Clak!
"Gue minum kebanyakan ya tadi?" tanya Key yang baru saja menjatuhkan diri di atas kasur.
"Mungkin. Kalo pusing tidur aja," kata Arga yang memapah Key ke kamar ini.
"Gue nggak enak ninggalin yang lain, masa gue tidur."
"Anak-anak juga pasti ngerti."
Key memijat-mijat pelipisnya, meringis sesekali ketika sakit kepala itu bertubi-tubi menghantam dirinya. Ia meneguk terlalu banyak alkohol sepertinya. Entahlah, mungkin dua botol, atau lebih.
"Sleep well, princess," bisik Arga pelan di telinga Key.
Key menatap kedua bola mata Arga, ada sorot nakal di dalam sana. Senyumannya manis, namun jahil. Key tertawa kecil, tak ada yang lucu padahal, tapi pusing akibat mabuknya membuat dirinya nge-fly jauh ke angkasa. Key bisa merasakan kini Arga mengendus lehernya, menyingkirkan rambut panjangnya dan mencium aroma wangi dirinya.
"Ayo buat malam ini jadi malam milik kita," kata Arga lirih. Sangat lirih.
Key diam, agak tidak mengerti dengan kalimat yang barusan Arga ucapkan. Penglihatannya samar, pusingnya makin menjalar. Wajah tampan Arga pun berbayang di mata Key, namun Key masih tetap bisa melihat bahwa kini Arga berdiri di hadapannya, ia tidak yakin, apakah itu Arga tengah membuka bajunya atau apa. Key memukul sedikit kepalanya, mengharapkan penglihatan lebih jelas hadir padanya, namun tetap saja sama.
Hal yang berikutnya Key lihat adalah wajah Arga yang kian mendekat. Meski masih saja berbayang, namun detik berikutnya Key bisa merasakan bahwa ada bibir lembut yang menyentuh bibir miliknya. Key memejamkan mata, rasa pusingnya yang makin menjadi-jadi ia biarkan larut dalam kenikmatan kali ini. Dua muda mudi itu makin tenggelam dalam hina, tepat ketika matahari perlahan mulai terbit menampakkan wujudnya.
***
Sementara itu.
Leo bersandar pada dinding balkon kamarnya. Tatapannya kosong ke depan, melihat hamparan halaman rumah yang tidak begitu penting. Pikirannya bercabang ke mana-mana, salah satunya, ya Keyrina.
Leo hela napas, ia mengacak rambutnya frustrasi. Perlahan, tubuhnya yang mungkin kini tengah merasa sakit, jatuh dalam sandaran dinding itu. Leo memukul-mukul lantai dengan kepalan tangan yang bahkan masih memiliki luka basah. Memikirkan salah dirinya yang selama ini terlalu jauh membawa Key hidup susah bersamanya. Leo menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangan, menjambak rambutnya sendiri, dan emosi pada diri sendiri. Hingga kemudian, air matanya turun.
"Tolol," gumamnya pelan pada diri sendiri.
Leo sampai-sampai lupa dengan rasa sakit akibat seluruh luka di sekujur tubuhnya. Sejujurnya itu nampak begitu sakit, luka lebam, memar, dan sedikit lecet, juga robekan kecil di sudut wajah. Ada darah-darah segar yang mengalir dari sana, dilihat saja sudah terasa ngilu, apalagi dirasakan.
Ditambah dengan luka hati yang baru saja muncul.
Leo menahan isak tangisnya, mencoba terus menyeka agar air mata itu tidak turun lagi. Perih rasanya ketika cairan tersebut menyentuh luka di wajahnya. Leo menatap ke sana kemari, mencari sesuatu yang mungkin akan enak dipandang. Tapi tidak ada. Semuanya nampak buruk malam ini.
Leo hela napas panjang. "Besok bakal lebih baik lagi," lirihnya, pada dirinya sendiri.
Ia akhirnya merogoh ponselnya setelah sebelumnya menggaruk tengkuknya yang bahkan tidak gatal. Ia menyalakan ponsel itu, dan hatinya teriris lagi tepat ketika wajah Keyrina terpampang jelas sebagai wallpaper ponselnya. Leo hela napas, lalu memejamkan matanya, mencoba tidak peduli. Ia tidak mengganti wallpaper itu dengan foto lain, ia membiarkan wajah Keyrina menjadi gambar pertama yang ia lihat ketika membuka hapenya. Ia menekan media lain, ia membuka aplikasi miliknya, lalu menekan satu lagu yang selanjutnya menjadi pengiring rasa sepinya malam ini.
