Banyak yang mengira hidup Marina bahagia, karena dia selalu tersenyum seakan tidak ada hal buruk menimpa dirinya. Atau sekedar masalah yang dapat membuat senyumnya menghilang.
Padahal Marina bukan anak sesempurna itu. Mungkin karena sibuk mengejar Brian, dia bisa mengalihkan sedikit rasa sakitnya. Tapi, saat dia sendiri. Saat dia berada di rumah, luka itu sangat jelas.
Rumah dengan ukuran yang bisa di katakan luas, namun selalu kosong. Seakan tidak ada kehidupan, padahal dulu rumah ini sangat hangat dan selalu membuat Marina ingin pulang.
Tapi itu dulu. Kini, rumah menjadi salah satu tempat yang paling di benci oleh Marina.
Marina membuka sepatunya, lalu membawa sepasang alas kaki itu menuju lantai dua. Dimana kamarnya berada.
Melempar asal sepatunya di samping lemari, Marina meletakan tasnya di atas meja belajar. Cewek itu menghela nafas.
Saat di rumah, semua topeng yang ia gunakan ia lepas. Karena dia tidak memiliki alasan untuk bahagia saat berada di rumah.
"Iya, besok saya akan berangkat."
Senyuman sinis keluar begitu saja saat Marina mendengar suara yang paling dia hapal di dunia ini selain suara Brian dan dua sahabatnya.
"Baik. Terimakasih."
Marina masih diam di tempatnya, masih dalam posisi berdiri.
Lalu tak lama suara mobil terdengar menjauh, membuat Marina mengetatkan rahang. Ingin teriak tapi dia hanya bisa diam.
Menghela nafas panjang, Marina membuka pintu kamarnya. Cewek itu berjalan menuju ruang tamu yang kosong, seperti yang sudah-sudah akan selalu ada amplop berisikan nominal yang tidak sedikit di atas meja saat dia di tinggal di rumah sendiri.
Marina meraih amplop itu, membuka penutup amplop berisi uang jutaan yang semua berwarna merah. Tapi Marina hanya tersenyum sinis, dia melempar begitu saja amplop itu di sofa. Membuat beberapa lembar uang itu keluar hingga berceceran. Tapi uang tidak akan bisa mengganti apa yang Marina rasakan.
Marina menjatuhkan dirinya di salah satu sofa, masih dengan seragam putih abu-abu miliknya ia menatap uang yang berhamburan itu.
Ponsel Marina kembali berbunyi, cewek itu mengambil ponselnya dari saku rok. Lalu menatap nama yang menelfon dirinya.
Amelita is calling..
Marina menekan tombol hijau. "Kenapa?" Seakan lupa dengan rasa sakitnya, Marina yang di kenal di luar sana tetap ia pertanian, bahkan di depan sahabatnya sendiri.
"Lo belum selesai latihannya? Ke rumah gue kalo udah. Biar rame ayo."
"Iya, gue kesana." Marina memutuskan sambungan, cewek itu berjalan meraih amplop dengan yang tercecer ini. "Walau gue buang, tetap gue butuh juga."
***
"Festival itu jadi nggak sih?"
"Festival apaan?" Marina yang sedang menonton televisi menoleh. "Sejak kapan sekolah kita ada festival-festival?"
"Katanya kebijakan ketua Osis baru." Joseline menjelaskan tanpa menoleh dari buku yang sedang cewek itu baca.
"Gue baru tau." Marina berkata jujur. Dia memang baru tau tentang festival yang di bicarakan teman-temannya. "Ala-ala Jepang aja, ada festival segala."
"Ini festival buat ulang tahun sekolah, orang luar juga boleh datang. Gue berharap ada yang ganteng terus minta gue kenalan." Amelita tersenyum-senyum membayangkan.
"Mimpi lo." Joseline berdecak.
"Gue baru mau ngomong itu." Marina tertawa.
"Kalian memang selalu jahat sama gue." Amelita mengecutkan bibirnya. "Kalo ada gimana?"
"Ya, nggak gimana-gimana." Marina terbahak melihat wajah masam Amelita. "Eh, tapi nggak mungkin sih. Mana ada yang mau sama lo."
"Hina aja gue terus." Amelita menatap kesal kedua temannya.
Marina melirik jam, sudah pukul delapan malam. Sepertinya dia harus pulang.
"Gue balik duluan." Marina meraih jaketnya, tidak lupa berpamitan pada kedua orang tua Amelita.
Mungkin dia memang jarang menggunakan kendaraan, bahkan dia lebih memilih memakai angkutan umum untuk berangkat sekolah. Kecuali saat dia memang perlu membawa kendaran sendiri. Contohnya seperti sekarang, dia membawa motor sendiri.
Memakai helm, Marina melajukan motornya.
***
Brian meringis pelan, dia menatap satu persatu jarinya yang melepuh. Terasa nyeri dan rasanya seperti membengkak.
Ternyata bermain alat musik memang sulit, padahal dulu dia kira bermain alat musik lebih mudah dari pada bermain basket. Padahal keduanya sama sulitnya. Semua memiliki trik masing-masing.
"Emang kapan sih lo ambil nilai? Rajin amat latihannya." Susan, duduk di samping Brian yang sejak tadi duduk di sofa ruang tamu dengan gitar dan kertas lagi yang di berikan Marina sore tadi.
"Ini aja belum lancar." Brian menghela nafas pelan. "Tangan gue sampe sakit semua."
"Baru gitu doang udah sakit. Gimana kalo lo rasain patah hati? Bah, lebih sakit lagi." Susan memakan kacang kesukaan miliknya, matanya melirik Brian yang memainkan kembali gitar di pangkuan adiknya itu. "Lo belajar dari siapa? Youtube?"
Brian menghentikan permainan gitarnya, dia menatap sang Kakak dengan wajah datar. "Gue bukan cowok alay yang patah hati sampe bunuh diri, Kak."
"Lo kan nggak pernah rasa. Punya pacar aja enggak." Susan membalas. "Lo nggak belok, kan?" Susan melirik Brian yang langsung mendengkus kuat mendengar ucapan sang Kakak. Memang kalau tidak punya pacar artinya dia belok, begitu?
"Gue normal."
Susan mengangguk. "Iya deh."
Susan kembali fokus pada televisi yang berulang kali dia ganti chanelnya, sedangkan Brian fokus pada permainan gitarnya.
"Katanya Sheva yang ajarin lo main gitar cewek."
Brian yang tadinya sangat fokus pada gitar menoleh. "Apa?"
"Sheva bilang kalo yang ajarin lo main gitar itu cewek. Siapa? Pacar lo?" Susan bertanya dengan nada penasaran.
Brian berdecak kesal, dia sudah bilang pada Sheva untuk tidak mengatakan tentang Marina. Harusnya dia tidak bisa mempercayai sahabat sang Kakak yang pasti sebangsa dengan pacar sang Kakak yang jika di larang malah melakukan.
"Enggak. Kak Sheva ngarang." Brian kembali fokus pada gitarnya.
"Cewek juga nggak pa-pa, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui lah. Belajar sekalian pdkt." Susan tersenyum geli saat wajah Brian berubah masam.
"Gue nggak suka sama dia."
"Lah, kan roda berputar. Bisa aja hari ini lo nggak suka dia, eh besok-besok lo malah jadi bucin."
Brian berdecak. "Bukan tipe gue."
. . .
Komen, mungkin aku bakal lama nggak update sibuk urus sana sini, harap maklum ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...