Sudah hampir seminggu ini Shawn tidak menghubungi Khansa. Tidak ada ucapan selamat tidur yang biasanya mengiringi Khansa setiap malam. Tidak ada sapaan selamat pagi yang membangunkan semangat Khansa untuk mengawali hari. Tidak ada lagi Shawn yang setiap hari mengantar-jemput dirinya ke sekolah dan menghabiskan waktu istirahat berdua di kantin.
Jujur saja, Khansa merasa kehilangan. Dia merindukan momen manisnya bersama Shawn. Khansa rindu pada kekasihnya itu. Tapi egonya melarang untuk menghubungi Shawn terlebih dahulu. Khansa masih merasa jika pacarnya itu belum sepenuhnya jujur terhadap dirinya.
"Kalau memang kamu nggak salah, kenapa tidak berusaha menghubungi dan meyakinkan aku, Shawn. Kenapa malah diemin dan menghindari aku seperti ini," gumam Khansa sambil memeluk teddy bear pemberian Shawn.
Sementara Shawn, di satu sisi dia merasa bersalah terhadap Khansa dengan mendiamkannya hampir seminggu ini. Tapi satu sisi hatinya yang lain merasa kecewa dengan sikap kekasihnya yang seolah sangat sulit untuk bisa mempercayai dirinya. Selalu ada saja hal yang membuat Khansa marah dan uring-uringan terhadapnya.
Terhitung sudah beberapa kali mereka berantem selama lima bulan berpacaran hanya karena salah paham dan cemburu. Itulah mengapa sampai hari ini dia belum menghubungi Khansa, karena Shawn ingin baik dirinya maupun Khansa bisa saling menenangkan diri terlebih dahulu.
"Masih marahan ya sama Shawn?" tanya Nadea ketika dia dan Khansa sedang berada di kantin.
Khansa mengangguk lemah. Gadis itu terlihat murung. Tangannya memainkan sedotan dalam gelas es tehnya.
"Nggak capek apa lama-lama marahan gitu?"
Khansa mendesah. "Jujur, aku kangen sama dia."
"Nah, trus nunggu apalagi, kenapa nggak nyoba bicara baik-baik?"
"Dianya aja nggak ada kabar, gimana bisa bicara baik-baik," keluh Khansa.
"Yaelah, Sa.. kamu mulai duluan deh buat nyapa dia. Apa salahnya sih bilang kangen. Denger itu pasti Shawn bakalan luluh. Kelar deh urusan."
"Nggak segampang itu juga kali, De."
"Lha terus mau nunggu sampai kapan? Sampai Upin-Ipin jadi Sarjana? Kelamaan!" seloroh Nadea.
Shawn tengah berbaring di sofa keluarga. Televisi di ruang itu menyala, tapi Shawn sama sekali tidak menontonnya, dia justru memeluk bantal sofa sembari matanya kosong menatap langit-langit. Bahkan dia sama sekali tidak menyadari kalau Sita berada di sana sedang mengamati putranya tersebut.
"Shawn," panggil Sita.
Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu berjalan mendekat kepada putranya.
"Eh, Mama."
Shawn mengubah posisinya menjadi duduk bersandar.
"Kamu kenapa bengong gitu. Mama perhatiin beberapa hari belakangan ini kamu terlihat tidak bersemangat. Lagi ada masalah?"
Shawn hanya melempar senyuman.
"Lagi nggak mau cerita ya sama mama. Ya udah, nggak apa-apa, tapi kalau kamu pengin cerita, mama dengan senang hati akan mendengarkannya."
"Makasih buat pengertiannya, Ma."
Sita mengangguk sembari mengulas senyum.
"Oya, Khansa apa kabar?"
Mendengar nama Khansa disebut, hati Shawn bergetar, rasa rindu tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Sebenarnya sosok itu yang tengah dia pikirkan saat ini.
"Shawn."
"Khansa__dia__"
Shawn tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menunduk sambil mengacak rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance ✔
Teen FictionKhansa Alea, gadis pindahan dari kota Bandung yang sekarang bersekolah di SMU Pelita, Surakarta, awalnya begitu jutek dengan sosok Shawn-cowok hitam manis yang hobi fotografi sekaligus jago dalam menaklukan hati cewek. Pertemuan keduanya dimulai ket...