Insiden

27.6K 1.3K 18
                                    

Aku rela menanggung rasa sakit itu asalkan bukan dirimu yang merasakannya


Keyra mendengus sebal menyadari bagaimana kondisinya saat ini. Ia langsung meringis kecil kala merasa pening teramat sangat saat dia hendak ke kamar mandi.

Di depan wastafel, ia dapat melihat bagaimana buruknya penampilan dia saat ini. Bibir putih pucat, wajah pucat, mata bengkak, rambut acak-acakan. Ntah harus berapa kali Keyra menemukan kondisi seperti ini setiap dirinya bangun tidur.

Selesai membersihkan diri, gadis itu tampak menimang sebentar, apa dia harus ikut olahraga? Kalau ikut, takut-takut nanti dirinya pingsan. Tapi kalau tidak, yang ada nilainya kosong.

Terlalu lama memikirkan hal yang penting sepertinya membuat Keyra membuang banyak waktu. Buktinya, suara Bi Narsih terdengar jelas dari depan pintu.

"Kenapa, Bi?" tanya gadis pelan.

Bi Narsih tersenyum sebentar mengecek isi kamar Keyra. Seperti biasa, rapi maksimal. "Makan, yuk. Kamu dari kemarin pagi belum makan, 'kan?"

Keyra menggeleng sopan menolak tawaran asisten kesayangannya. Perutnya terasa bergejolak, mendorong kembali apapun yang akan masuk. Keyra terpaksa berbohong jika situasinya seperti ini. "Nggak kok, Bi. Tadi malam waktu orang rumah udah pada tidur Keyra turun buat makan malam."

"Benar?" Keyra menggangguk. "Yaudah Keyra berangkat dulu, Bi."

Dahi Bi Narsih mengernyit saat menyadari ada yang aneh. Ia merasa kalau punggung tangan gadis itu hangat, begitu pula nafasnya yang berhembus saat mencium tangannya. "Key, kamu sakit?"

"Hah? Sakit? Gak kok bi Keyra gapapa."

"Yakin?"

"Keyra gakpapa, Bi. Yaudah Keyra berangkat ya. Bye bibi." Bi Narsih menggeleng kecil sambil membalas lambaian tangan Keyra yang semakin menjauh.

"Bibi kasian sama kamu, Key. Andai tuan dan nyonya tau semua kebenarannya, pasti mereka akan menyesal sudah memperlakukan kamu seperti ini."

💦💦💦

"Hai, Key." Langkah Keyra  terjeda sebentar saat mendengar suara yang memanggilnya. Gadis itu menoleh ke sebelah kiri mendapati Reva yang sedang mengatur nafasnya. "Hai."

Reva memandang intens wajah Keyra yang begitu pucat. Mungkin karena efek kulit Keyra yang sangat putih itu jadinya jika wajahnya pucat itu akan sangat terlihat. "Key, lo sakit?"

Lagi dan lagi Keyra menggeleng lemah tanda tidak apa-apa. Tameng dalam dirinya begitu kuat hingga tak ada yang mampu menembus. Gadis itu terlalu membatasi perhatian orang lain padanya.

Reva mencibir kesal akibat betapa kerasnya otak Keyra. Tanpa izin, ia langsung menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis di sebelahnya. "Key, badan lo panas banget. Lo sakit, 'kan? Tolong, jangan bohong sama masalah ginian, Key."

"Gue gapapa, Rev," jawab Keyra. Si gadis langsung melenggang begitu saja meninggalkan temannya yang masih bergeming di tempat asal.

Sadar akan kehilangan jejak, Reva langsung beranjak. Matanya menangkap sosok Keyra yang sedang berdiri dengan tembok pembatas koridor sebagai tumpuan. Dapat dilihat oleh Reva langsung, bahu Keyra bergetar naik turun dengan laju. Tangannya juga sesekali berpindah memegangi kepalanya.

"Key, pliss dengerin gue. Gue tau lo yang sekarang bukan kayak lo yang dulu. Tapi Key gue khawatir kalo lo kayak gini terus. Sampai kapan Key sampai kapan lo kayak gini?"

Keyra terlonjak. Sebisa mungkin ia menetralkan kembali kondisi tubuhnya. "Maaf." Hanya itu yang bisa diucapkan Keyra sebagai balasan.

"Apa gue gak pantas lagi jadi sahabat lo,  Key? Apa lo gak anggap gue lagi sebagai sahabat lo? Jangan karena orang tua lo gak peduli sama lo, sikap lo jadi berubah gini, Key." Tatapan nanar menguasai penglihatan Keyra. Baru kali ini ia mendengar cibiran dari temannya sendiri. Baru kali ini ia mendengar keluhan dari Reva langsung. 

Untunglah saat ini hanya ada Reva dan Keyra di kelas, jadi teman-teman mereka tak akan kepo.

Senyum kecil terpatri di bibirnya. Tangan yang tadinya memegang tembok dipaksakan untuk menggenggam tangan Reva membuat gadis itu hampir saja oleng jika tak segera Reva stabilkan.

"Bukan gitu maksud gue, Rev.  Ah ... maaf,  Rev. Maafin gue. Gue yang gak pantas jadi sahabat lo, Rev. Gue yang gak berguna. Hidup gue hancur, Rev. Hidup gue hancur. Orang tua gue emang gak peduli sama gue, jadi gue mohon, lo gak usah peduliin gue hanya karena rasa kasihan saja."

Reva terkejut saat Keyra tiba-tiba berteriak kemudian disusul suara sendunya. Berkali-kali Reva menghentikan tangan Keyra untuk berhenti memukul dadanya sendiri. Namun, semua sia-sia. Tenaga Reva terlalu lemah jika dibandingkan dengan tenaga Keyra.

Ia merutuki dirinya sendiri sudah membahas hal yang sensitif bagi Keyra. Kata-kata bodoh seolah berputar di atas kepalanya, sesekali dara itu mengumpat menyadari betapa bodoh mulutnya saat ini.

Menyadari tangannya terasa ringan, Reva langsung mengedarkan pandangan. Matanya terbelalak menemukan Keyra yang sudah berdiri di atas pembatas koridor. Di bawah sana, banyak pekikan-pekikan meminta agar gadis itu berhenti. Termasuk Kesya.

Langsung saja dia mencekal pergelangan tangan Keyra saat kestabilan posisinya hampir hilang. "Key, pliss jangan gini, Key.  Gue takut kehilangan lo. Bukan cuma gue, semua juga gak mau lo kenapa-kenapa."

"Maafin gue ya udah ngomong yang nggak-nggak sama lo. Tolong turun, Key. Jangan bikin semua cemas." Cekalan tangan Reva semakin menguat seiring melemahnya kondisi Keyra. Mata gadis itu sungguh terlihat sayu dengan wajah yang semakin memucat.

"Lo gak ada salah kok, Rev. Semua yang lo omongin emang benar. Gak ada yang peduli sama gue, bahkan saat gue mati nanti sekalipun."

Tiba-tiba nafas Keyra tersengal-sengal. Nafasnya putus-putus dan pendek.

"Key, lo kenapa, Key?" panik Reva.

Keyra mengacungkan jempol sebelah kanannya pertanya ia baik-baii saja. "Gu ... e gapa ... pa," jawab Keyra dengan nafas semakin tersengal.

Perlahan Keyra menutup matanya dan itu membuat Reva semakin panik. Tubuh sahabatnya semakin melemah, begitu pula dengan cengkraman tangannya.

Tak ada kemungkinan jika dia menarik paksa tangannya, yang ada tubuh Keyra akan terbentur ke lantai keramik. Tapi, kalau dibiarkan juga bisa-bisa tubuh Keyra terjun bebas ke lapangan basket.

"Key, bangun, Key."

Reva mengerang pelan. Tenaganya semakin menipis. Keringat sudah mengguyur telapak tangannya membuat pegangan tangannya dengan Keyra semakin berjarak. Reva sudah kelimpungan sendiri. Ia tak tahu harus bagaimana lagi, semua berjalan begitu cepat karena kebodohannya sendiri.

"SIAPAPUN TOLONG KEYRA. LO SEMUA YANG DI BAWAH GAK ADA OTAK, HAH? KERJAAN KALIAN CUMA NONTON AJA GITU? NYAMPAH DOANG, ANJ*NG."

Barulah Reva melihat kerumunan yang tadinya berkumpul itu langsung berkecimpung mondar-mandir. Jika saja keadaan sedang normal, mungkin ucapan pedasnya akan berbuih.

Tak lama, mata gadis itu melotot sempurna. Pegangan tangan keduanya kini hanya terpaut jari jempol dan jari manis. Dengan segera dia kembali mencari bala bantuan di sekitarnya.

"KEYRA!!!"

💦💦💦
Halo, gimana nih part versi revisinya? Gak ada kemajuan ya? Atau gimana? Beri tahu diriku agar aku bisa memperbaiki. Aku tak mau menjadi sempurna, hanya saja aku ingin memantaskan diri.
Etdah bocah ketikannya, wkwk.

Jangan lupa buat jejak lho ya. Jangan jadi sider, karena dicintai dalam diam dan sepihak itu menyakitkan.

Revisi : 10 Agustus 2020

Girl Alone (PROSES REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang