Pencuri Hati

27 20 4
                                    

Keakraban yang ditunjukkan oleh Khansa dan Aldo di kantin masih terus membayangi pikiran Shawn. Cowok itu tidak pernah mau dikalahkan oleh siapa pun dalam urusan memenangkan hati perempuan, apalagi ini si Aldo-rival terberatnya di SMA Pelita dalam urusan menaklukkan perempuan. Hal  tersebut semakin menguatkan niat Shawn untuk bisa mengambil hatinya seorang Khansa Alea. Apa pun bakal aku lakuin buat menarik simpatinya Khansa, batin Shawn.

"Kelas 11 IPA-2." Shawn membaca papan penanda kelas yang terletak di atas pintu. "Ini, nih, kelasnya Khansa." Shawn mengeluarkan sepucuk surat dari dalam saku celananya, yang semalam dia tulis untuk Khansa.

"Hey, boleh minta tolong, nggak?" Shawn menyapa seorang cewek yang baru keluar dari kelas itu.

"Apaan?" tanya si cewek.

"Kamu temen sekelasnya Khansa, kan?"

Cewek itu pun mengangguk. "Iya."

"Tolong kasih surat ini ke Khansa, ya," pinta Shawn sambil mengulurkan suratnya.

"Dari siapa?" tanya cewek itu.

"Dari aku-lah. Kamu nggak kenal siapa aku?" Dengan pedenya Shawn bertanya pada cewek itu yang dibalas dengan gelengan, tanda bahwa cewek tersebut memang tidak mengenalinya.

Wah, kurang gaul nih, cewek, sampai nggak tahu siapa aku, batin Shawn jumawa. "Bilang aja dari Shawn."

"Oh. Oke, nanti aku berikan ke Khansa," jawab cewek itu sambil mengambil alih surat bersampul biru dari tangan Shawn.

"Beneran, ya, disampaikan ke Khansa. Sekarang, jangan nanti."

"Iya. Iya." Cewek itu pun kembali masuk kelasnya dengan sepucuk surat dari Shawn.

"Thank's, yaaaaaa!!" teriak Shawn kegirangan. Dia pun berlalu dari kelas itu.

"Sa, nih, dapat surat." Cewek tadi langsung memberikan surat itu pada Khansa.

"Surat? Dari siapa?" tanya Khansa heran. Hari gini, masih ada gitu orang yang mau repot nulis surat? batinnya.

"Shawn, katanya."

"Shawn? Siapa?" Khansa mengambil surat tersebut dan menatap Nadea-teman sebangkunya, berharap temannya itu tahu siapa Shawn. Sepertinya dia sendiri pernah mendengar nama itu, tapi di mana?

"Oh. Shawn, ya? Dia satu ekskul sama aku di kelas fotografi. Anak 11 IPS-1," jawab Nadea.

"Anak fotografi? Jangan-jangan, dia itu__" Khansa teringat cowok yang pernah diam-diam memotretnya di taman belakang sekolah.

"Buka, gih," kata Nadea.

Khansa menuruti kata-kata Nadea dengan segera merobek ujung sampul surat tersebut, lalu menarik keluar kertas di dalamnya.

Dear, Khansa Alea..

Hey, masih ingat nggak sama aku? Cowok yang pernah kamu omelin di taman belakang sekolah gara-gara mengagumi kecantikanmu. Aku minta maaf, ya, waktu itu udah lancang motret kamu. Sebagai permintaan maafku, nanti pas istirahat pertama, aku tunggu ya, di taman belakang sekolah. Aku ada hadiah buat kamu, sebagai permintaan maaf yang tulus dari lubuk hati terdalamku.

                                                        Dariku,
         
                                                         Shawn

"Nih, cowok apaan, sih?" gerutu Khansa.

"Dia emang gitu orangnya. Pengagum perempuan." Nadea menjelaskan. "Mungkin dia pikir, semua perempuan itu bisa ditaklukan dengan kata-kata manis," tambahnya.

"Salah orang berarti, nih, cowok!" Khansa kembali melipat kertas tersebut dan memasukkan ke dalam amplop.

"Trus, kamu bakal nemuin dia juga?" tanya Nadea.

"Enggaklah! Buang-buang waktu aja, De."

"Bagus. Biar dia tahu rasa. Biar dia nyadar kalau nggak semua cewek itu bisa dia dapetin dengan mudah," kata Nadea.

"Emang segitu playernya dia?" tanya Khansa.

"Bukan lagi.. dari kelas satu, hampir semua cewek yang dia deketin selalu mampu ditaklukin hatinya, hanya bermodal pujian dan kata-kata manis, doang," jelas Nadea.

Khansa mendengarkan dengan mengangguk-angguk.

"Tapi parahnya, dia itu tidak dengan hati melakukannya, begitu perempuan yang dia gebet berhasil didapetin, nggak berapa lama kemudian ditinggalin gitu aja," sambung Nadea.

"Wah, parah banget cowok kayak gitu. Amit-amit, jangan sampai, deh, kemakan rayuannya!" Khansa bergidik ngeri membayangkan sifat cowok itu.

Jam istirahat pertama, seperti yang dijanjikannya, Shawn duduk di bangku taman belakang sekolah dengan tangan memegang kotak yang akan diberikannya kepada Khansa. Dia sengaja membeli kado tersebut sepulang dari sekolah kemarin sore. Shawn dengan sabar menunggu datangnya Khansa, berharap gadis itu menerima permintaan maafnya dan bersedia menemuinya di sini. Tapi harapannya ternyata sia-sia, sampai bel tanda istirahat usai telah berdering, Khansa tidak juga muncul. Hal itu tentu saja membuat Shawn kecewa. Dia tidak pernah mendapat penolakan seperti ini dari perempuan.

Khansa, kenapa, sih, susah banget buat dapetin maaf dari kamu? batin Shawn. Frustasi. Sepertinya aku salah menilainya, Khansa berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini kukenal. Bukan perkara yang mudah untuk meraih simpatinya, aku nggak bisa ngeremehin dia kali ini.

"Lo, kenapa? Kusut banget muka, Lo?" tanya Desta ketika Shawn kembali ke kelasnya.

"Dikacangin sama Khansa."

"Serius? Demi apa seorang Shawn dikacangin sama perempuan?" Desta dengan konyolnya bertanya.

"Udah deh, jangan meledek!" protes Shawn.

"Aku janjian sama Khansa, memintanya buat datang ke taman belakang sekolah, tapi sampai bel masuk, dia nggak juga muncul."

"Kena batunya lo sekarang. Makanya jangan keseringan mainin cewek!"

"Aku rasa, Khansa ini cewek yang berbeda, Des, dia nggak seperti yang lainnya, yang dengan mudahnya buat ditaklukin," keluh Shawn.

"Dan lo masih berniat buat mainin itu cewek, heh?" sindir Desta.

Shawn menatap sinis ke arah temannya itu. "Aku nggak berniat buat mainin dia. Nggak ngerti kenapa, tapi sejak melihat dia pertama kali, hati aku seperti tersihir, aku terus kepikiran sama dia."

"Lo yakin?"

"Khansa sepertinya udah berhasil mencuri hatiku, Des," ucap Shawn pasrah.

Bersambung...

Second Chance ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang