"Marina?"
Marina yang belum melangkahkan kakinya mengikuti Brian menoleh, wajahnya langsung berubah. Senyuman atau sorot mata senangnya hilang. Berganti dengan benci.
"Kakak nggak nyangka ketemu kamu disini." Seorang wanita cantik dengan make up tipis dan pakaian yang casual namun terkesan girly tersenyum.
"Gue malah nggak berharap ketemu lo disini, atau dimana pun." Marina menatap dengan datar perempuan itu.
Artis dengan berbagai talenta, bernyanyi, akting dan model. Starla Arova.
Starla menghela nafas pelan. "Kamu kerumah sekali-sekali, Mama kangen sama kamu."
Marina tersenyum sinis. "Bilang sama Mama, kalo dia sayang gue dia nggak bakal pergi gitu aja. Gue merasa jadi sampah."
"Nggak gitu, Dek. Mama itu sayang kamu." Starla hendak meraih tangan Marina, tapi dengan cepat cewek itu menepis.
Perlahan kasir dan beberapa asisten Starla serta beberapa orang yang berada di sekitar keduanya berjalan mundur. Memberikan waktu.
"Kalian semua itu sama. Pergi gitu aja. Udah, nggak ada yang perlu di bicarakan. Kalo ketemu gue, pura-pura nggak kenal aja." Marina bergegas berjalan keluar dari toko itu.
Starla menghela nafas pelan.
Marina mengatur nafasnya, dia hampir saja meledak disana. Tapi rasa sakitnya memang tidak tertahan lagi.
"Lama banget." Brian yang sudah berada di atas motor melirik Marina yang menyengir, seakan bukan dirinya yang marah-marah beberapa menit yang lalu.
"Tadi ada yang minta foto, maklum aku 'kan artis. Kakak aja yang rugi nggak mau sama aku." Marina naik ke atas motor Brian. "Sini aku peganganin bukunya." Brian menurut, cowok itu memberikan plastik berisi bukunya pada Marina.
"Hari ini nggak usah latihan dulu, gue mau ulangan besok." Brian melirik melalui spion, cewek yang duduk di belakangnya itu mengangguk. "Gue antar pulang."
"Kakak modus, ya? Supaya tau rumah aku," Marina tersenyum dengan pedenya. "Ngaku.."
Brian berdecak. "Turun."
"Eh, iya maaf. Becanda doang Kak." Marina menyengir, takut di turunkan di pinggir jalan.
Brian menggeleng, tapi tetap melajukan motornya.
***
Motor Brian berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi menjulang.
"Makasih, Kak." Marina tersenyum, mengucapkan terimakasih setelah turun dari motor Brian. "Kakak mau mampir?"
Brian menggeleng. "Gue mau belajar."
Marina mengangguk. "Makasih atas bukunya. Tapi Kakak benar-benar kerja setengah-setengah harusnya Kakak sekalian ajarin aku belajar."
Brian menggeleng, jika dia mengajari Marina artinya dia akan memiliki lebih banyak waktu bersama gadis itu. Yang artinya masalah besar.
"Gue balik." Brian melajukan motornya. Marina memperhatikan motor Brian hingga hilang dari pandangnya. Setelahnya baru ia berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Marina membuka pintu, buku pemberian Brian masih berada di tangannya. Cewek itu melepaskan sepatunya, lalu meletakan di rak sepatu.
Di ruang tamu, terlihat sang Ayah yang sedang bekerja. Dengan laptop yang menyala dan beberapa berkas yang terbuka di atas meja.
Marina bergegas menuju kamarnya, satu-satunya tempat di rumah besar itu dimana dia menjadi dirinya sendiri.
Meletakan gitar dan buku pemberian Brian, Marina menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Mata gadis itu melirik laci narkas, ada kertas berwarna cokelat yang tersangkut di sana. Tepatnya amplop pemberian sang Ayah.
Memang, uang di perlukan untuk segalanya. Tapi uang bukan segala-galanya.
Dan Marina benci itu.
***
Belajar hingga tengah malam atau subuh bukan hal aneh untuk Brian. Saat akan ulangan atau sekedar memperdalam materi yang tidak la mengerti pasti dia akan begadang. Kakaknya sering memarahi dirinya yang terlalu sering begadang.
Di temani cangkir ketiga dari susu cokelat kesukaannya, Brian membaca sambil mencoret atau menggarisi buku yang ia beli bersama Marina tadi.
Tangan Brian yang mencoret-coret buku berhenti, cowok itu mengingat sesuatu saat nama Marina terlintas di kepalanya.
Sebut saja dia penguping, tapi salah sendiri berbicara dengan suara yang tidak pelan saat Brian masih berada di sana.
Kata Marina cewek itu lama karena ada yang meminta fotonya, mungkin Brian hanya mengiyakan tadi. Namun, dia tau jika Marina berbohong.
Saat Marina bertengkar dengan perempuan yang Brian tau adalah seorang artis, dia masih berada di sana. Tepat berhenti di pintu keluar. Tapi dia menghentikan langkahnya dan mendengar pertengkaran itu.
"Mama?" Tiba-tiba, rasa semangat belajar Brian sejak sore, mendadak hilang berganti dengan rasa penasaran. Apa maksud Marina? Dan bagaimana Marina bisa berbicara seperti itu pada artis yang sedang naik daun. Bahkan terkesan marah.
Tidak mungkin Brian bertanya, tidak mungkin seorang Gaellene Abrian Dyaksa yang selama ini memakai topeng dingin dan cuek tiba-tiba bertanya hal seperti itu pada adik kelas yang selalu mengejarnya. Bisa ketahuan jika dia menguping.
Tapi Brian penasaran, bagaimana ini?
***
Pagi ini, hari di mulai dengan sebuah pengumuman oleh Ketua Osis yang mengatakan jika Festival sekolah akan di adakan satu bulan lagi. Tepat di hari ulang tahun sekolah.
Setiap kelas di wajibkan membuat satu even guna menarik pengunjung yang datang, sekolah akan mengadakan Open House, semua orang boleh datang dan menikmati festival yang di adakan satu hari penuh itu.
Marina menguap lebar, cewek itu bersandar pada kursi. Kelasnya sepi karena banyak yang pergi ke toilet untuk berganti baju olahraga. Berhubung sejak pagi Marina sudah mengganti pakaiannya, dia hanya perlu duduk bersantai sementara teman-temannya berganti pakaian.
Menyalakan ponselnya, notifikasi dari salah satu aplikasi berita masuk. Marina membuka notif yang ternyata berisi artikel tentang pasangan suami istri dari pengusaha tambang yang kabarnya baru saja membeli salah satu rumah mewah berharga fantastis.
Marina tersenyum sinis. "Gitu doang masuk berita." Marina menyimpan ponselnya, cewek itu berdiri. Memutuskan untuk pergi duluan ke lapangan. Hari ini kelasnya akan bermain basket.
Marina sih berharap Brian yang mengajarinya bermain basket, walau tidak mungkin. Mana mau cowok itu mengajari Marina.
"Olahraga juga?" Marina melirik siapa yang bertanya. Cewek itu langsung mendengkus. "Kelasnya Kak Brian juga olahraga hari ini." Ceria tersenyum.
"Gue tau." Marina mempercepat langkahnya agar menjauh dari Ceria.
"Jadi, lo udah dapat nomor Kak Brian?"
Marina berdecak, menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadap Ceria.
"Waktunya masih lama, bilang aja lo juga mau nomor Kak Ian, cuma supaya gampang lo suruh gue."
Ceria tersenyum. "Gue bisa minta sendiri."
Marina menarik ujung bibirnya. "Oh, ya? Buktikan."
Ceria mengangguk pelan. "Gimana kalo kita taruhan, siapa yang dapat duluan nomor Kak Brian boleh deketin Kak Brian. Tapi kalo enggak harus menjauh?"
Marina berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Waktunya sampai festival sekolah."
Ceria mengangguk. "Lo siap kalah, kan?"
Marina tersenyum sinis. "Kata kalah dan menyerah nggak ada di kamus gue, apalagi ini menyangkut Kak Ian. Gue nggak bakal kalah."
. . .
Update...
Komen jangan lupa...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...