“Pembimbingmu benar-benar gila, Na! Aku hampir aja pingsan kalau nggak inget lagi sidang tadi.” Putri melepaskan almamaternya karena merasa gerah. Padahal, suhu ac begitu rendah mungkin karena efek kecemasannya yang membuat jantungnya lebih banyak bekerja sehingga ia sendiri merasa lelah dan gerah.
Nafla terkekeh pelan sebelum ponselnya berbunyi dan Nafla menatap sang dialler dengan horor.
Pak Asgaf DP1 memanggil...
Ada apa ini?
Nafla memilih untuk menjauh dari teman-temannya demi mengangkat telepon dari pria tua yang membuat semangatnya lenyap bagaikan debu.
Baru saja Nafla menjawab, suara maskulin itu segera berbicara,
“Keluar. Saya tunggu kamu diparkiran.”
Setelahnya, panggilan terputus begitu saja. Lagi-lagi Nafla mendengus tidak suka. Selalu saja seenaknya sendiri! Menghentakkan kakinya kesal, Nafla meminta izin untuk pulang lebih dulu dengan alasan ibunya meminta dirinya untuk ditemani belanja.
Ia menuju parkiran depan dimana mobil dosen terparkir sangat rapi. Melirik sekitar, Nafla melihat mobil sport milik Pak Asgaf terparkir, tidak hanya mobil sport-nya, namun Pak Asgaf juga sedang berdiri di sebelah mobilnya sambil berbicara dengan Miss Diana. Keduanya tampak serius berbincang sehingga Nafla merasa enggan menghampiri mereka. Tapi, sayang karena Pak Asgaf lebih dulu melihatnya.
“Miss,” sapa Nafla sedikit menunduk untuk menghormati dosennya.
“Nana? Mau konsul ya sama Pak Asgaf?”
Nafla mengangguk tipis. “Iya, Miss.”“Ya sudah, kita berangkat saja,” sela Pak Asgaf cepat lalu menekan tombol di kunci mobil untuk membuka pintu. Membiarkan Diana masuk ke dalam mobilnya membuat dahi Nafla berkerut bingung. “Dia nggak bawa mobil. Jadi, berhubung searah, dia minta tolong. Kamu nggak keberatan, ‘kan?” tanyanya sambil menatap Nafla lekat.
“Tidak sama sekali,” gelangnya mantap kemudian memilih untuk duduk di belakang membiarkan Miss Diana duduk di depan tanpa banyak bicara.
“Na, duduk depan!” tegur Asgaf saat melihat calon istrinya itu memilih untuk duduk di belakang. Membuat kerutan di dahi Diana terlihat jelas.
“Sa-saya belakang aja, Pak.” Nafla menatap Asgaf dengan pandangan memohon untuk tidak berdebat di depan dosen perempuannya ini. “Lagipula, saya ingin istirahat sebentar,” lanjutnya kemudian pura-pura memejamkan matanya.
Asgaf menyerah, ia tidak mungkin berdebat dengan gadis keras kepala itu saat ini. Membiarkan Diana duduk di depan dan memimpin jalan ke rumahnya tanpa banyak kata hingga mereka sampai di sebuah komplek perumahan mewah milik Miss Diana.
“Ayo, Pak mampir dulu... Na, mampir dulu yuk?” ajak Miss Diana ramah.
“Kami buru-buru. Mungkin lain kali kami akan mampir.”
Diana mengangguk pelan, rasa penasarannya semakin menjadi saat pria itu menggunakan kata ‘kami’. “Ah, kalau begitu hati-hati dan terima kasih Pak Asgaf.”
Asgaf mengangguk tipis sebelum menatap Nafla tajam memberi isyarat. Nafla mendengus dan turun untuk pindah ke kursi depan. Ia memakai seatbelt-nya lalu tersenyum pada Miss Diana yang masih menatap kepergian mereka.
Tak ingin banyak bicara, Nafla memilih memejamkan matanya erat.
“Kamu sudah makan?”
“Saya nggak lapar, Pak. Saya mau pulang langsung.”
Asgaf melirik calon istrinya itu sekilas. Wajah Nafla terlihat pucat dan lelah. Ia menghentikan mobilnya kemudian meraba dahi Nafla yang lumayan panas.
“Kamu nggak tidur semalam?”
Nafla berdecih dalam hati. Memangnya siapa yang sudah membuatnya tidak bisa tidur sampai saat ini?
“Nggak. Insom,” jawabnya singkat tanpa berniat untuk membuka mata.
Asgaf tidak menjawab apapun dan hanya melajukan mobilnya sampai mereka tiba di suatu tempat. Membuat Nafla membuka matanya dan menatap heran karena kini mereka ada di rumah sakit.
“Ngapain ke rumah sakit? Bapak sakit?”
“Saya bukan Bapak kamu! Stop panggil saya Bapak.”
Nafla terkekeh pelan. “Bapak nggak ngerasa udah tua?” tanyanya keceplosan.
“Turun, Nafla. Saya lagi nggak mood ladeni orang sakit dan jangan coba pancing amarah saya!”
Nafla mencabik pelan, “Darah tinggi aja terus...”
“Nafla!” tegur Asgaf tidak sabar.
“Iya iya! Ribet amat sih, Pak. Amat aja nggak ribet,” celotehnya asal sambil berusaha turun dari mobil. “Lagian ngapain coba ke rumah sakit?”
“Periksa keadaan kamu. Saya nggak suka kamu jadi drop gara-gara nikah sama orang setampan saya.”
“Ha ha ha, lucu!” balas Nafla hambar. “Bisa ya, Pak ngelawak. Tapi, maaf nih Pak. Perasaan nggak ada yang bilang Bapak tampan. Orang-orang taunya Bapak itu kejam, sadis, dan nggak punya perasaan!”
“Kamu makin ngelantur,” Asgaf membantu Nafla yang tampak sempoyongan. “Jangan biasakan nggak tidur kecuali kalau sudah nikah sama saya. Saya janji nggak akan biarin kamu tidur sebelum saya puas.”
Nafla menggelengkan kepalanya yang tampak buram. “Saya nggak ngerti Bapak ngomong apa.”
“Kamu pasti ngerti setelah kita praktek nanti,” sahutnya sebelum menggendong Nafla yang tidak lagi mampun untuk berjalan. Membawa gadis itu ke UGD untuk diperiksa keadaannya.
“Bapak mesum,” gumamnya pelan nyaris tak terdengar.
“Kalau nggak mesum berarti saya bukan laki-laki.”
“Saya pusing, Pak,”
Asgaf tersenyum tipis. “Tahan, sebentar lagi sampai. Jangan sampai kamu pingsan. Terus bicara sama saya.”
“Saya lelah ngomong sama Bapak,”
“Saya nggak pernah lelah ngomong sama kamu, Na,” jawabnya sebelum membiarkan para dokter memeriksa keadaannya.
●●●
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
General FictionSUDAH TERSEDIA VERSI AUDIOBOOK YA GAESS!! CUSS LANGSUNG KE APP POGO DAN SEARCH, MIKAS4 ;) ** Nafla tidak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi dengan seorang duda. Bagaimana dia harus menghadapi pria yang usianya empat belas tahun lebih tua? ...