27. Tamu Spesial

2K 304 34
                                    

Acara yang di laksanakan pukul empat itu, sudah mulai ramai sejak pukul tiga sore. Susan memang hanya mengundang beberapa teman, hanya teman dekat dan beberapa kerabat serta tetangga.

Walau di bilang sedikit, tetap saja rumah dan halaman belakang yang menjadi tempat acara berlangsung bisa di katakan ramai.

Brian sedang merampungkan beberapa dekorasi saat kemeja yang ia gunakan di tarik oleh sang Kakak.

"Itu Starla Arova bukan, sih?"

Brian menaikan sebelah alisnya, menatap ke belakang. Arah yang sang Kakak maksud.

Di sana, berdiri seorang perempuan dengan dress selutut berwarna biru muda, rambut di sanggul dan senyuman yang cerah saat bertemu pandang dengan Brian.

Starla tersenyum, berjalan dan berhenti di hadapan Brian. "Jadi, siapa yang ulang tahun?"

Brian melirik sang Kakak yang juga menatapnya bingung. "Karena masih sepi, jadi gue berani ke ngomong sama lo. Kalo udah rame gue nggak akan dekat-dekat lo, tenang aja. Gue nggak bakal buat temannya Rina kena skandal. Oh, iya. Kalo misal Rina tanya, kenapa gue bisa ada di sini. Bilang aja kalian yang sewa gue, kalo dia tau gue sengaja ke sini buat lihat dia. Bisa-bisa dia ngamuk." Starla tersenyum.

"Lo beneran Starla Arova yang di televisi itu?" Susan menatap Starla dengan tatapan kagum sekaligus kaget. "Kok lo bisa tau tentang rumah gue?"

Starla tersenyum, sedikit meringis. "Maaf nih, gue itu tingkat keponya tinggi dan gue akan lakukan apa saja buat orang yang gue sayang. Kurang lebih begitu lah ceritanya gue bisa tau tentang acara dan rumah kalian."

"Gue bisa pinjam ruangan? Gue nggak mau aja di lihat ada di luar sebelum acaranya mulai." Starla tersenyum, Susan mengangguk segera membawa Starla dan beberapa orang yang bersama artis itu masuk ke dalam rumah.

Starla tersenyum, mengedipkan sebelah matanya pada Brian yang hanya diam.

Kedatangan artis papan atas yang sedang naik daun, tentu sangat membuat acara ulang tahun yang awalnya biasa saja, menjadi luar biasa.

Mungkin setiap orang kaget dan sangat merasa takjub dengan kedatangan Starla. Tapi tidak dengan seorang gadis yang hanya duduk di salah satu kursi dengan tatapan jengah ke arah panggung.

"Makasih untuk hadiahnya." Marina menoleh, menatap Susan yang duduk di sampingnya.

"Maksud Kakak?"

"Gue udah tau kalo Starla itu Kakak lo."

Marina membuang muka, memilih menunduk. Menatap sepatunya.

"Pantas aja muka lo kayak nggak asing, ternyata muka lo mirip dengan Mamanya Starla yang ternyata Mama lo juga, iya kan?" Susan tersenyum kecil saat Marina mengangguk pelan. "Dia kelihatan sayang banget sama lo. Dia bahkan rela datang ke sini, demi lihat lo."

Marina menggeleng. "Dia cuma pencitraan." Marina melirik Starla yang sedang bernyanyi di atas panggung.

Susan tertawa. "Dia cerita banyak hal, dan setiap dia cerita tentang lo. Matanya selalu berbinar."

Marina terdiam, masih menunduk menatap sepasang sepatu yang ia pakai. Marina menghela nafas.

"Setelah ini dia pasti paksa gue tinggal di rumahnya, sebagai bayaran dia datang ke sini."

Susan tertawa. "Tapi gue senang sih lihat dia di sini, gue jadi bisa lebih kenal sama dia. Awalnya gue kira dia sombong atau gimana karena artis dan anak orang kaya. Tapi saat gue benar-benar lihat dan dekat sama dia. Ternyata dia orang yang sangat beda. Dan gue temukan persamaan kalian berdua."

Marina menatap Susan yang tersenyum. "Kalian sama-sama keras kepala. Buktinya, walau tau lo pasti akan ngamuk dia di sini, tetap di sini. Dan lo, walau Brian tolak lo berkali-kali. Lo tetap kembali."

Marina membuang muka, menggigit bibir bawahnya. "Enggak."

Susan menepuk bahu Marina, membuat cewek itu menatap Kakak dari Gaellen Abrian Dyaksa. "Darah nggak pernah bisa berbohong. Lo lihat gue sama Brian, sifat gue dan dia sangat bertolak belakang. Brian agak pendiam, sedangkan gue nggak bisa diam. Tapi apapun yang terjadi gue bakal selalu ada di samping dia, dan Brian, dia selalu menyempatkan diri buat bantu gue, atau sekedar temani gue. Walau yang dia lakukan tidak lebih dari diam. Setiap rasa sayang di tunjukan dengan cara berbeda. Bahkan kadang kita nggak sadar."

Marina terdiam, kepalanya menunduk. "Masalah gue nggak sesimpel itu, Kak. Yang Kakak lihat cuma satu dari ribuan masalah gue."

Susan tersenyum. "Gue emang nggak tau masalah lo sebanyak apa, atau serumit apa. Tapi, gue sarankan. Berdamai. Semua hal akan selesai jika kita berdamai. Nggak mudah, sangat. Tapi itu salah satu cara terbaik."

Marina hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Makan kuenya, itu gue yang buat sendiri." Susan tersenyum sebelum beranjak, meninggalkan Marina yang masih diam di tempat dengan kepala menunduk.

Marina menghela nafas, bahunya melemas dengan nafas berat. Ia menatap sang Kakak yang tampak bernyanyi di atas panggung, tidak lupa banyaknya kamera yang mengabadikan kedatangannya.

"Nggak makan?"

Marina menoleh, tersenyum saat melihat siapa duduk di sampingnya. "Nanti."

Brian melirik, tidak biasanya gadis ini akan lesu dan agak pendiam. "Lo kenapa?"

Marina menggeleng pelan. "Enggak. Cuma agak ngantuk aja." Marina menguap, tidak sepenuhnya berbohong. Dia memang agak mengantuk, apalagi saat tidak ada hal yang bisa ia lakukan. Kebanyakan tamu di acara ini tidak ia kenali.

"Heyyo!" Marina mendongak, tersenyum pada siapa yang datang mendekat. "Ciah, lagi pacaran ceritanya?" Sheva menaik turunkan alisnya, menatap Brian yang mendengkus kuat.

"Oh, jadi ini cewek yang kamu maksud?" Cowok jakung yang berdiri di samping Sheva tersenyum, mengulurkan tangannya pada Marina yang membalas uluran tangan itu. "Gue Rizky, pacarnya Sheva. Dia cerita banyak tentang lo."

"Marina." Gadis itu tersenyum. "Kakak ternyata punya pacar?" Marina menatap Sheva yang mengambil tempat di sampingnya, sedangkan Rizky memilih duduk di samping Brian.

"Punya, dia pacar gue dari SMA malah. Singkatnya nih, Verga sama Rizky sahabatan, gue sama Susan sahabat, Rizky sama gue, Susan sama Verga." Sheva mengibaskan rambutnya kebelakang. "Ini sebenarnya rahasia, tapi karena cerita lo hampir sama dengan gue. Gue rasa nggak masalah."

Marina menatap Sheva, menunggu cerita cewek itu.

"Gue dulu juga kejar-kejar Rizky." Sheva sedikit berbisik, membuat Marina menatap dengan kaget. "Tapi, semesta memang baik sama gue. Dia buat Rizky akhirnya ajak gue pacaran, dan sampai sekarang."

"Kakak hebat banget kalo gitu, capek-capek ngejar akhirnya berbuah manis." Marina mengangkat kedua ibu jarinya. "Kalo gue kayaknya beda cerita." Marina melirik Brian yang tampak asik bercerita dengan Rizky, begitu juga Sheva yang tersenyum.

Sheva menepuk bahu Marina. "Tenang aja, semua ada masanya. Ada kalanya lo harus mengejar sekuat tenaga, ada kalanya lo capek, ada kalanya lo berhenti dan akhirnya menyerah. Semua ada waktunya sendiri, sekarang mungkin lo yang kejar Brian, lo yang capek, tapi nanti bisa aja dia yang kejar lo sampe capek."

Marina tertawa. "Emang Kak Brian mau sama gue? Lihat gue aja kadang malas."

Sheva tertawa. "Karma berlaku. Lo bakal suka cara kerja karma. Terutama buat cowok jual mahal kayak Brian."

. . .

Masih ada yang baca?

GamaeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang