43

1.1K 167 12
                                    

Note :

Berhubung sebentar lagi bakal selesai, aku mau tanya ke kalian. Sebenernya cerita ini tuh menarik gak sih? Ada yang kurang? Atau malah aneh? Selama ini aku jarang dapet feedback ini itu dari kalian, jadinya agak kepo. Gak papa sih kalo kalian gak mau kasih feedback, kalian mau baca cerita ku aja aku udah seneng banget. Tapi bisa lah ya sekali-kali ehe. Kalo misal nih, misal ada sequel apakah kalian masih setia buat baca lagi? Di sequel nanti bakal ada karakter baru terus latarnya udah jadi mahasiswa gitu deh. Jadi gimana?



"Kak, Mama mau ngomong deh sama kamu, berdua." Mama Sasha menghampiri anak gadisnya itu, mencoleknya, lalu menunjuk balkon kamar Sasha menggunakan dagunya.

Sasha yang awalnya sedang bertukar kabar dengan Sean menganggukkan kepalanya, melangkah menuju balkon kamarnya, meninggalkan handphone-nya di atas kasur.

Mama Sasha menengok sekilas ke Sasha lalu beralih mendongak untuk menatap langit malam itu.

"Masuk sekolah nanti udah jadi kelas dua belas kan?" tanya Mama Sasha.

Tanpa Mama Sasha jelaskan lebih rinci lagi, Sasha sudah tahu kemana pembicaraan ini akan berakhir. Gadis itu menghembuskan napasnya pasrah. Setidaknya ia sudah menduga hal ini akan terjadi cepat atau lambat.

"Iya." Jawab Sasha singkat.

Mama Sasha sekarang sudah menoleh ke Sasha sepenuhnya. "Kamu tau kan berarti apa? Sekali lagi Mama gak pernah ngelarang kamu main sama cowok, Mama cuma minta kalo udah kelas dua belas kamu harus udah berenti main sama cowok biar bisa fokus belajar. Dokter tuh susah Kak, butuh banyak perjuangan. Meraih sesuatu yang berharga berarti kamu harus ngorbanin sesuatu juga. Nanti kalo udah bisa masuk kedokteran, pasti ketemu sama temen cowok yang gak kalah ganteng sama cowok kamu sekarang."

Sasha menjadi terbuai sendiri dengan penuturan Mamanya yang kelewat tenang, tenang tetapi penuh tuntutan.

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Sejak awal Sasha memang tidak berharap hubungannya akan berlangsung lama bersama Sean mengingat mereka baru menjalinnya kelas sebelas ini.

"Iya Ma, apa pun yang Mama suruh pasti aku turutin kan?"

Mama Sasha menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Maaf ya Kak, ini semua buat kebaikkan kamu." Berikutnya, beliau menepuk punggung tangan Sasha beberapa kali. "Kamu mau les ke mana aja, kapan aja pasti Mama turutin. Belajar yang bener ya Kak," lanjutnya lalu pergi meninggalkan Sasha untuk memberi anak gadisnya waktu sendiri.

Sesaat setelah Mamanya masuk, air mata Sasha mengalir begitu saja. Walaupun sudah menyiapkan mental dari jauh hari, nyatanya Sasha tetap tidak bisa melepaskan Sean semudah itu.

Kenangan-kenangan yang ia buat bersama Sean perlahan terputar dengan sendirinya di otak Sasha. Tangisnya semakin menjadi kala mengingat omongan Sean di cafe yang pernah mereka kunjungi waktu di Jogja.

Sasha tiba-tiba teringat kalau tadi ia sedang bertukar canda dengan Sean via 'chat'. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana ke Sean setelah ini. Gadis itu mengacak-acak rambutnya frustasi.

Keadaannya saat ini benar-benar kacau. Air matanya yang ia biarkan mengalir begitu saja, rambut yang berulang kali ia acak-acak, serta ingusnya yang tidak mau absen untuk ikutan turun dari hidungnya.

Gadis itu memilih masuk kembali ke kamarnya, menelepon kelima temannya. Lebih tepatnya video call.

Yang pertama kali mengangkat teleponnya adalah Shirlee.

"Anjir, apa-apaan lu Sha? Kenapa anjir?" tanyanya panik.

Sasha mengelap air matanya menggunakan punggung tangannya asal. "Tunggu yang lain. Capek gua kalo harus jelasin berulang-ulang."

We Hot We Young [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang