gue gitar, jangan lupa." Brian langsung berbalik dan berjalan setelah mengatakan semua itu.
Marina mengikuti, padahal dia belum menjawab ucapan Brian. Tapi cowok itu langsung bergegas.
Naik ke atas motor Brian.
"Jangan modus." Brian langsung memukul tangan Marina yang baru saja maju ke depan, hendak memeluk Kakak kelasnya itu. Tapi penolakan keras yang langsung ia dapatkan.
Marina sih tidak heran, tidak mungkin Brian rela di peluk olehnya.
Sebuah kafe dengan konsep perpustakaan menjadi tujuan Brian. Kafe yang biasa ia datangi, entah karena suasana atau makanannya yang serba cokelat, kesukaan Brian.
Marina hanya mengikuti kemana Brian pergi, dia tidak mau kena tatapan tajam Brian yang kadang membuatnya tidak nyaman.
Brian duduk di salah satu meja kosong, yang di ikuti Marina. Cewek itu duduk berhadapan dengan Brian yang memesan minuman.
"Lo apa?"
"Samain aja." Marina mengeluarkan bukunya dari dalam tasnya.
Brian ikut mengeluarkan buku dan pensil dari dalam tasnya setelah memesan.
"Jadi, kita belajar dari mana?" Marina memperhatikan Brian yang membuka halaman buku matematika milik Marina.
"Lo tau satu tambah satu berapa, kan?"
"Tau, lah. Hasilnya dua, aku itu pintar, Kak." Marina tersenyum bangga, padahal dia hanya menjawab pertanyaan anak TK.
"Kalo gitu kerjain ini." Brian menunjuk salah satu soal.
Marina membaca soal yang di maksud Brian, cewek itu mengerutkan kening. Lalu menatap Brian yang menatapnya dengan datar, seakan tau jika Marina tidak akan bisa mengejakan soal yang ia berikan.
Marina menyengir. "Aku nggak tau, Kak."Brian memutar bola matanya. Dia tau, hari ini akan berakhir dengan panjang.
Sangat panjang.
. . .
Komennya mana???????
Sepi amat ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...