22.30 WIB
"Kamu di sini aja ya, jangan ikut abang ke dalem," kata Leo.
"Abang lama enggak?"
"Enggak, cuma sebentar, nanti kalo abang udah keluar, kita langsung pulang."
Carla mengangguk paham dengan ucapan Leo. Ia lalu duduk di sebuah kursi dibawah sinar redup satu-satunya lampu yang menerangi sepanjang lorong gelap di mana mereka berada. Carla memeluk erat boneka beruang yang ia bawa, Leo berlutut dan mengelus puncak kepala dengan rambut yang dikuncir dua itu.
"Janji sama abang, Carla nggak kemana-mana ya? Di sini aja sampe abang dateng lagi, oke?" kata Leo lembut.
Carla mengangguk.
Leo lantas mengeluarkan beberapa kudapan dari dalam tas punggungnya, dua buah roti, sebotol air mineral, satu bungkus ciki, dan beberapa permen. Ia lalu meletakkan makanan itu di dekat sang adik untuk bisa ia makan selama Leo tidak di sisinya. Leo lantas beranjak berdiri dan mulai melangkah menjauh, disela langkahnya, ia terus saja menoleh ke belakang di mana ia meninggalkan adik kecilnya.
Malam ini, Leo nekat membawa Carla ke tempat pertandingan. Ia tadi sudah berusaha membujuk gadis kecil itu untuk pergi ke rumah sakit dan tidur bersama mama malam ini. Tapi Carla menolak, ia terus saja merengek dan meminta ikut bersama Leo. Awalnya Leo bingung mau bagaimana, ia tidak mungkin meninggalkan pertandingan malam ini, tapi ia tidak ingin sang adik melihat berbagai kekerasan yang akan dilakukan Leo di dalam ring. Alhasil satu-satunya cara adalah tetap bertanding dengan membawa Carla, namun menempatkan adiknya itu agak jauh dari area.
Tinju ilegal ini diselenggarakan di sebuah gedung tua yang terbengkalai dan tidak lagi dipedulikan oleh siapapun, pertandingan di laksanakan di sebuah ruangan besar, mungkin dahulu ini adalah ruang pertemuan atau semacamnya, masa bodo soal itu. Sementara Carla, ia tinggalkan di lorong yang sejalan dengan ruangan tempat ia bertanding. Gelap dan berdebu, serta sepi. Sejujurnya Leo khawatir setengah mati, tapi jika membawa Carla ke dalam, itu lebih membahayakan.
Leo akhirnya melangkah masuk ke dalam area setelah sebelumnya menghela napas amat panjang, berdoa dan terus berharap bahwa tidak ada hal buruk yang akan terjadi malam ini. Apapun itu.
***
Dug!
Bug!
Bug!
Dug!
Suara pukulan dan suara tubuh yang tersungkur menjadi hal utama yang terdengar setelah riuk riuh suara penonton yang bersorai. Leo dan lawan di hadapannya sudah sama-sama babak belur. Seluruh wajah mereka habis oleh keringat dan sekian aliran darah dari berbagai sudut. Jatuh, bangun lagi. Ditinju, pukul lagi. Begitu pekerjaan mereka.
Lawan Leo kali ini agak sulit, seorang pria kekar yang acap kali jadi juara di arena ini. Namanya Glenn, mahasiswa putus kuliah karena DO berkali-kali dari berbagai universitas. Nama baik dia sudah tercemar, dia anggota geng motor dan semasa SMA wara-wiri kantor polisi karena sering ikut tawuran antar pelajar, dia sedikit berbahaya, dan tentu saja ganas. Namun, jika Leo mampu memenangkan pertandingan malam ini, ia dijanjikan bayaran yang lebih besar dibanding hari-hari kemarin, sekitar tujuh puluh lima dari seratus persen mungkin.
Dug!
Satu pukulan mendarat mulus ke arah Glenn. Glenn yang tak pantang menyerah pun memukul balik wajah Leo hingga hidung mancungnya mengeluarkan darah. Ini sudah lumayan lama dari waktu awal mereka bertanding tadi, entah tepatnya berapa menit, mereka pun bahkan mungkin sama-sama tidak peduli dan lebih memikirkan tentang bagaimana mereka harus menang malam ini.
"Ayo lawan!"
"Lawan, Leo! Lawan!"
"Glenn lawan!"
Begitu setidaknya sekian sorakan dari para penonton yang bahkan mungkin tidak tau rasa sakit dan penderitaan di dalam ring. Leo menajamkan fokus matanya dan mencoba tidak peduli dengan sekian sorakan yang membuat fokusnya buyar. Ia terus memicing ke arah Glenn dan jaga-jaga jika tetiba kepalan sarung tinju itu memukul wajahnya lagi. Dan kemudian, dug!
Leo jatuh. Tubuhnya tengkurap di atas permukaan ring yang dingin. Bukan, bukan karena tinjuan Glenn yang terlampau kencang, bukan juga karena lemah tubuh Leo yang tidak bisa menangkis. Melainkan karena, sorot mata Leo beralih fokus ketika melihat seorang gadis kecil menangis di tengah kerumunan ramainya penonton yang berdesakan.
"Abang!"
Leo yang sudah tersungkur lemas dengan babak belur di wajahnya pun kian lemah. Gadis kecil itu Carla yang nekat masuk ke dalam arena. Teriakannya yang nyaring dan terdengar imut membuat seisi arena seketika terdiam, menatap bingung seorang bocah yang sama sekali tidak pantas melihat semua ini.
"Abang," kini Carla memanggil nama itu sambil menangis. Sembari memeluk erat beruang cokelat di dadanya, ia tak henti menatap ke arah Leo yang bahkan sudah samar melihat sang adik. Seketika suara sorakan tak terdengar lagi di telinga Leo, yang ada di telinganya hanya suara parau sang adik yang ketakutan. Leo tidak boleh kelihatan lemah di hadapan Carla, jika memang ia tidak punya cukup waktu untuk menghampiri Carla dan membawanya keluar, setidaknya ia harus bisa bangun dan melanjutkan pertandingan agar sang adik tak kenal arti menyerah.
Prok Prok Prok!
"Woaaa!"
"Lanjut!"
"Ayo bangun, Le!"
Seketika kerumunan penonton kembali ramai tepat pada saat tubuh Leo kembali berdiri. Ia mengatur napasnya dan mencoba tidak peduli dengan rasa sakit. Ia lemas, menatap Glenn di hadapannya yang kini sudah pasang kuda-kuda untuk dirinya. Leo memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan, lalu ia pasang kuda-kuda juga, dan menatap Glenn, namun tak kunjung berani melawan.
Sebagaimana pertinjuan pada umumnya, mereka saling berjarak dan terus jaga-jaga sembari terkadang berputar-putar dengan masih terus menatap lawan. Leo kali ini tak mau kena pukul lagi, ia harus fokus, sekalipun ada Carla di luar ring. Detik berikutnya, Glenn yang tadi menatap tajam ke arah Leo, perlahan tersenyum kecil dibalik tangannya yang bersiap menghadang, ia menatap Leo tanpa ada sorot permusuhan, dan kemudian ia mengangguk sekali, mengisyaratkan pada Leo untuk leluasa memukulnya.
Awalnya Leo ragu, apakah ini semacam tipuan atau jebakan? Ia tidak paham, pikirannya sudah semakin kacau. Hingga kemudian, "Abang!" suara itu memberinya kekuatan, lantas dengan kepalan penuh tenaga, wajah Glenn yang sudah babak belur kembali ia pukul. Glenn jatuh sama seperti dirinya tadi, ia tak kunjung berdiri hingga hitungan ke sepuluh, menandakan bahwa malam ini, pertandingan dimenangkan oleh Leo.
Leo langsung melepas sarung tangan dan melempar itu begitu saja di dalam ring. Ia bahkan tak menghiraukan selebrasi, masa bodo soal banyaknya sorakan yang bangga menyebut namanya. Leo buru-buru turun dari ring untuk selanjutnya menghampiri Carla dan memeluk bocah kecil yang sudah menangis sekian menit tadi. Leo langsung mengangkat tubuh kecil itu, menggendongnya dan membawanya sedikit lebih jauh dari kerumunan.
"Abang nakal," ujarnya parau.
Leo tersenyum, lalu kembali mencoba memeluknya, namun tepisan tangan kecil Carla, berhasil membuat hati besar Leo hancur berkeping-keping. "Bilangin mama nih! Abang mainnya pukul-pukulan! Nakal," ujarnya, begitu lugu.
Leo sedikit sakit hati dengan penolakan pelukan yang hampir ia berikan. Ia hanya bisa memasang wajah selembut mungkin untuk menghilangkan ketakutan sang adik.
Namun, sekian kali mencoba,
ia gagal.
***