Marina menatap langit yang sepenuhnya gelap, hujan deras di sertai angin yang lumayan kencang. Melirik cowok yang berjalan disampingnya, Brian terlihat tenang berjalan.
Melirik arlojinya, Marina menghela nafas pelan. Pasti tidak ada bus atau taksi, apalagi cuaca yang tidak mendukung tentu membuat semua orang lebih memilih berteduh atau berada di rumah.
"Kak," Brian melirik, menghentikan langkahnya. "Pasti nggak ada taksi lagi, aku nggak bisa pulang."
Brian menghela nafas pelan. "Gue mau jemput Kakak gue di kampusnya."
Ada sorot mata kecewa, tapi Marina tetap mengangguk. Cewek itu menatap Brian yang memakai penutup kepala jaketnya dan berlari menuju parkiran.
Bahkan sampai motor Brian menghilang dari gerbang, Marina masih terus menatap gerbang.
Harusnya ia tau jika Brian memang kejam padanya, dan bodohnya dia masih menyukai Brian dengan sungguh-sungguh. Tapi cinta bertepuk sebelah tangan memang seperti itu.
Marina melepas tasnya, membuat tasnya menjadi payung untuknya agar sampai di halte bus.
Menepuk pelan bajunya yang terkena air hujan, Marina duduk di kursi yang sepenuhnya kosong. Jalan sangat sepi, bahkan hujan semakin deras setelah Marina sampai.
Tasnya basah, untung saja tasnya anti air, jadi isi tasnya tidak akan basah.
Mengambil ponselnya, Marina melirik jam. Sudah setengah tujuh malam. Beruntung, lampu di halte membantu agar Marina tidak merasa takut karena semua terasa menakutkan saat hujan deras yang membatasi pandangan.
Setidaknya dia masih memiliki tempat berteduh selagi menunggu hujan reda, atau taksi lewat.
***
Menutup bukunya, tepatnya buku tugas. Dia baru menyelesaikan tugas yang di berikan guru mata pelajarannya tadi.
Melirik jam yang ternyata telah menunjukan pukul sepuluh malam kurang lima menit.
Pintu kamarnya terbuka, tentu saja sang Kakak yang memakai piyama bergambar panda yang datang.
"Lo tau rumahnya Marina nggak?" Susan, mendekat pada sang adik yang duduk di meja belajar.
"Nggak." Brian menjawab, cowok itu merapikan buku untuk mata pelajaran besok.
"Masa lo nggak tau sih?"
Brian berdecak. "Buat apa gue tau juga sih?" Walau Brian tau dimana rumah Marina, tentu ia tidak akan memberitahukan. Untuk apa pula sang Kakak mau tanya rumah Marina.
"Lo tau nggak siapa yang tau rumahnya gitu." Susan mulai greget.
"Lo mau ngapain emangnya?" Brian berdiri dari kursinya, mendorong kursi hingga berada di bawah meja.
"Dia sakit, gue mau kesana. Mau jenguk." Brian yang tadinya ingin berjalan keluar dari kamarnya menoleh.
"Sakit?" Susan mengangguk pelan. Apa mungkin Marina sakit karena dia tinggal di tengah hujan? Tapi cewek itu benar bisa sakit?
"Verga bilang dia sampe jam sembilan tadi ada di halte, kedinginan sampe menggigil. Verga bawa ke klinik, tapi gue tanya tadi katanya dia udah di rumah." Susan berjalan keluar dari kamar Brian.
Oke, sekarang Brian merasa bersalah. Ya, dia memang agak kejam, bahkan hingga berbohong ingin menjemput Susan agar terlepas dari Marina. Dia tidak tau akibatnya seperti ini.
"Bukanya tadi lo latihan sama Marina, ya?" Brian menoleh, menatap sang Kakak yang menatapnya dengan mata menyipit. "Jangan karena lo nggak suka sama dia lo jadi kasar ya, apalagi jahat sama dia."
Mata Brian mulai tidak fokus, dia mengalihkan pandangannya kearah lain.
"E-enggak kok."
Susan menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ucapan Brian. Tapi akhirnya mengangguk.
"Ya udah, besok gue pergi sama Sheva aja." Susan berjalan keluar dari kamar Brian.
Brian meringis, sekarang Marina sakit karenanya.
***
"Uhuk!"
Marina mendesah pelan, hidungnya mampet, kepalanya pusing. Padahal dia sudah meminum obat dari dokter.
Dia mau mengeluh juga tidak bisa, tidak ada yang mendengarkan atau sekedar ingin tau tentang keadaanya.
Rumah mewah yang kosong, begitu juga hatinya yang kosong begitu sampai di rumah. Itu mejadi salah satu alasan mengapa Marina suka berlama-lama di luar rumah. Bukan dia suka berada di luar, tapi dia terlalu merasa sepi di rumahnya sendiri.
Dia hanya meminum obat dan air hangat, lalu menempel plester penurun panas di dahinya sebelum berbaring.
Marina beruntung Verga menemukannya yang kedinginan di halte, awalnya dia berbuat menerobos hujan tapi semakin lama hujan malah semakin deras. Jadilah Marina hanya bisa diam di halte, taksi atau transportasi yang lainya tidak ada yang lewat, menambah parah.
Verga yang tidak sengaja lewat berhenti saat sudah lewat beberapa meter dari halte, mungkin menyadari kehadiran Marina di sudut halte. Awalnya Verga ingin mengantar Marina pulang, tadi Marina menolak dia ingin ke dokter saja karena mulai merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.
Benar, dia demam. Jika Marina tidak mengatakan jika orang tuanya akan datang menjemput, mungkin Verga tidak akan pergi. Padahal, tidak ada yang datang untuk menjemput Marina selain taksi online yang datang di saat hujan telah reda.
Sekarang disinilah Maria. Di atas tempat tidur dengan lidah terasa pahit. Tadi dia hanya memakan mie instan dan meminum obat.
Ponselnya bergetar beberapa kali setelah dia mengatakan pada kedua sahabatnya jika besok ia tidak akan masuk. Juga Kakak dari seorang Brian yang menghubungi dan mengirim beberapa pesan.
Tapi kepala Marina terlalu pusing, bahkan sekedar mencharger ponselnya. Cewek itu lebih memilih menarik selimut dan menutup matanya.
Dia benci saat dia sakit.
***
Tidak.
Brian yakin, dia hanya merasa bersalah karena meninggalkan Marina di sekolah sendiri. Bukan karena ada apa-apa.
Tapi, jika boleh jujur rasanya agak kosong. Terutama saat Ceria datang dan mulai menempel padanya, biasanya akan ada cewek gila yang mengusir Ceria.
"Kakak sore ini ada waktu nggak?" Brian melirik Ceria yang duduk di sampingnya. "Aku mau belajar sama Kakak."
"Marina benaran sakit?" Lakshan bertanya, membuat pandangan Brian berpindah pada temannya. "Jadi sepi."
"Biasanya juga lo hina-hina dia, sekarang malah di cari-cari." Ishan yang duduk di samping Lakshan membalas.
"Kayak lo nggak aja." Lakshan menjitak kepala Ishan. "Tapi beneran tuh anak bisa sakit? Gue kira super woman, nggak bisa sakit."
"Dia manusia kali." Radeva membalas. "Mau jenguk ke rumahnya?"
"Ide bagus tuh. Sekalian biar gue tau rumahnya." Axiel membalas cepat.
"Kok pikiran gue ke tempat lain, ya?" Ishan menatap Lakshan lalu Axiel.
Axiel memukul kepala Ishan. "Jelek mulu otak lo."
Ishan memegangi kepalanya. "Gue di pukul mulu, makin bego gue nanti."
"Lo emang udah bego." Manggala membalas dengan kepala menggeleng pelan. "Benaran mau jenguk? Amelita sama Joseline juga mau ke rumahnya Marina. Biar bisa sama-sama."
"Yoi, bilang aja ke mereka. Pulang sekolah kita langsung go ke Marina house." Ishan mendapat lirikan aneh dari Lakshan.
"Bahasa lo ancur banget."
"Daripada gue campur bahasa elien." Ishan membalas.
. . .
Mumpung libur, jadi up.. Jangan lupa komen.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaeri
Teen FictionBucin. Kalau ada alat untuk mengukur tingkat kebucinan seseorang mungkin Marina akan mendapat nilai sempurna atau mungkin lebih. Soalnya dia terlalu cinta pada Kakak kelasnya yang seperti es krim itu, manis tapi dingin. Tapi Marina suka kok. "Jang...