Aku mengerjap pelan, menguap, lalu bangkit dari tidurku. Aku melihat sekeliling, masih gelap dan malam masih merubung. Aku menyalakan lampu tidur di atas nakas dan melihat jam, pukul tiga pagi.
Aku bangkit dari ranjang, keluar kamar dan pergi menuju dapur untuk selanjutnya meminum segelas air. Aku lantas pergi ke kamar orang tua Leo, di mana di dalam sana ada dirinya yang mungkin kini tengah terlelap.
Aku membuka pintu, menghadirkan suara decit yang pelan, lalu mendapatinya di sana. Di atas ranjang, tengah terlelap dengan sangat tenang. Beberapa memar dan luka lecet di wajahnya masih terlihat jelas, seakan tidurnya kini menjadi kesempatan untuk melepas letih.
Aku masuk ke dalam kamarnya, menutup pelan pintu dan memandanginya sambil berdiri. Aku mengelus wajahnya, hingga kemudian menyentuh pelan memar-memarnya, namun ia tetap saja lelap.
Aku duduk di sisi ranjang secara perlahan, hingga kemudian aku rebah, membaringkan tubuhku yang juga lelah.
Tepat di sebelahnya.
Aku memandangnya secara dekat. Mendengar helaan napasnya yang teratur juga wajahnya yang teduh. Sejenak kembali berpikir dengan semua kerja kerasnya hari ini.
Hari ini ia kalah dalam pertandingan. Membuat bayaran yang harus ia dapatkan terpotong sebagian, rasanya tidak adil, Leo sudah mati-matian berusaha keras untuk menang, tetap saja dibayar setengah, aku tau ia kalah, tapi bayaran yang ia dapat belum tentu cukup untuk menggantikan luka-lukanya hari ini, bahkan mungkin juga hari kemarin.
Aku masih memandangnya, memperhatikan wajah tampannya yang dihiasi berbagai memar dan luka. Seakan itu adalah tanda, dari satu per satu kerja keras yang ia lakukan.
Aku perlahan mengangkat tanganku, mencoba menyentuh pipinya dan hampir saja terjadi jika saja ia tak lebih dulu membuka matanya secara perlahan. Aku urung, langsung kembali meletakkan tanganku. Ia memandangku sejenak dalam matanya yang sayu.
"Seganteng itu ya gua sampe sampe dipandang terus," ujarnya bercanda.
"Pede banget ih!"
Ia tertawa pelan dalam rebahnya. Hingga kemudian mata indah itu ia pejamkan lagi, namun dalam lelapnya ia meraih tanganku, menariknya, dan meletakkan itu di pipinya, sama seperti apa yang kuinginkan tadi. Ia yang masih menyentuh tanganku mengelus pelan, "Tidur, pagi nanti masih banyak yang harus kita lakuin," ucapnya pelan.
"Nggak bisa tidur."
"Kayak Carla lo, kalo nggak bisa tidur langsung nyamperin gua, minta di kelonin," ujarnya. "Lo mau juga ya?"
Pak!
"Jijik!" ketusku.
Ia lalu tertawa pelan. Aku tau tawanya palsu, karena sebahagia apapun Leo kelihatannya, ia menyimpan sakit jauh di dalam dirinya.
"Besok masih tinju-tinjuan lagi?" tanyaku.
"Mungkin."
"Bisa nggak sekali aja nggak usah begitu dulu?"
"Bisa."