Marina terus memperhatikan apa yang Brian jelaskan, walau banyak yang hanya numpang lewat tanpa melekat pada otaknya.
"Lo ngerti, nggak?" Brian menatap datar Marina yang menggaruk tengkuknya. Menghela nafas pelan, Brian menulis sebuah soal di atas kertas lalu memberikan pada Marina. "Kerjakan, kalo gue kembali lo belum selesai. Gue nggak bakal antar lo pulang."
"Kakak mau kemana?" Marina mendongak menatap Brian yang berdiri dari kursinya.
"Toilet." Marina memperhatikan Brian, hingga cowok itu menghilang.
Marina menatap soal yang di berikan Brian, cewek itu memutar otak. Ia mencari mencari di google, tapi tidak menemukan. Tentu saja, itu soal yang berasal dari otak Brian, jika ingin tau jawabannya harus bertanya pada Brian.
"Bisa?"
Bahkan saat Brian kembali, Marina belum menyelesaikan satu soal itu. Brian yang sudah memprediksi hanya bisa berdecak.
"Rumusnya itu ini, gue baru jelaskan ke elo tadi. Bahkan sama dengan contoh soal di sini." Brian menunjuk buku dengan agak kesal. "Kerjain."
"Iya." Marina mengangguk dengan agak takut, Brian jika marah memang menyeramkan sekali.
Marina mengerjakan soal yang ternyata sama dengan contoh soal yang sempat di baca oleh Brian. Sepertinya memang Marina saja yang malas untuk sekedar membaca buku.
"Lo kidal?" Marina yang sedang serius mengerjakan soal, mengangkat kepalanya. "Gue baru tau." Cowok dengan jaket berwarna abu-abu itu meminum pesanannya yang berbahan dasar cokelat dengan santai.
Marina memperhatikan tangannya, dia memang kidal. Lebih dominan menggunakan tangan kiri.
"Iya, dari kecil."
"Iya, lah. Masa baru sekarang." Brian memutar bola matanya.
"Kakak sensi mulu kalo dekat aku." Marina mengecutkan bibirnya.
Brian berdecak. "Udah kerjain atau nggak gue antar pulang."
***
Setelah beberapa jam belajar dengan angka-angka yang membuat kepala Marina berdenyut, dia memang tidak bisa berteman baik dengan mata pelajaran yang mengandung banyak hitungan.
Marina meminum cokelat dingin yang sama dengan pesanan Brian, bahkan saking serius mengerjakan soal yang selalu Brian berikan setelah menjelaskan materi, minumannya tidak lagi terasa dingin.
"Lega.." Marina melemaskan semua ototnya yang ikut tegang sejak tadi, sama seperti otaknya yang rasanya mengeluarkan asap saking panasnya.
Brian mendengkus geli. Tapi tampaknya cewek itu tidak menyadari, Marina malah kembali meminum minumannya hingga tandas.
"Kurang banyak." Marina hendak berdiri, ingin memesan lagi. Tapi Brian menahan tangan cewek itu.
"Pulang aja."
"Tapi haus." Marina mengusap lehernya, menunjukan betapa dia kehausan.
"Nanti beli es cendol." Brian merapikan buku-bukunya.
"Beneran?"
Brian berdeham.
"Traktir, ya?" Brian melirik tajam, membuat Marina langsung diam. "Iya." Marina merapikan peralatannya dengan cepat. Mood Kakak kelasnya ini seperti Roller Coaster, naik turun.
Brian menggeleng, dasar cewek aneh. Isi kepalanya hanya traktiran saja.
"Kakak suka belajar, ya?" Marina bertanya saat motor Brian sudah melaju meninggalkan parkiran kafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...