“Kak, lihat deh... Caca dapat nilai A,” gumam Caca dengan riang sambil menyodorkan buku latihannya ke depan mengingat ia duduk di jok tengah saat ketiganya beranjak pulang.
Nafla tampak pura-pura menilai dan menggeleng pelan. “Seharusnya kamu dapat nilai B+, Ca.”
Dahi Caca berkerut bingung. “Kenapa begitu?”
Nafla sedikit memutar posisinya menghadap ke belakang. “Setelah senin hari apa?”
“Selasa,” jawabnya yakin yang membuat Nafla mengangguk sebelum memperlihatkan buku yang sempat Caca berikan.
“Lihat deh, ini harusnya Tuesday bukan Thursday.”
Mata Caca melebar sebelum menepuk dahinya sendiri dengan pelan. “Berarti Caca salah dong, Kak. Caca soalnya suka kebalik hari selasa sama kamis.”
Nafla terkekeh dan mengacak rambut Caca yang lepek akibat keringat. “Nggak pa-pa. Kakak dulu juga gitu, sering kebalik antara eye,” Nafla menunjukkan matanya. “Dengan I yang artinya saya.”
“Terus cara kakak membedakannya apa?”
“Kalimatnya dong, Sayang,” jawab Nafla cepat. “Tapi, kalau sudah terbiasa, lama kelamaan kita juga bakal ngerti sendiri..”
“Aku pengen pinter Bahasa Inggris kayak Kak Nafla.”
Asgaf yang sedari tadi menyetir hanya bisa mendengarkan ocehan dua perempuan yang berbeda usia tersebut. Sesekali ia mencuri dengar lalu tersenyum tipis.
“Papa Caca juga pintar Bahasa Inggris.”
“Papa sibuk, Kak. Nggak bisa ajarin Caca setiap waktu,” gumam gadis kecil itu cemberut.
“Sebentar lagi juga Kak Nafla bakal ngajarin kamu terus, kalau perlu setiap malam.” Asgaf melirik Nafla yang terdiam di tempatnya. “Itupun kalau Kak Nafla nggak sibuk kerja kayak Papa, Ca,” sindirnya yang mendapat tatapan kesal dari Nafla.
“Memang Kak Nafla mau ajarin Caca setiap malam? Apa Kak Nafla nggak capek bolak-balik? Atau Kak Nafla nginep di rumah Caca?”
Dan pertanyaan bertubi dari Caca membuat Asgaf dan Nafla terdiam sejenak karena memang gadis kecil itu tidak tahu bahwasanya sang ayah telah memilih ibu tiri untuk putri kecilnya.
“Kakak jawab aku,” desaknya tak sabar.
Menghela napas pelan, Asgaf memilih berujar. “Mulai dua minggu lagi, Kak Nafla akan tinggal di rumah kita. Kamu suka ‘kan?” tanya Asgaf sambil melirik putrinya melalui kaca depan.
“Tinggal? Maksud Papa tinggal selamanya? Sama kita?”
“Iya, Sayang. Kamu suka nggak?”
Caca mengangguk antusias. “Caca suka, Pa. Caca berarti ada kawan sekarang.”
“Nggak itu aja,” sela Asgaf cepat. “Kak Nafla juga akan jadi Mama Caca.”
Anggukan antusias tadi seketika lenyap. Tawanya menghilang membuat Nafla pasrah kalau memang Caca menolaknya.
“M-maksud Papa?”
Asgaf menghentikan mobilnya tepat di perkarangan rumahnya. Ia menoleh ke belakang dan menatap putrinya yang menunggu jawabannya.
“Kak Nafla akan jadi Mama kamu. Kamu suka, ‘kan?”
“Mama tiri? Seperti yang teman-teman Caca bilang? Iya, Pa?”
Mau tidak mau Asgaf mengangguk. Ia melirik Nafla yang terdiam di sebelahnya tanpa berani membuka mata. Entah kenapa, Nafla seketika takut merasa ditolak oleh gadis kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
General FictionSUDAH TERSEDIA VERSI AUDIOBOOK YA GAESS!! CUSS LANGSUNG KE APP POGO DAN SEARCH, MIKAS4 ;) ** Nafla tidak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi dengan seorang duda. Bagaimana dia harus menghadapi pria yang usianya empat belas tahun lebih tua? ...