Key hampir saja masuk ke dalam taksi jika ia tidak kembali menoleh menatap gedung rumah sakit yang baru saja ia tinggalkan. Tangannya yang putih masih setia bertengger di gagang pintu pembuka mobil berwarna biru itu, namun tubuhnya yang berbalik dan sorot matanya yang seakan tak ingin pergi membuatnya terpaku dan berhenti melangkah.
"Neng? Naik nggak?"
Key langsung tertegun ketika sopir taksi di dalam itu bertanya keheranan. Ia lantas langsung menoleh dan terkekeh canggung. "Iya, Pak." Katanya.
"Kenapa neng? Ada temennya lagi?" tanya sopir taksi paruh baya itu.
Key hanya diam, dan kembali menatap gedung rumah sakit yang terang.
"Kalo ada, nggak pa-pa saya nunggu," timpal sopir itu lagi.
Key langsung kembali balik badan dan menggeleng, lalu tanpa pikir panjang segera masuk ke dalam taksi. Ia tersenyum sejenak pada sang sopir yang tadi berbaik hati untuk mau menunggu. Ia lantas meminta sang sopir untuk segera jalan ke alamat yang sebelumnya sudah Key sebutkan.
Key hela napas sangat panjang, lalu ia bersandar pada sandaran kursi taksi itu, ia menggenggam handphonenya dan memasang kedua earphone putih itu di telinganya, tanpa musik. Key memandang jalanan malam kota Jakarta itu, semilir angin membuat rambut panjangnya terurai kian cantik, lampu-lampu jalanan yang dominan kekuningan itu membuatnya nampak bersinar. Key suka pemandangan malam.
Uuuuu... Uuuuu... Uuuuu...
Uuuuu... Uuuuu... Uuuuu...
Alunan suara pelan terdengar di telinga Key tepat ketika sebuah musik ia tekan di aplikasi pemutar musik di handphonenya. Sembari terus memandangi jalanan, seiring itu juga alunan lagunya kian mengalir.
I am not the only traveller (Aku bukan satu-satunya penjelajah).
Who is not repaid his debt (Yang tidak membayar hutangnya).
I've been searching for a trail to follow again (Aku telah mencari jalan untuk kuikuti lagi).
Take me back to the night we met (Bawa aku kembali ke malam ketika kita bertemu).
Musik mellow dari Lord Huron itu menjadi teman perjalanan Key malam ini. Nikmat rasanya menjelajah jalanan malam hari dengan lagu yang luar biasa menenangkan (bagi sebagian orang). Ini lagu yang pernah Leo berikan pada Key, jelas saja ketika mereka masih bersama. Leo bilang ia suka lagu ini, lagunya bisa begitu sedih, namun juga bisa begitu membahagiakan jika sama-sama didengarkan di waktu yang tepat. Dan malam ini, entah Key harus merasakan kesedihan atau kebahagiaan, keduanya sama sekali tidak ia rasakan. Key hanya merasakan kekosongan, tidak lebih.
Detik tadi, waktu di mana ia terdiam dari langkahnya dan terus menoleh ke belakang yaitu gedung rumah sakit, pada detik itu ia hanya berharap bahwa Leo akan menghampirinya. Ia berpikiran bahwa Leo kemungkinan mengejarnya, mendatanginya, memeluknya, dan mungkin mengatakan satu-dua kalimat perpisahan untuk terakhir kalinya. Tapi nyatanya tidak. Leo tidak mengejarnya.
Siang tadi ayah Leo menelponnya dan memintanya untuk memberitahu Leo bahwa ayah pulang dan meminta dijemput di bandara, ayahnya pikir Leo dan Key masih satu kampus jadi Key bisa lebih leluasa memberitau Leo. Tapi siang tadi, Key bahkan tidak tau Leo di mana, alhasil dirinya sendiri lah yang menjemput ayah dari mantan pacarnya tersebut. Ayah Leo sempat kaget, namun kemudian Key menjelaskan semuanya. Perihal Leo yang putus kuliah, perihal Leo yang kerja sana-sini, hingga perihal Leo yang ikut pertinjuan ilegal. Ia menceritakan semuanya, kecuali satu hal, perihal Leo dan dirinya yang sudah tidak lagi bersama.
Key sengaja menjelaskan itu semua pada ayah Leo, karena ia pikir memang sang ayah harus tau perihal kerja keras putranya selama ia bertugas jauh di luar sana. Key berpikir, ini yang terakhir kali mereka bertemu, jadi setidaknya Key harus menjelaskan semuanya sebelum Leo terus-terusan menutup mulut dan berbohong seumur hidup. Dan ia berhasil.
When the night was full of terror (Ketika malam lalu penuh dengan kengerian).
And your eyes was filled with tears (Dan matamu dipenuhi air mata).
When you had not touched me yet (Ketika kamu sama sekali belum menyentuh diriku).
Oh, take me back to the night we met (Oh, bawalah aku ke malam ketika kita bertemu).
Air mata Key turun setetes. Membayangkan begitu banyak memori indah nan pahit yang sejauh ini sudah ia lewati bersama Leo, yang sebentar lagi akan ia tinggal pergi. Bibirnya komat-kamit menyanyikan setiap bait lirik dari lagu tersebut, sembari otaknya terus memutar kenangan lama. Jujur, Key rindu masa-masa ketika bersama Leo. Ia mengakui bahwa ia bodoh, meninggalkan lelaki baik demi lelaki brengsek yang gelap mata. Key sudah berbulan-bulan tinggal serumah dengan Leo, bahkan pernah tidur satu kamar, namun ia tetap memiliki kehormatannya, sedangkan dengan Arga, hanya baru satu malam, ia sudah berbadan dua.
Jauh di dalam benaknya, hati kecil dalam batin Key merindukan peraduannya.
"Key?"
"Hm?"
"Sekarang tanggal berapa sih?"
"Dua tiga Mei."
"Jam?"
"Lima lewat tiga enam."
"Oke."
"Apa?"
"Dua puluh tiga Mei dua ribu delapan belas jam lima lewat tiga puluh enam sore."
"Ya terus?"
"Kita jadian."
"Hah?"
"Gua nggak nerima penolakan."
Key terkekeh pelan ketika mengingat kejadian lama itu, hari di mana Leo menjadikan dirinya kekasih dengan cara yang tidak terduga dan dialog yang amat sangat jauh dari kata romantis, namun begitu saja Key sudah bahagia setengah mati. Sejenak pikirannya kembali berkutat pada topik awal, kenyataan bahwa hatinya merindukan peraduannya. Yang lama.
Ia merindukan pengisi hatinya yang lama, seseorang yang kemarinan sudah ia sakiti tanpa ia pikirkan, namun masih menerima dirinya tanpa dendam. Key rindu masa-masa di mana ia hidup susah bersama Leo, meringis mati-matian ketika melihat Leo bertarung di atas ring, lantas mereka pulang, dan Key membersihkan semua luka-luka Leo, dan mereka kemudian pergi tidur. Atau masa-masa sederhana ketika ia memasakan sarapan sekedar telur goreng, membacakan Carla dongeng tidur, dan memaki habis-habisan Leo yang masih bengal dinasehati untuk berhenti bertarung, namun selanjutnya Key kembali luluh dengan segala ucapan Leo yang terkadang sering menjurus ke lelucon konyol.
Satu yang menjadi inti, bahwa hatinya merindukan rumahnya.
"Hari ini kita gini dulu."
"Besok?"
"Kita bakal lebih baik lagi."
Lagi-lagi ucapan Leo mendarat mulus di pemikiran Key. Ucapan sederhana yang selalu menjadi kalimat penenang ketika masalah merundung habis-habisan. Kalimat sederhana yang selalu Leo katakan dengan senyuman penuh darah di sudut bibir akibat pukulan lawan. Bagaimana mungkin ia bisa rindu dengan seseorang yang sudah ia sakiti?
"Besok kita bakal lebih baik lagi."
Satu yang Key tau, bahwa ia tidak pernah benar-benar kehilangan cinta untuk Leo.
***