Marina duduk di pinggir kolam berenang, cewek itu mengangkat telepon yang terus saja memanggil sejak tadi.
"Halo."
"Kamu bikin Mama khawatir, kenapa nggak angkat telepon Mama?"
"Sibuk."
Suara helaan nafas dari seberang sana membuat Marina menatap ke arah kolam berenang.
"Kenapa telepon?"
"Kamu sakit?"
"Aku bukan anak kecil lagi."
"Papa kamu kerja, kan?"
Marina mengusap wajahnya kasar. "Nggak usah sok peduli. Mama punya banyak anak yang perlu perhatian Mama sekalian aku. Aku nggak perlu itu."
"Rina, kamu itu anak Mama juga."
"Kalo aku anak Mama, kenapa Mama tinggalin aku?"
Tidak ada suara di seberang sana. Keheningan yang berlangsung cukup lama.
"Stop cari tau tentang hidup aku, Ma. Urus saja keluarga Mama, urus dua anak Mama itu. Nggak usah urusi aku. Aku bisa sendiri."
"Pergi ke Kakak kamu."
"Nggak. Aku bisa urus diri aku sendiri."
"Mama tau semuanya, Rina. Kamu nggak bisa bohong dari Mama. Kamu bisa bersikap biasa saja di depan teman-teman kamu, tapi--"
"Berhenti pantau hidup aku, Ma! Aku nggak suka." Marina menghela nafas kasar. "Mama urus keluarga Mama aja, aku bukan siapa-siapa Mama. Jadi Mama nggak perlu sewa orang-orang itu cuma buat pantau hidup aku. Atau aku hancurkan semua CCTV yang Mama pasang di rumah tanpa sepengetahuan Papa. Mama urus aja suami dan anak Mama." Marina memutuskan sambungan telepon. Cewek itu menghela nafas kasar.
Jika Mamanya peduli, kenapa Mamanya harus meninggalnya. Kenapa hanya pergi dengan sang Kakak? Marina memukul lantai kuat.
"Marina." Marina menoleh, wajahnya yang baru murung langsung hilang. Berganti dengan wajah senang di tambah lengkungan bibir.
"Kenapa, Kak?" Marina berdiri, berjalan menuju Axiel yang berdiri di ambang pintu. "Mau pulang?"
"Ada orang."
"Hah?" Marina mengerjab tidak mengerti.
"Lo buronan?" Ikhsan bertanya, berbisik pelan saat berjalan di samping Marina yang semakin tidak mengerti apa maksud Ikhsan.
Langkah Marina terhenti, cewek itu menatap seorang pria yang duduk di sofa single dengan dua orang berbadan besar berdiri di samping pria itu.
Tatapan kedua sahabatnya yang seakan memberikan kode membuat Marina tersadar.
"Marina." Marina mengetatkan rahangnya, tapi cewek itu bersikap setenang mungkin. "Ayah nggak sengaja lewat, jadi mampir."
"Kak, bisa pulang dulu? Gue mau ngomong sama Ayah gue dulu." Marina tersenyum, mungkin semua ini akan menjadi tanda tanya besar bagi semua orang tapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya cara.
Perlahan, Ikhsan, Lakshan, Axiel, dan Brian menggendong tas mereka. Lalu pamit pada Ayah Marina sebelum berjalan keluar.
"Kalian pulang juga, ya?" Marina menatap kedua temannya yang tampak ingin protes.
"Loh, kenapa temannya di suruh pulang. Ayah cuma mau lihat keadaan kamu aja." Reznan tersenyum.
Marina menghela nafas pelan. "Ngapain Om kesini? Om tidak punya urusan disini. Apa perlu saya telpon Papa saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...