Tatapan Marina berubah, cewek berdiri di depan Brian. Seakan menjadi tameng.
"Kakak cuma mau lebih tau tentang teman-teman kamu." Asria tersenyum, dokter muda itu melirik sosok yang berdiri di belakang Marina. "Temannya Rina, ya?"
"Kak, stop." Marina menatap Asria tajam. "Cukup kemarin aja gue ketipu sama Kakak."
Asria tersenyum. "Apa salahnya sih kamu ke rumah? Mama juga kangen sama kamu."
"Itu bukan rumah gue." Marina menatap Asria. "Pura-pura aja nggak kenal gue kalo di luar. Gue tau Kakak nggak mau reputasi sebagai dokter muda berbakat musnah gitu aja karena mereka tau Kakak punya keluarga yang seperti gue."
Asria menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Sebenarnya, aku nggak peduli dengan pandangan orang lain. Yang aku tau, kamu dan Starla itu adik aku, nggak peduli ucapan orang di luar sana tentang kamu. Apapun yang mereka katakan kamu tetap bagian dari keluarga kami."
Marina tersenyum sinis. "Mama tinggalkan gue demi lo, itu artinya gue nggak ada hubungan apa-apa dengan kalian."
"Kamu selalu saja keras kepala, semua itu ada alasanya."
Marina membuang muka. "Pura-pura nggak kenal saja." Marina menarik tangan Brian, tapi tangan Marina keburu di tahan oleh Asria.
"Kamu temannya Marina, ya? Temani Marina sebentar ya, dia nggak mau bicara kalau cuma berdua soalnya." Asria tersenyum, ada sedikit nada memerintah dalam ucapan dokter muda itu. Tentu dengan tatapan yang seakan menuntut.
"Iya." Marina menatap Brian tidak percaya.
"Kita pulang aja, Kak." Marina melepaskan tangan Asria yang memegang tangannya, dia menarik Brian tapi cowok itu hanya sia-sia.
"Bicarakan baik-baik." Brian mengangguk pelan. "Lo harus dengar apa kata Kakak lo dulu." Asria tersenyum saat Brian melirik ke arahnya.
Marina menghela nafas. "Lima menit, nggak lebih dari itu!"
***
Nyatanya, lebih dari lima menit berlalu. Tidak ada suara, hanya suasana yang tenang di salah satu kafe yang tampak sepi di pinggir jalan.
"Sering-sering main ke rumah." Marina membuang muka, memilih menatap ke tempat lain dari pada mendengar ucapan Asria. Tatapan Asria berpindah pada Brian. "Kamu temannya Marina, ya?"
Brian hanya mengangguk.
"Rina dari dulu emang nggak berubah, masih saja keras kepala. Sudah banyak cara kami lakukan supaya dia percaya, tapi tetap saja tidak percaya." Asria menghela nafas pelan. "Ah, saya belum memperkenalkan nama. Saya Asria, Kakak pertama Marina."
Brian menyambut uluran tangan Asria. "Abrian, panggil saja Brian."
Asria mengangguk, tersenyum teduh saat matanya menatap Marina yang masih menatap ke tempat lain. "Rina sebenarnya baik, dia sekali sayang pada satu hal. Dia tidak akan lepaskan, makanya saat hal yang ia sayangi itu pergi, dia tidak akan terima."
Marina mendengkus kuat. "Jangan bicara omong kosong."
Asria terkekeh. "Dia jarang menunjukan rasa sayangnya, tapi sekalinya dia tunjukan, orang itu akan jadi orang paling beruntung."
Suara bel yang sengaja di pasang di belakang pintu kafe membuat Brian menoleh, sedikit terkejut melihat siapa yang memasuki kafe yang terbilang sepi itu.
Dengan santainya duduk di hadapan Brian, membuka kacamata, topi, masker dan jaket yang membungkus.
"Hei, Dek." Starla Arova menyapa, yang hanya di balas dengusan kasar oleh Marina. "Kakak punya loh album idola kamu lagi, ada tanda tangannya juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...