Damn! I'm A Fool

144 27 13
                                    

   "Adrian!"

   Adrian yang tengah berbincang dengan mahasiswa lain langsung menoleh ketika aku memanggilnya. Ia tak menjawa panggilanku, namun wajahnya terus tertoleh sembari menungguku menghampiri dirinya.

   "Arga di mana?" tanyaku tepat sasaran.

Adrian diam sejenak, ia menoleh kesana kemari. "Kurang tau deh kalo sekarang. Tadi mah ada di kantin teknik, coba aja lo ke sana," katanya.

   Aku mengangguk berterima kasih, lantas langsung bergegas menuju kantin teknik di mana Adrian mengatakan bahwa Arga ada di sana. Tanpa ba-bi-bu dan tanpa mau peduli kanan kiri yang sesekali menyapaku, aku menerobos semua kerumunan yang ada, berharap bisa secepatnya tiba dan menemukan Arga.

   "Ah tuh dia," gumamku pada diri sendiri.

   Benar. Arga masih ada di kantin teknik, ia tengah berbincang dengan beberapa temannya yang lain sembari tertawa-tawa, seperti tengah membicarakan suatu humor yang lucu.

   "Arga," panggilku ketika aku tepat berada di dekatnya.

   Arga yang duduk pun langsung mendongak menatapku yang berdiri. Wajahnya penuh tanya, "Kenapa?" katanya kemudian.

   "Gue mau ngomong," balasku.

   Aku langsung meraih pergelangan tangannya untuk kubawa agak menjauh dari kerumunan teman-temannya. "Bentar ya sob," katanya meminta waktu pada teman-temannya itu.

   Setibanya kami di sudut kantin yang sepi dan tertutup, aku langsung melepaskan pergelangan tangan Arga ketika dirinya sudah berdiri tepat sekali di hadapanku.

   "Gue hamil."

   Tanpa mau basa-basi, aku langsung berkata topik inti yang sedari awal menjadi tujuan untuk aku bicarakan ketika menemui Arga. Wajah Arga nampak kaget, alisnya yang tebal sedikit mengkerut dan tatapan matanya penuh kejutan. "Lo nggak usah ngada-ngada," katanya.

   "Ngada-ngada apaan sih. Gue hamil, masalah begini ya kali gue mau ngada-ngada," balasku.

   "Terus kenapa lo bilang ke gue?"

   "Ya lo harus tanggung jawab."

Arga menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengacak sedikit rambutnya. "Itu bukan anak gue, Key."

   "Bukan anak lo gimana?! Semalem pas gue mabok, lo tidur sekamar sama gue!"

   "Ya lo kan mabok, gimana bisa tau kalo itu gue?"

   "Ga, plis! Lo harus tanggung jawab!"

Arga menoleh kesana kemari, seperti mencari jalan keluar, lalu kembali menatapku. "Lo mau gue ngapain?" kata Arga.

   "Ya nikahin gue lah!"

   "Gila kali."

Aku mengernyit. "Ya satu-satunya cara cuma itu! Mumpung perut gue masih rata."

Arga menatapku tajam. "Gue masih dua satu!"

   "Ya gue juga! Kalo bukan karena ini semua gue nggak bakal minta nikah, lo pikir lo doang yang masih mau asik-asikan sama masa muda, gue juga kali!"

   "Haduh," lirih Arga.

   Arga bungkam setelahnya, ia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lantas mengambil sebuah benda, yang kemudian benda tersebut ia berikan pada Key.

   "Tuh lo pake kartu kredit gue," kata Arga sembari menyodorkan. "Gugurin bayi lo, berapapun biayanya, tenang aja," sambungnya.

Aku memandang Arga tidak percaya. "Gue nggak mau! Gue mau lo nikahin gue!"

   "Key, lo paham dong, kita masih sama-sama kuliah, sarjana aja belom, masa mau nikah."

   "Ya salah lo sendiri, ngapain berani-beraninya nyoba-nyoba gue?!"

   "Salah lo lah! Ngapain mau-mauan gue coba!"

   Aku terdiam, mataku masih tajam menatap wajah Arga yang aku akui tampan. Bagaimana mungkin laki-laki yang semalam sepertinya paling memahamiku ini sekarang berkata demikian?

   "Gue mau lo tanggung jawab!" kataku kemudian.

   "Gue nggak bisa, Key!"

   "Bodo amat. Bisa nggak bisa, lo harus nikahin gue!"

Arga menghela napas panjang. "Digugurin aja apa susahnya sih?!"

   "Gue nggak mau gugurin. Ini anak gue, anak lo juga!"

   "Buang!"

Plak!

   Sekeras mungkin aku menamparnya, wajah Arga sampai-sampai agak miring karena telah mendapat pendaratan mulus dari telapak tanganku. Ia lalu kembali menatapku sembari memegangi pipinya yang kini mulai memerah. "Pokoknya gue nggak mau nikahin lo!" kata Arga pedas.

Mataku mulai berkaca-kaca, hampir tidak percaya dengan respon dirinya saat ini. "Brengsek lo ya!" hinaku. "Bener kata orang-orang kalo lo tuh cowo bandel, sana sini masuk. Tolol!"

Arga tersenyum menyeringai. "Itu lo tau, kenapa masih mau deket-deket gue?" katanya. "Cewek cantik kayak lo tuh banyak yang ngincer," katanya lagi. "Dan gue berhasil dapetin lo, dan dapetin apa yang gue mau."

   "Bangsat lo ya!"

   "Emang. Emang gue bangsat, gue brengsek, gue bandel, apa lagi? Ngomong aja."

Plak!

   Jawaban selanjutnya hanya tamparan dariku.

   "Lo tuh bego, baru kenal berapa hari sama gue udah langsung mau gue ajak party. Lo kan juga anak malem, harusnya lo paham lah apa-apa aja yang dilakuin orang kalo mabok," kata Arga memperingatkan.

   Aku terdiam, terkena semprot oleh kalimat-kalimat pedas tersebut. Masih tidak percaya bahwa orang yang kemarin aku percayai ini sekarang mematahkan kepercayaanku. Air mataku turun, masih dengan tatapan yang aku tujukan pada Arga, tanpa mau berkata apa-apa. Arga kemudian menyeringai lagi, memasukkan kartu kredit yang tadi aku tolak ke dalam sakunya kembali, lalu melangkah pergi melewatiku.

   "Ga! Arga!"

   Aku masih sempat memanggilnya, namun ia terus saja menjauh, langkahnya makin maju dan Arga kembali duduk di antara teman-temannya yang masih berbincang di meja kantin itu.

   Aku menatap Arga dari jauh, merasa tidak percaya dan satu sisi lainnya merasa bodoh. Sial, aku pikir lelaki seperti dia akan bertanggung jawab dengan apa yang telah dirinya lakukan. Mengingat sikap dia yang manis dan tutur katanya yang baik, sorot matanya yang tulus pun membuatku semakin percaya bahwa Arga adalah laki-laki yang dapat aku andalkan.

Tapi itu pemikiran kemarin.

Dan hari ini, semuanya hempas.

***

Homesick HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang