"Shawn ini kenapa, sih? Kok makin aneh gini. Belum puas dengan diemin aku, sekarang apa coba, dia matiin notif terakhir online whatsappnya. Apa sih maunya?"
Khansa dibuat uring-uringan dengan sikap Shawn belakangan ini. Terlebih lagi ketika menyadari bahwa ternyata Shawn telah mematikan notif terakhir dia online.
"Kalau seperti ini siapa juga yang nggak curiga. Nggak.. nggak.. aku nggak bisa diem terus kayak gini, hanya menunggu sampai akhirnya dia mau ngomong sendiri. Aku harus bicara sama Shawn."
Khansa bergegas turun dari bis ketika sampai di halte depan sekolahnya. Buru-buru dia menyeberang dan memasuki halaman. Bukan kelasnya yang dia tuju saat ini, melainkan kelas Shawn. Khansa sudah bertekad untuk bicara pada Shawn, tidak peduli apakah kekasihnya itu mau memberinya kesempatan untuk bicara atau tidak.
Tepat saat dia sampai di depan kelas Shawn, cowoknya itu ternyata juga baru saja datang dan hendak masuk kelas.
"Shawn, tunggu."
Shawn berbalik dan berhadapan dengan Khansa.
"Ada apa?"
"Aku mau ngomong sama kamu, tapi nggak di sini."
"Ya udah, kita ke taman belakang sekolah aja," kata Shawn yang kemudian berjalan mendahului ke taman belakamg.
Khansa sejenak terpaku. Shawn benar-benar berubah, bahkan dia lebih memilih berjalan sendiri tanpa menggandeng tanganku seperti kebiasaan yang selalu dilakukannya dulu, batinnya sedih.
"Mau bicara apa?"
Keduanya kini sudah berada di taman belakang sekolah, duduk di bangku putih dengan canggung.
"Kamu berubah, Shawn."
Mata Khansa tajam menatap Shawn, sementara cowok itu hanya diam menunduk. Rahangnya mengeras.
"Secepat itukah kamu berubah, Shawn? Katakan apa salahku? Kenapa kamu diemin aku seperti ini?"
Shawn masih saja membisu. Kali ini tatapannya terarah ke depan. Kosong.
"Ngomong, Shawn. Jangan diem aja. Kenapa kamu sekarang jarang bales pesanku. Ditambah lagi kamu matiin notif terakhir online. Ada apa? Apa yang kamu sembunyikan dariku?"
Khansa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Ditumpahkan segala tanya yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Tatapannya tak juga lepas dari Shawn, meski sekarang air mata mulai membayangi bola matanya. Namun Shawn tetap bergeming.
"Jawab Shawn! Aku butuh penjelasan dari kamu. Jangan diem terus. Ngomong!"
"Kenapa sih kamu nggak ngerti juga, Sa?! Aku lagi sibuk banget. Pikiranku lagi suntuk, stress. Kenapa malah kamu tambahi dengan berbagai pertanyaanmu itu."
"Apa aku nggak berhak untuk tahu, Shawn? Aku ini masih pacar kamu, kan? Lagipula itu bukan alasan yang tepat untuk menjawab perubahan sikapmu belakangan ini."
Kali ini air mata Khansa benar-benar tak terbendung. Dia tidak sanggup lagi menahan perasaan kecewanya terhadap sikap Shawn.
"Aku benar-benar kecewa sama kamu, Shawn."
Akhirnya Khansa memilih untuk pergi, meninggalkan Shawn di bangku taman. Hatinya sudah benar-benar sakit. Bukannya menjelaskan baik-baik atau meminta maaf atas sikapnya, Shawn malah meluapkan emosi kepada dirinya.
Sementara Shawn terlihat begitu gusar. Diremas dengan kasar rambutnya, lalu tangannya terkepal.
"Shit!"
Jauh di lubuk hatinya, Shawn merasa bersalah juga terhadap Khansa. Tapi dia sendiri sedang tidak memahami dirinya. Perasaan dan pikirannya belakangan ini sedang kacau. Ditambah lagi tugas yang diembannya sebagai ketua panitia lomba fotografi yang sedang berlangsung, sangat menyita pikiran dan waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance ✔
Teen FictionKhansa Alea, gadis pindahan dari kota Bandung yang sekarang bersekolah di SMU Pelita, Surakarta, awalnya begitu jutek dengan sosok Shawn-cowok hitam manis yang hobi fotografi sekaligus jago dalam menaklukan hati cewek. Pertemuan keduanya dimulai ket...