Brian pernah berjanji untuk tidak pernah membawa Marina ke rumahnya, karena itu akan menjadi suatu masalah besar.
Tapi tampaknya sang Kakak tidak peduli.
"Ih, keren." Sheva menatap album berwarna pink itu dengan kagum. "Lo punya semua?"
Marina mengangguk, menunjukan album dan beberapa poster yang ikut dalam kotak yang di berikan sang Kakak.
"Ini pertama kalinya gue pegang album asli." Susan menatap album berwarna pink itu dengan antusias.
"Lo beli sendiri?" Sheva bertanya setelah membuka salah satu album.
"Kakak gue yang belikan." Marina meminum es jeruk yang di buat Brian walau dengan sangat terpaksa atas suruhan Susan.
"Lo punya Kakak?" Sheva melirik Marina yang mengangguk pelan. "Tapi nggak pernah kelihatan tuh."
"Kerja." Marina tersenyum kecil, terutama saat mendapati Brian memperhatikan ketiganya tapi saat bertemu pandang dengan Marina cowok itu langsung memutar bola matanya dan berdecak, memilih menonton televisi yang menayangkan sebuah film.
"Maaf ya gue nggak sempat jenguk lo waktu itu, habis Brian bilang dia udah ke rumah lo terus bilang lo baik-baik aja." Susan meletakan album berwarna merah muda itu kembali ke kotak.
Marina tersenyum, terdiam sesaat. "Nggak pa-pa kok, gue juga cuma demam doang."
Brian mendengkus pelan, namun masih terdengar oleh Marina. Gadis itu melirik Brian yang tampak kesal. Pasti katanya kehadiran Marina.
"Eh, iya. Gue ada janji sama pacar gue. Maaf nih, kita lanjut rumpi kita kapan-kapan aja ya? Kalo bisa nggak usah ada cowok." Sheva melirik Brian yang memutar bola matanya, dia hanya sindiran itu untuknya. Tapi tingkat masa bodo Brian sedang tinggi, ia tidak peduli.
Sheva menatap ponselnya, lalu tersenyum dan menarik tangan Susan. Membuat Kakak dari Abrian itu menatap sahabatnya bingung.
"Verga juga ada di sana, sekalian aja yuk. Biar bisa double date gitu." Susan menatap Sheva, lalu dengan satu kedipan mata Susan mengangguk. Dia tau apa maksud Sheva.
"Jaga rumah bentar, gue mau main." Susan menatap Brian yang membalas dengan wajah datar. "Kapan-kapan kita main lagi, bye-bye." Susan melambaikan tangannya, yang di balas Marina dengan senang hati.
Keadaan langsung hening, walau suara televisi mendominasi. Marina membereskan barang-barang yang ia bawa. Dia ingat Susan dan Sheva menjerit histeris saat tau Marina memiliki album tadi idola mereka. Bahkan tanpa pikir panjang memberikan alamat rumah pada Marina. Tentu, menjadi kesenangan tersendiri bagi Marina. Brian kucing-kucingan soal rumahnya, tapi Susan dengan terang-terangan memberikan alamat rumah. Marina tidak perlu repot-repot jadi agen FBI untuk tau rumah Brian yang selama ini dia cari-cari.
"Pulang sana." Marina menoleh, menatap Brian yang masih fokus pada televisi. "Gue males lihat lo."
Marina tersenyum, gadis itu meletakan tasnya lalu duduk di samping Brian, membuat cowok itu melirik tidak suka dan membuat jarak.
"Kakak jual mahal banget sih." Brian mendelik, terutama saat Marina dengan sengaja memeluk lengannya dan bersandar pada bahunya.
"Lepas, gue geli!" Brian melepaskan tangan Marina, wajah gadis itu seketika cemberut. "Pulang!"
"Males," Marina melipat tangannya di depan dada, wajahnya kesal dengan bibir maju beberapa centi. "Aku mau dekat-dekat Kakak, kalo di sekolah ada Medusa yang dekat-dekat Kakak. Kalo disini kan enggak."
Brian menghela nafas, mengusap wajahnya kasar. Jika saja syaraf warasnya putus pasti dia sudah mengusir Marina dengan cara yang tidak manusiawi. Tapi, dia selalu di ajarkan untuk sopan pada perempuan. Dan Marina termasuk perempuan. Walau dia berharap Marina sebuah pengecualian.
"Gimana kalo kita belajar bareng, Kak?" Brian menoleh, menatap Marina yang berlari untuk mengambil tas dan mengeluarkan buku. "Aku mau belajar, asal sama Kakak." Marina menyengir.
Brian menghela nafas, stok sabarnya tidak banyak. "Pulang."
Marina cemberut. "Aku minta di ajarin salah, aku bego di marahin."
Brian menghela nafas kasar. "Gue ambil buku."
Marina berteriak senang. Gadis itu bahkan bertepuk tangan saking bahagianya.
Brian menggeleng, dengan terpaksa berjalan naik ke lantai atas dan kembali dengan buku dan pensil. Sedangkan di lantai dasar, Marina tampak sudah bersiap dengan buku-bukunya.
Duduk di depan Marina yang terus tersenyum lebar, Brian menghela nafas sekali lagi.
"Nggak ngerti yang mana?" Brian menatap malas.
Marina menunjuk bukunya. "Semua."
Brian sudah tau, pasti tidak ada satu pun rumus atau ilmu yang ada di kepala adik kelasnya itu.
"Gue jelasin sekali, lo nggak ngerti bodo amat."
***
Marina menggerakan punggungnya yang terasa kaku. Sedangkan cowok di depannya langsung membereskan buku-buku dan bergegas naik.
"Mama kerja, ya?" Langkah Brian berhenti, cowok berhenti di tangga ke tujuh. Dia berbalik menatap Marina yang menatapnya.
Brian mengangguk. "Hm." Cowok itu melanjutkan langkahnya.
"Punya Mama itu enak ya." Langkah Brian berhenti lagi, kali itu menoleh dengan cepat ke atau gadis yang menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. "Di sayang, di kasih perhatian."
Brian terdiam. Dia sudah mengenal Marina dalam kurun waktu cukup lama. Namun dia memang tidak mengetahui apapun tentang Marina sekalian sifat gadis itu yang sering sekali membuatnya kesal.
"Aku pulang deh, Kak. Makasih udah ajarin aku." Marina merapikan buku dan peralatan menulisnya, cewek itu menggendong tasnya. Berbalik ke arah Brian yang masih membeku di tangga, Marina tersenyum. Melambaikan tangannya, dengan senyuman sebelum berjalan keluar dari rumah Brian.
"Untuk apa gue pikirin juga?" Brian menggelengkan kepalanya, untuk apa dia berpikir keras tentang hidup Marina?
Membuang waktu saja.
***
Rumah yang selalu kosong, hawa dingin yang selalu menusuk hingga tulang. Bukan hal aneh lagi buat Marina. Tapi, sekali saja Marina ingin sekali saat dia pulang ada yang menyambutnya. Pasti menyenangkan saat ada yang menunggu ia pulang di rumah.
"Dari mana lo?"
Marina menoleh dengan kaget, matanya berubah tajam. "Ngapain lo di sini?"
Cewek dengan rambut di ikat tinggi itu tersenyum. "Kenapa? Lo takut?"
Marina mendengkus. "Gue bukan Marina yang dulu."
"Oh, ya?" Cewek itu terkekeh pelan. "Lo tau 'kan, gue selalu bisa dapatkan apa yang gue mau. Dan lo pasti tau, gue suka rebut apapun yang lo punya."
Cewek itu tersenyum manis. "Karena gue suka lihat air mata lo."
. . .
Komen yang banyakkkkkkkkkk....
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...