Khansa memeluk lututnya sambil bersandar pada kepala ranjang. Hatinya seperti ditusuk-tusuk, ngilu, perih. Kejadian tadi siang di gudang sekolah masih sangat jelas membayang dalam kepalanya. Rasa sakit yang diakibatkan oleh tamparan Oryza tidak sebanding dengan rasa sakit yang kini tengah dirasakannya. Semua karena Shawn!
Ayolah, Khansa.. jangan bodoh! Buat apa menangis hanya karena Shawn. Bahkan dia tidak pantas untuk ditangisi, apalagi sampai mendapat tempat istimewa dalam hatimu, batin Khansa menyemangati dirinya sendiri.
Gadis itu menghapus air mata dengan punggung tangannya, kemudian tatapannya beralih pada boneka teddy pemberian Shawn yang masih duduk manis di atas nakas sebelah ranjangnya. Segera saja diraihnya teddy tersebut, lalu dia bangkit mengambil kotak biru tempat boneka itu dalam lemari meja belajarnya. Sedetik dia menatap boneka tersebut, sebelum akhirnya Khansa memasukkan kembali boneka itu ke dalam kotaknya. Ya, gadis itu berniat untuk mengakhiri semua, mengakhiri sesuatu yang sebenarnya belum juga dimulai. Hatinya terlanjur sakit. Dan dia tidak ingin semakin jatuh ke dalam perasaannya sendiri.
Saat itu, di waktu yang bersamaan, Shawn telah berada di teras rumah Khansa. Seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahun membuka pintu sesaat setelah Shawn menekan tombol bel rumah itu.
"Selamat malam, Tan. Khansa-nya ada?" sapa Shawn dengan sopan.
"Oh, Shawn, ya. Silakan masuk, Khansa ada kok, lagi di kamar dia. Tunggu sebentar, tante panggilkan, ya," balas Renita.
Shawn mengikuti Renita masuk ke ruang tamu, sementara mamanya Khansa segera memanggil putrinya.
Pantas saja Khansa begitu cantik, karena mamanya juga masih terlihat cantik di usia beliau sekarang, puji Shawn dalam hatinya.
"Khansa, ada Shawn di bawah," panggil Renita dari balik pintu kamar Khansa.
"Shawn. Mau ngapain lagi sih cowok itu," gerutu Khansa.
"Khansa," Renita kembali memanggil putrinya.
"Bilang aja Khansa udah tidur, Ma," pinta Khansa.
"Nggak boleh gitu dong, Sa. Mama nggak mau disuruh bohong seperti itu. Temuin dulu sebentar, kasihan kan, Shawnnya."
Iih.. mama ini diajak kompromi sama anaknya kok nggak mau, batin Khansa jengkel.
"Khansa.. buruan."
"Tapi Khansa lagi nggak mau ketemu dia, Ma," rengek Khansa.
"Sayang, nggak boleh seperti itu. Nggak sopan namanya kalau ada tamu tapi kamu nggak mau menemui. Bicarakan baik-baik kalau memang ada masalah sama Shawn, jangan seperti ini."
"Ma.. sekali ini aja, tolongin Khansa. Khansa bener-bener lagi nggak mau ketemu sama Shawn." Suara Khansa kali ini terdengar bergetar, menahan tangis.
Renita yang mendengarnya dibuat tidak tega jika terus memaksa putrinya untuk menemui Shawn.
Mungkin Khansa memang lagi nggak mau diganggu dan butuh waktu untuk menenangkan diri, batin Renita.
"Ya sudah, biar mama bicara sama Shawn. Tapi lain kali, kalian bicara baik-baik dan selesaikan kalau memang ada masalah."
Renita pun bergegas untuk menemui Shawn yang sudah terlalu lama menunggu putrinya di bawah.
"Shawn, maaf ya, sepertinya Khansa sedang tidak mau ketemu kamu. Anaknya lagi badmood." Renita memberikan alasan kepada Shawn.
"Oh, gitu ya, Tan." Terlihat jelas raut kecewa tergurat di wajah Shawn.
"Kalo begitu saya pamit, Tan. Tolong sampaikan saja permintaan maaf dari saya," pamit Shawn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance ✔
Teen FictionKhansa Alea, gadis pindahan dari kota Bandung yang sekarang bersekolah di SMU Pelita, Surakarta, awalnya begitu jutek dengan sosok Shawn-cowok hitam manis yang hobi fotografi sekaligus jago dalam menaklukan hati cewek. Pertemuan keduanya dimulai ket...