Aku duduk di halte tempatku selalu menunggu kendaraan. Hari ini Leo tidak mengantarku ke kampus, entah karena apa tapi ia berangkat lebih pagi hari ini, sebelumnya ia sudah mengirimku pesan singkat, juga sudah menyiapkan bubur ayam yang mungkin ia beli pada penjual yang lewat yang lalu ia letakkan di atas meja untuk selanjutnya aku makan.
Terkadang agak sulit mencerna pikiran hanya untuk sekedar memahami seperti apa Leo itu. Dia bisa menjadi laki-laki menyebalkan, pekerja keras, penyayang, dan penghibur dalam satu waktu yang sama. Aku tau dan akan selalu tau bahwa ada rasa sakit dan kesedihan yang ia sembunyikan lewat matanya yang menyipit akibat tawa. Seakan-akan rasa sakit itu lebur, bersatu dengan canda.
Bahkan hari ini, hari di mana ia bilang bahwa ia harus berangkat lebih pagi, namun ia meninggalkanku dengan keadaan rumah sudah tertata rapi, sarapan sudah siap di atas meja, bahkan piring-piring kotor sudah lenyap dari wastafel. Itu memang terkesan sederhana, tapi tidak untuk seorang lelaki semacam Leo yang akan selalu terluka kala mengerjakan pekerjaan rumah.
Semakin hari luka yang ia miliki akan semakin banyak. Seiring berjalannya waktu, di saat satu lukanya sembuh, luka yang baru kembali menyapa. Seakan-akan sudah berkawan lama, Leo menerima luka-luka itu dengan lapang dada.
Di saat kebanyakan lelaki akan selalu mengeluh karena masalah, atau di saat kebanyakan lelaki akan marah dan meluapkannya dengan emosi, tetapi Leo tidak, ia seperti sudah sangat akrab dengan rasa sakit, seperti sudah sangat terbiasa, hingga kemarahan ataupun emosi tidak ada sedikitpun di pemikirannya.
Sederhananya begini, jika Leo sama seperti laki-laki yang aku jelaskan di atas, pasti aku sudah habis menjadi gadis pelampiasan miliknya. Buang jauh-jauh kata cinta, karena pada dasarnya nafsu dan emosi akan selalu menang di atas kata suci itu. Tapi sejak lama dan hingga detik ini, aku masih menjadi Keyrina yang sama.
"Ehmm... Key?"
Aku langsung mendongak mendengar sapaan yang agak asing itu. Seorang lekaki, menyapaku lewat celah jendela mobil yang ia buka.
"Mau bareng?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Engga, lagi nunggu angkot."
"Yakin? Nanti telat malah repot."
Aku diam sejenak, melihat arlojiku yang sudah menujukkan waktu hampir jam delapan pas. Aku menatap pengendara mobil itu sejenak, bergantian dengan mataku yang beralih menatap arloji. Benar katanya, jika aku terus berdiam disini dan menunggu angkutan, bisa-bisa aku terlambat.
"Boleh nih bareng?" tanyaku agak ragu.
"Yaelah naik aja kali."
Aku membahukan tasku, lalu dengan langkah yang agak sedikit ragu, berjalan juga menghampiri mobil itu.
"Nah kan gini enak, daripada lo tungguin angkot atau metromini, telat ke kampus malah nambah repot kan," ocehnya.
"Iya, Ga."
Dia Arga. Salah satu mahasiswa paling populer di kampus, anak jurusan arsitek yang tampan, keren, dan kaya raya. Aku mengenalnya waktu tak sengaja kami berpapasan di dalam night club, tempat aku meluapkan segalanya kala masalah tengah merundung.
Dia menghampiriku di meja bar malam itu, mengajakku yang tengah hancur berbicara sejenak, hingga sesaat, masalahku seperti lepas, tertelan dengan semua alkohol yang aku teguk entah berapa gelas.
"Udah nggak pernah ke club lagi, Key?" tanyanya disela setir.
"Enggak."
"Kenapa? Bosen sama vodka?" ia lalu terkekeh pelan.
