Clak!
Aku dan dia langsung masuk ke dalam rumah sesaat setelah membuka pintu itu. Jam sudah menujukkan pukul hampir setengah tiga dini hari, dan kami baru tiba dengan pakaian dan tubuh yang habis basah kuyup.
"Laper nggak?" ia bertanya.
Aku menggeleng, berbohong.
"Yaudah, mandi gih, gua mandi duluan ya."
Tanpa jawaban dariku, Leo langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sementara aku, aku masuk ke dalam kamarnya, dan membuka pakaian untuk selanjutnya mandi.
Tak perlu waktu lama, aku selesai dari mandiku. Lagipula, mandi di waktu dini hari seperti ini juga bukan hal yang baik, dan tentu saja aku akan semakin dingin.
Aku langsung rebah di kasur, membalut selimut tebal ke tubuhku dan mengeratkannya. Hingga kemudian pintu kamar itu terbuka dan menampilkan sosok Leo yang datang menghampiri dengan sebuah mangkuk berukuran besar di tangannya.
"Maaf ya nggak ada apa-apa, malem ini kita makan mi instan aja," ujarnya yang langsung duduk di sisi ranjang.
Perlahan, ia menggulung helaian bergelombang itu dengan garpu, dan menyuapkannya padaku.
"Gimana ya, Key? Buat bayaran minggu depan gua nggak ada duit lagi," keluhnya.
"Kita pikirin itu besok ya, Le."
"Lo capek ya?"
"Hm?"
"Ah, enggak. Lupain aja."
Lalu ucapannya ia putus dengan suapan garpu selanjutnya.
"Lo nggak makan?" tanyaku.
"Ini semangkok berdua," ujarnya, lalu melahap gulungan selanjutnya. "Besok kalo ada uang, kita makan enak," lanjutnya.
"Nggak perlu, gini juga udah cukup."
"Asal sama gua ya," ia tertawa meledek.
"Ihh, pede banget lo."
"Nggak pa-pa lah, sekali-kali."
Sejenak hening, kami lantas sama-sama fokus dengan mie kami, lebih tepatnya, mie kami berdua.
"Tau nggak, ini tuh mi isi dua, makanya banyak," ia tiba-tiba menjelaskan.
"Ya gue nggak nanya."
"Ya lo harus tau."
"Pentingnya apa?"
"Pentingnya, karena ini isi dua, jadi otomatis kita dapet masing-masing satu porsi, meskipun semangkok berdua, dan gua akuin lo yang paling banyak makan."
"Lo nya aja yang suapin gue terus."
"Tapi lo seneng kan?"
Tak ada jawaban, aku tau itu ledekan.
"Abis ini tidur," ujarnya kembali.
"Besok?"
"Kita bakal lebih baik lagi."
Sesaat setelah ia tersenyum, ia langsung beranjak berdiri dan keluar dengan mangkuk yang isinya sudah habis kita makan.
"Mati nyala?" tanyanya di ambang pintu.
"Mati."
Lalu saklar lampu di dekat pintu langsung ia tekan.
Ia lantas menutup pintu kamar ini, lalu benar-benar hilang.
Sejenak aku terdiam. merenung ditemani cahaya rembulan yang nampak terang lewat celah jendela yang gordennya sengaja kubiarkan terbuka.
Aku menatap ke arah pintu. Leo tidak kembali lagi, dan memang selalu seperti itu. Aku lantas bangkit, dan menyentuh kunci yang menggantung di bawah knop, lalu memutarnya.
Setelah mengunci pintu, aku balik badan dan kembali rebah di atas kasur. Aku tidak langsung tidur, memandang sejenak lingkup kamarnya.
Seperti kamar anak lelaki pada umumnya, kamar Leo lebih dominan dengan poster atau hiasan gambar dinding bertema olahraga. Entah itu sepak bola, basket, bulu tangkis, bahkan angkat besi. Beberapa ahli olahraga profesional terpajang posternya di kamar ini. Ada juga beberapa foto dirinya, entah itu sendiri, bersama kedua orang tuanya, ada bersama Carla, adik perempuannya.
Aku membaringkan tubuhku, berniat untuk segera tidur, dan mungkin aku akan terlelap jika saja suara beling pecah tidak menyapaku lebih dulu.
Aku langsung bangkit, membuka kunci pintu dan keluar. Apa yang aku dapati hanyalah dirinya yang tengah berlutut memunguti pecahan mangkuk yang sudah hancur di atas lantai. Aku segera berlari kecil menghampirinya, memungut pecahan itu dan membiarkan ia berdiam sejenak, setidaknya untuk tidak lagi melukai tangannya yang sudah berdarah akibat pecahan ini.
Leo memang ceroboh, sebagaimana kebanyakan lelaki memang selalu tidak handal dalam urusan pekerjaan rumah. Membuat susu untuk adiknya saja terkadang gelagapan, apalagi untuk hal-hal semacam ini.
Sesaat setelah lantai kembali bersih, aku membiarkannya duduk di atas kursi meja makan. Aku lantas mengambil kotak obat yang diletakkan di dalam laci yang berjajar di atas dinding dapur. Tak perlu aku jelaskan, pasti tau apa yang aku lakukan.
"Selalu aja rusuh ya lo kalo udah di dapur," ledekku.
"Nggak sengaja."
"Besok-besok gue aja yang cuci piring."
"Iya kalo inget."
"Kalo lupa?"
"Ya tetep gua yang bakal cuci."
Aku terkekeh. "Dimana-mana tuh ya orang seneng kalo dibebasin sama pekerjaan rumah. Lo udah gue kasih enak masih sok-sok'an."
"Ya masa gua biarin lo capek," ujarnya. "Lagi juga belum tentu kalo lo yang cuci piringnya nggak bakal pecah, ya sebenernya sih pecah atau enggak itu nggak jadi masalah, tapi masa iya gua biarin lo luka."
Ah, aku harap ia tak mendengar degup jantungku saat ini.
Aku lantas hanya tertawa kecil, masih sambil membersihkan luka di jarinya. Lantas setelah memplester, aku beralih pada wajahnya. Aku mendongak, menatapnya, dan ia hanya tersenyum, senyuman yang konyol, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Le, lo serius?"
"Apa?"
"Besok, masih mau tinju lagi?"
"Tadi kan lo udah tanya, dan gua udah jawab."
"Iya sih, tapi kan...
"Kenapa? Kalo lo takut ya besok-besok nggak usah ikut lagi, biar gua sendiri."
"Ih! Enggak. Gue bakal ikut, kalo gue nggak ikut nanti kalo lo tepar siapa yang bawa lo balik?!"
"Kan kan kan," ia meledek. "Gua tau lo bakal selalu ada, jadi nggak ada apapun lagi yang gua takutin."
"Tapi lo ngelukain diri lo terus-terusan."
"Dan gua punya lo yang selalu ngobatin luka gua terus-terusan."
Dan setelahnya, terdiam.
Ia lalu tertawa, entah apa yang lucu. Jelas-jelas aku tau ia menahan sakit akibat luka-luka itu, tawanya konyol, dan selalu saja konyol, tapi entah kenapa, selalu menular.
"Santai aja kali, selama lo ada sama gua, gua bakal baik-baik aja."
Aku masih terdiam.
"Nggak usah baper ya tolong."
***