"GIBRAN!"
Gibran menoleh kebelakang. Melihat kedatangan Zian cowok itu bertepuk tangan. "Hebat, sekarang pahlawannya dateng."
Napas Zian memburu, cowok itu melirik Syaza sekilas kemudian menarik kerah Gibran. "Lo apain Syaza?"
"Dia bilang katanya nyokapnya bakal marahin gue. Ya gue ingetin lah kalo nyokapnya—"
PLAK.
Gibran mendesis, memegang pipinya yang memerah. Zian baru saja menamparnya. "Kok lo ngelunjak si, bego?" Gibran tanpa takut ikut menarik kerah Zian.
Mereka dua-satu.
"Lo giniin Syaza karena dia nolak cinta lo, iya kan?" Zian berbisik sinis.
Alis Gibran terangkat, "Tau dari man—OHH jadi Syaza ngadu sama lo?"
"Nggak."
"Masa?"
"Lo butuh bukti." Zian melirik Syaza, kemudian mengangkat satu alis pada Gibran.
"Nggak, usah. Nggak, usah." Gibran menggeleng congkak. Mata cowok itu menyorot ke belakang Zian, seperti memberi kode, dan. "Gue, benci sama lo."
Bugh.
Zian terdorong kedepan, Gibran menyingkir. Ujung kursi langsung menyambut pelipis Zian—yang langsung mengalirkan darah. "AARGH."
"Bangsat," Marsel mendorong Gibran hingga cowok itu terjerembab. "GUE BUTUH PENGORBANAN CUMA BUAT DAPETIN MAAF NYA ZIAN. Tapi lo..?"
Air mata Marsel menetes, "Asal lo tau. Zian emang brandal, tapi dia lebih tau cara bersikap terutama sama perempuan, dibanding lo." Marsel menekan setiap kalimatnya.
Zian yang kini berada dalam pelukan Syaza tersenyum mendengar setiap kalimat yang Marsel ucapkan. "Syaza, anaknya Bunda Mutiara yang paling cantik."
Syaza memandang Zian, sorot matanya penuh luka.
"Bilang sama Marsel, aku maafin dia." Zian runtuh dalam pelukan Syaza. []
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIAN
Teen Fiction[COMPLETED ✓] "Lo bisa jauhin gue kalau lo mau." 2#simplestory 12'19 @copyright2019dhiyaauliahnf