"Khansa buka pintunya, Nak. Ini mama bikinin stoup makaroni kesukaanmu. Ayo, Nak, bukain. Kamu belum makan dari kemarin sore."
Tak ada sahutan dari kamar. Khansa tengah meringkuk lemah di balik selimut, tubuhnya menggigil, namun suhu badannya tinggi.
"Biar saya yang coba bujuk, Tante," kata Nadea yang sepulang dari sekolah datang ke rumah Khansa, begitu tahu temannya itu sedang sakit.
"Khansa, ini aku, Nadea. Bukain dong, Sa. Biarin aku masuk."
Hening. Khansa tidak juga menyahut meski dia dengan sangat jelas mendengar suara mama juga Nadea yang begitu mencemaskan keadaannya.
"Ayolah, Sa. Kamu nganggep aku teman baik kan, Sa. Aku bakalan terus ada kok buat kamu. Nggak cuma saat senang doang, Sa. Izinkan aku masuk, Khansa, aku benar-benar mencemaskan keadaan kamu."
Pipi Khansa menghangat, air mata dengan derasnya kembali luruh. Sejak kejadian kemarin siang, air mata seakan enggan untuk dibendung. Seiring dengan hatinya yang kini berlubang. Teramat sakit.
"Khansa, please. Izinkan aku masuk."
Khansa justru makin pecah tangisnya, tubuhnya bergetar hebat. Kembali dia teringat sesaat setelah Shawn mengantarkannya pulang, Shawn tidak lantas meninggalkannya begitu saja. Lekat dia menatap wajah gadis yang kini telah menjadi mantan kekasihnya.
"Jangan menangis lagi, Sa. Berjanjilah untuk tetap bahagia meski tanpa aku."
Dan setelah itu, sebuah kecupan dia berikan tepat di kening Khansa. Sebelum akhirnya dia memacu motor, meninggalkannya seorang diri, meninggalkan luka yang teramat dalam di hati Khansa. Sementara Khansa tidak juga beranjak masuk meski Shawn sudah tidak lagi terlihat. Hujan dengan derasnya mengguyur tubuh Khansa, tapi itu tidak membuat gadis itu bergegas masuk.
Khansa menangis, air matanya melebur bersama hujan. Tubuhnya menggigil kedinginan, namun dia tetap terpaku pada tempatnya berdiri. Hingga saat Renita yang ketika itu mulai cemas karena putrinya sampai sore hari belum juga pulang tanpa memberi kabar, apalagi di luar sana hujan sedang turun dengan derasnya, wanita itu menatap keluar jendela ruang tamunya dan mendapati putrinya tengah berdiri di tengah guyuran hujan. Renita segera bergegas keluar membawa payung dan membimbing putrinya yang menggigil tersebut masuk.
"Kamu kenapa, Nak? Kenapa nangis di bawah hujan seperti itu?"
Renita begitu cemas melihat keadaan putrinya.
Ibu mana yang tidak kuatir mendapati putrinya yang terlihat begitu terpukul. Tubuh Khansa memucat, menggigil kedinginan, dan putrinya itu tak henti meneteskan air mata. Tapi hanya diam ketika Renita melontarkan pertanyaan padanya.
Akhirnya Renita pun menyerah untuk bertanya, yang dia lakukan sekarang membantu Khansa untuk mengganti bajunya, bahkan Renita menemani sang putri untuk membasuh badannya dengan air hangat, karena Khansa terlalu lemah untuk melakukannya sendiri. Dan setelahnya, Khansa mengunci diri di dalam kamar hingga saat ini.
"Khansa, sebentar aja, izinin aku buat melihat keadaan kamu. Aku benar-benar kuatir, terlebih mama kamu, Sa."
Nadea memandang Renita, gadis itu setengah putus asa karena usahanya untuk membujuk Khansa membuka pintu tidak membuahkan hasil.
Khansa menghapus air mata dengan punggung tangannya. Entah kenapa, mendengar Nadea yang terus saja memanggil, membuatnya luluh. Pelan-pelan Khansa berjalan ke arah pintu, tubuhnya terasa lemas, kepalanya begitu berat. Dan tepat saat dia membuka pintu..
"Khansa."
Nadea baru saja hendak memeluknya, tapi tiba-tiba Khansa terjatuh, gadis itu pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance ✔
Teen FictionKhansa Alea, gadis pindahan dari kota Bandung yang sekarang bersekolah di SMU Pelita, Surakarta, awalnya begitu jutek dengan sosok Shawn-cowok hitam manis yang hobi fotografi sekaligus jago dalam menaklukan hati cewek. Pertemuan keduanya dimulai ket...