Rumah besar dengan pagar tinggi dan halaman luas. Apa ini rumah Brian?
"Ini bukan rumah gue." Brian seakan tau isi kepala Marina, cowok itu sudah lebih dulu menjawab.
Marina mengangguk, dia mengikuti Brian yang berjalan menuju halaman belakang rumah besar tersebut.
"Bang."
Verga yang tadinya sedang bermain game di ponselnya tersentak. Cowok yang sedang duduk di sofa itu menoleh.
"Ngapain lo ke sini? Kakak lo nggak disini." Verga kembali memainkan gamenya.
"Gitar gue mana?"
"Di dalam. Ambil sendiri." Verga membuat gerakan mengusir, Brian berjalan masuk ke dalam rumah besar itu. Sedangkan Marina diam berdiri di tampaknya tadi.
Merasa di perhatikan, Verga akhirnya melirik. Menemukan orang asing yang berdiri sambil menatap sekeliling.
"Lo siapa?"
Marina tersentak, dia tersenyum. "Temannya Kak Ian."
Verga menatap Marina dengan mata menyipit, bahkan menghentikan permainannya untuk melihat Marina yang masih berdiri dengan memainkan sepatunya.
"Ga, chargeran gue mana?" Suara teriakan dari seorang cewek dengan kaos oblong berwarna biru membuat baik Verga maupun Marina menoleh. "Eh, lo siapa?"
"Temannya Brian." Verga menjawab, mendahului Marina yang hampir bersuara.
"Gue baru tau Brian punya teman cewek. Bukan pacar?"
"Bukan." Ketiganya menoleh saat suara lain menyahut, Brian dengan gitar di tangannya. Gitar yang memang sengaja Brian titip di rumah Verga, alasanya agar dia bisa mengambilnya tanpa Marina tau dimana rumah Brian. Dia pernah bilang tidak akan membiarkan Marina mengatahui rumahnya.
"Lo bawa lari anak orang?" Sheva melipat tangannya di depan dada.
Brian menggeleng. "Dia guru musik gue."
"Oh, jadi ini." Verga manggut-manggut. "Memang mau latihan dimana?"
"Di taman."
"Disini aja. Biar rame." Sheva memberikan usul yang langsung disetujui oleh Verga. "Jarang loh lo bawa cewek." Sheva tersenyum penuh makna.
Brian menghela nafas. "Terserah." Brian meletakan tasnya di atas sofa, lalu dirinya ikut menyusul untuk duduk. Brian melirik Marina yang masih diam di tampaknya. "Duduk."
Marina menoleh, cewek itu menggaruk tengkuknya lalu duduk di samping Brian. Mungkin banyak yang mengira jika Marina akan tetap petakilan dan dapat diam, sekalipun diantara orang yang tidak dikenalnya karena sifat agak tidak tau malunya yang sangat mendarah daging. Sebenarnya Marina canggung dan selalu merasa tidak nyaman diantara orang baru yang tidak ia kenal.
"Kunci apa lagi?" Brian bertanya, membuat Marina menoleh ke arahnya.
Verga yang sejak tadi memperhatikan Marina tersenyum geli, interaksi kedua orang itu memang sangat aneh.
"Sebenarnya Kakak udah bisa main lagu kalo udah bisa kunci yang kemarin aku ajarin."
"Anjay, pake aku segala," Verga tertawa terbahak, apalagi melihat wajah masam Brian. "Gemesin kalian berdua ini."
"Eh, ini di minum dulu." Sheva yang sempat pergi untuk membuatkan minuman--karena pembantu rumah tangga mereka sedang pergi ke pasar--kembali dengan beberapa gelas sirup dan camilan. "Bisa main gitar?" Sheva yang memang selalu ramah bertanya pada Marina yang mengangguk pelan.
"Panggilannya pake aku-aku, Va. Kalo Susan tau seru nih." Verga terkekeh, masih merasa geli.
"Susan mah setuju aja pasti." Sheva meraih salah satu gelas dan meminum isinya. "Minum aja, anggap rumah sendiri. Gue sama ade gue nggak mengigit kok."
"Eh, gue mengigit kok. Lo aja yang nggak tau." Verga menimpali sambil memakan camilan di atas meja.
Marina hanya mengangguk.
"Lagu apa yang cuma empat kunci." Brian mengambil alih perhatian Marina dengan pertanyaan cowok itu.
Marina langsung melepaskan tasnya dan mengambil beberapa kertas.
"Ini lagunya cuma empat kunci, Kakak pasti bisa." Marina memberikan beberapa lembar kertas yang telah ia siapkan. Beberapa lagu yang menggunakan empat kunci.
"Em?" Brian menatap salah satu lagu yang menggunakan kunci yang tidak ia ketahui.
"Itu di sini." Marina mengarahkan tangan Brian. "Itu kunci paling gampang kalo menurut aku, karena cuma dua senar yang di tekan."
Brian mengangguk, ia mencoba agar bisa menguasai kunci yang baru ia ketahui ini. Bahkan tidak peduli jika tangannya melepuh karenanya.
Waiting for you, Anpanman
Waiting for you, AnpanmanPonsel Marina tiba-tiba berbunyi, membuat cewek itu cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan yang baru masuk ke ponselnya.
"K-popers ya?" Sheva menatap Marina yang menoleh padanya, cewek dengan seragam SMA itu mengangguk. "ARMY?"
Marina menyengir. "Iya, Kak."
Sheva tiba-tiba tertawa kuat, bahkan sampai bertepuk tangan beberapa kali membuat Brian yang sedang berusaha memainkan satu lagu saja menoleh, sedangkan Verga menatap aneh Kakaknya itu.
"Lo kenapa nggak bilang kalo punya yang sebangsa dengan gue sama Susan? Wah, parah lo." Sheva menendang kaki Brian. "Gue harus bilang ke Susan."
Bagai ada alarm di kepala Brian yang baru saja memahami situasi yang terjadi, cowok itu menahan Sheva yang hendak berjalan masuk. Pasti ingin mengambil ponsel dan menelfon Susan. Ini bahaya! Kode merah!
"Jangan." Brian menggeleng kuat. "Gue mencoba buat jauihin dia dari Kakak gue, jangan sampe Kakak gue tau, Kak. Gue nggak mau dia ketemu sama Kakak gue."
Sheva menatap Brian yang terlihat sangat tegas mengatakan ini. Benar-benar serius.
"Kenapa?"
Brian menghela nafas. "Dia itu cuma pengganggu, gue nggak mau dia sampe tau keluarga gue. Apalagi Kakak gue. Please."
Mungkin Sheva dan Brian tidak bisa melihat setitik kekecewaan di mata Marina, tapi Verga melihat itu dengan jelas. Bahkan mata Marina sempat bertemu dengan milik Verga yang semakin memperjelas semua itu, tapi Marina cepat-cepat membuang muka ke arah lain.
"Fine." Sheva mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Cepat atau lambat juga bakal ketahuan." Sheva kembali duduk di tempatnya.
Brian juga ikut kembali duduk di tempatnya, sedangkan Marina berlagak seakan tidak terjadi apa-apa.
Marina berusaha agar matanya tidak bertemu dengan milik Verga yang sejak tadi terus memperhatikan, membuat ia sedikit tidak nyaman.
"Emm, Kak aku pulang duluan ya. Tadi di sms sama Papa buat pulang cepat soalnya. Kakak pelajari aja, aku balik duluan. Kak, pamit pulang." Marina tersenyum ke arah Verga dan Sheva, lalu menggendong tasnya dan berjalan pergi dari halaman rumah super luas itu.
"Padahal gue mau tanya-tanya sama dia." Sheva berdecak kecewa.
"Lo jangan kasar dong." Brian yang tadinya sedang fokus pada gitarnya menoleh. "Sekalian aja lo ngomong di depan dia."
"Lo kenapa sih, Bang? Marah-marah nggak jelas." Brian menatap bingung Verga yang berdecak.
"Sudahlah lo terlalu bego buat ngerti." Verga beranjak dari tempatnya.
"Maksud lo apa?" Brian yang mulai tersulut ikut berdiri.
Verga menatap Brian, cowok yang berbeda beberapa tahun dari Brian itu tersenyum.
"Jangan buat orang yang ada di sekitar lo kecewa hanya karena keegoisan, kepercayaan itu susah untuk di dapatkan."
. . .
Lama nggak update..
Sibuk soalnya...
Komen ya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...