Brian, adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia anak bungsu, memiliki seorang Kakak yang terpaut dua tahun darinya.
"Tugas banyak?" Brian meletakan toples berisi kacang kesukaan sang Kakak di atas meja, Kakaknya melirik kemudian kembali fokus pada laptop yang tengah menunjukan power point.
"Banget. Hampir gila gue." Kakaknya itu mengambil segenggam kacang lalu memasukan satu persatu ke dalam mulutnya sembari tetap mengetik kata-kata dan memasukan beberapa gambar ke dan power point yang di buatnya.
"Kuliah itu susah, ya?" Brian duduk di samping Sang Kakak yang mengangguk.
"Kehidupan nyata terjadi di kuliah." Susan, kembali sibuk mengetik. "Hape gue mana ya? Perasaan tadi ada di sini." Susan mengangkat beberapa buku yang tergeletak di atas meja. Barangkali ponselnya berada di bawah benda itu.
Brian hanya memperhatikan, cowok itu lebih memilih bermain ponsel.
"Buka pintu, Verga di depan." Susan menepuk kaki Brian yang berada di sampingnya, dengan ogah-ogah Brian bergerak menuju pintu.
Benar saja, ada seorang cowok dengan kaos putih dan celana belel. "Kakak lo ada, kan?"
"Emang dia mau kemana lagi?" Brian memutar bola matanya, kemudian membuka pintu lebar dan menyingkir.
"Gue bawa makanan nih." Verga, memberikan plastik berisi beberapa martabak manis pada Brian, sedangkan cowok itu bergerak menuju Susan yang masih sibuk mengetik.
Brian meletakan martabak manis di atas meja, memindahkan martabak itu ke atas piring, setelahnya membawa ke ruang tamu. Tempat di mana Kakaknya dan pacar sang Kakak sedang berbincang.
Verga mengambil satu potong martabak manis dan memakannya. "Gimana sekolah? Masih sama?"
"Hm, apalagi yang beda dari sekolah?" Brian mengangkat bahu cuek. "Kecuali adik kelas gila yang selalu kejar-kejar gue."
Verga tertawa. "Masih? Gue kira udah nyerah. Kuat mental berarti tuh cewek."
"Gue penasaran cewek macam apa yang bertahan dengan muka datar lo. Kadang-kadang gue aja kesal lihat lo." Susan ikut mencomot martabak manis di atas piring. "Bawa sini dong, gue penasaran banget."
Brian mendengkus. "Malah gue berharap dia nggak akan pernah menginjakkan kaki ke rumah."
Verga tergelak. "Gue sarankan ya, lo jangan bilang gitu. Biasanya doa jelek itu malah bisa jadi kebalikannya."
"Gue usir kalo sampe dia ke sini." Ucap Brian penuh keyakinan. "Gue pasang penangkal setan ntar."
***
"Arghh!"
Amelita menatap Marina dengan pandangan aneh. "Nape lu? Kesambet?"
Marina mengacak-acak rambutnya dengan rasa kesal setengah mati. "Gue pengen bunuh diri."
"Silahkan." Joseline menanggapi dengan santai, bahkan gadis itu lebih sibuk membaca buku filsafatnya dari pada mencari tahu kenapa temannya ingin bunuh diri.
"Lo kenapa sih?" Amelita memutar bola matanya saat Marina menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan masih saja mengomel tidak jelas. "Gue sleding juga lo."
"Masa gue dapat dua puluh!" Marina menunjukan hasil ulangan matematikanya yang bernilai dua puluh dengan tinta merah. "Gue harus jadi anak baik."
Kali ini Joseline merasa pembicaraan mulai menarik, jadi cewek itu menutup bukunya. "Emang kenapa?"
"Kak Lakshan bilang kalo gue bisa dapat nilai sempurna gue bakal di traktir selama seminggu, tapi kalo gue kalau gue harus jadi anak baik!"
Joseline dan Amelita tertawa keras. Rasanya menyenangkan mendengar keluhan Marina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...