Today Will Be Better

202 26 0
                                    

Leo memasukkan kotak kecil berwarna merah itu ke dalam tas punggungnya. Ia menatap ke depan sejenak di mana ia melihat gedung besar yang sudah sekian bulan ini tak pernah ia kunjungi lagi. Kampusnya. Leo hela napas panjang dan diam-diam tersenyum kecil, ia lalu berjalan masuk ke dalam gedung fakultas itu, berjalan menyusuri lorong yang selama ini sudah ia tinggalkan, ia membalas sapaan satu dua mahasiswa yang lewat dan bertanya soal dirinya yang selama ini putus kuliah, dan Leo hanya bisa tersenyum serta menjawab itu semua dengan jawaban seadanya.

Ia berjalan lagi, agak berlari kecil untuk segera tiba di kelasnya dan kembali berkutat dengan dosen. Ah, mengapa hawa-hawa seperti ini sangat ia rindukan?

Clak!

Leo membuka pintu kelas, mendapati sekian mahasiswa dan seorang dosen perempuan berkacamata yang tengah menjelaskan materi di depan sana. Leo tak segera masuk, ia menatap sejenak ruang kelas itu, dan menghiraukan sekian teman yang kegirangan kaget mendapatinya kembali kuliah. Leo bungkam, sementara seisi kelas terdiam. Tangan Leo masih ia letakkan di knop, ia hanya berdiri dan menatap ke depan di mana ia melihat suasana kelas yang sejauh ini tak pernah lagi ia temui.

"Kamu mau masuk kelas ini atau tidak?"

Leo mengacuhkan pertanyaan itu. Pikirannya terbang kemana-mana.

Gue mau pergi jauh aja.

Sejenak, bayang-bayang akan ucapan itu mendarat mulus di pikiran Leo. Ia bungkam seribu bahasa dan tak bisa berhenti untuk setidaknya fokus pada kuliahnya kini. Teman-teman dan dosen di dalam kelas menatapnya keherenan, beberapa mahasiswa sampai ada yang menoleh karena saking penasaran kenapa Leo hanya diam di sudut pintu kelas.

"Hey, kamu mau masuk kelas ini atau tidak?"

Leo buyar ketika dosen itu bertanya untuk yang kedua kalinya dengan nada kesal dan suara yang lantang. Leo terkekeh tanggung, ia lalu tersenyum kecut dan menggeleng, lantas kembali menutup pintu dan menyisakan banyak pertanyaan dari sekian teman-temannya yang bingung kenapa pria itu tidak mau masuk kelas.

Leo hela napas panjang dan memejamkan mata sejenak ketika sudah menutup pintu kelas tadi. Ia menatap lurus ke depan, tanpa benar-benar tau apa yang ia lihat. Bodoh memang, kemarin-marin kerja keras sampai tidak bisa kuliah, sekarang ketika kesempatan itu datang lagi, ia malah menyepelekan dan tidak ambil kelas hari ini. Sederhana, Leo mau bertemu Key hari ini juga. Alhasil Leo kembali berlarian, kini ia menuju gedung fakultas Melly, berharap bisa bertanya lebih jauh tentang keberadaan gadis yang sejauh ini masih ia cintai. Ia masih bisa kembali kuliah dan menempuh pelajaran esok hari, tapi untuk bertemu Key yang terakhir kali, mungkin hanya bisa saat ini.

Leo mengatur napasnya yang terengah-engah, ia bertanya pada salah satu mahasiswi sefakultas Melly, dan jawaban dari gadis itu hanya sekedar, "Melly nggak ngampus hari ini," jawaban pendek yang pada akhirnya membuat Leo tersenyum tanggung dan melangkah pergi. Leo hela napas di area parkiran, menyentuh badan motor ninja hitamnya yang selama ini menemani dirinya kemanapun. Ia diam sejenak, sempat bingung dengan apa yang harus dirinya sendiri lakukan, sampai detik berikutnya ia memilih menyalakan layar handphonenya, lalu kembali menghela napas, tepat ketika ia melihat foto Key yang sampai saat ini masih ia gunakan sebagai wallpaper.

Hey heart, it's time to forget her, isn't it?

Leo lagi-lagi hela napas, sulit rasanya mengiyakan logika yang sejak beberapa menit tadi bersarang di pikirannya.

No, it isn't.

Entah jawaban dari mana, tapi rasa-rasanya hal itu adalah benar. Leo mengusap wajahnya, lantas tanpa pikir panjang langsung naik ke atas motornya untuk selanjutnya tancap gas dan pergi ke tempat tujuannya. Ia meninggalkan kampus hari ini, hari pertama ia kembali kuliah, namun dengan bodohnya ia lebih memilih untuk pergi.

Leo membelah jalanan dengan kecepatan tinggi motornya, tak peduli sekian banyak klakson kendaraan lain yang menegurnya untuk bisa lebih berhati-hati. Masa bodo soal itu, satu yang ia pikir, ia harus bisa secepatnya sampai di sana.

***

Tok... Tok... Tok...

"Mell? Melly?"

Tok... Tok... Tok...

Leo terengah-engah ketika mengetuk sebuah pintu cokelat dalam deratan kamar kos. Wajahnya cemas, dadanya kembang kempis mengatur napas, alisnya mengerut, dan kakinya tak berhenti ia hentak-hentakkan.

Clak!

"Key mana?"

Pertanyaan inti yang memang sedari awal menjadi tujuan Leo datang kemari. Melly yang baru saja membuka pintu langsung terdiam ketika ditembak pertanyaan oleh tamu yang bahkan belum mengucap salam atau setidaknya menyapa dirinya.

"Lo lama banget buka pintu," kata Leo tergesa-gesa.

"Abis ganti soptek," jawab Melly enteng. "Ngapain lo?"

"Key," ujar Leo pelan.

"Udah nggak kuliah dia, ditinggal Arga, tau kan lo?"

Leo mengangguk, lalu perlahan napasnya mulai stabil.

"Bangsat emang tuh si Arga. Udah hamilin Key, nggak tanggung jawab lagi, ganteng kok tolol," ujar Melly kesal.

"Emang pindah ke mana dia?"

"Mana gue tau. Kalo gue tau juga bakal gue samperin, terus gue gebukin sefakultas."

Leo memalingkan wajahnya dari Melly, dan menggertak rahangnya karena kesal.

"Lagian Key juga bego, mau-mauan aja party nggak jelas sama bocahan Arga. Udah tau itu anak-anak nggak bener semua."

Leo diam, hanya mengamati Melly bicara.

"Udah bener dia ama lo, malah pergi. Kadang temen gue emang pada goblok," ujar Melly lagi. "Lo juga, bukannya nahan dia."

"Ya gue sih, kalo emang dia udah nggak mau nggak bakal gue paksa."

"Dia mau pergi lo tau?"

Leo mengangguk. "Dia bakal ke mana?"

"Dia bilang katanya mau ke Jogja, terus nanti kalo udah brojol bakal pindah ke luar. Nggak tau ke mana luarnya."

"Dia sendiri?"

"Ya sama siapa lagi?"

Leo hela napas, lalu menunduk sejenak, ia mengusap wajahnya dab menjambak rambutnya frustrasi. Ia mendongak lagi dan kembali menatap Melly. "Gue mau ke dalem boleh? Mau ketemu dia bentar aja," pinta Leo dengan suara amat pelan.

"Ketemu siapa?"

"Ya Key lah."

Melly membulatkan matanya. "Ih goblok!" kata Melly memaki. "Kenapa nggak ngomong dari tadi?! Key udah jalan!"

"Serius lo?!"

"Setengah jam tadi kayaknya deh, coba sana lo kejar, palingan dia udah di bandara."

"Ck," Leo berdecak. "Dia naik apa ke bandara?"

"Bis."

Leo ambil napas panjang, lalu menghembuskannya. "Yaudah makasih, gue cabut ya," kata Leo tergesa-gesa.

"Eh," panggil Melly ketika Leo sudah setengah lari. "Kalo ketemu tolong salamin dari gue, bilang maaf nggak bisa anter dia," kata Melly, dan Leo mengangguk. "Lo nggak mau pake jas ujan?" kata Melly lagi, lalu arah pandangnya berpindah pada langit dan hamparan halaman di depan pintu kos nya, mendung dan gerimis.

"Nggak usah, Mel. Lama," kata Leo, lalu ia berlari dan sesegera mungkin menghampiri motornya.

Ia buru-buru memutar kunci dan memutar starter motornya, lantas langsung tancap gas untuk kembali membelah jalanan. Tak pandang rintik hujan yang menikam dirinya terus-terusan.

***

Homesick HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang