"Mas Asgaf?" tegur Rena saat melihat kehadiran Asgaf tiba-tiba, membuat Nafla yang awalnya tidak sadar akan kehadirannya, kini menatapnya sedih.
Asgaf mendekati sang istri lantas mengecup ubun-ubun Nafla. "Kamu kenapa?" tanyanya lembut melihat sang istri yang sama sekali tak ada gairah untuk sekedar menyambutnya. "Apa yang dia katakan?" lanjutnya sambil menunjuk Rena dengan benci.
"Mas-" tegur Rena hendak menjawab karena tidak terima disalahkan.
"Aku nggak pa-pa. Aku mau pulang sekarang," sela Nafla cepat. Ia hendak beranjak lebih dulu namun lagi-lagi Rena bersuara,
"Aku cuma kasih tahu Nafla apa yang kamu suka dan yang tidak kamu suka, Mas. Dia-"
Seketika Asgaf langsung menatap Rena tajam dan berdesis pelan, "Apa yang aku suka dan tidak aku suka bukan urusanmu, Rena! Ingat, kamu nggak berhak ikut campur urusan rumah tangga adikmu!"
"Tapi, Mas-"
Asgaf menggeleng, menarik tangan Nafla lalu membawa wanitanya segera keluar dari sana tanpa memperdulikan Rena yang terus memanggilnya berulang kali.
Di dalam mobil, Nafla terus mempertahankan sikap diamnya karena setiap ucapan Rena terus terngiang-ngiang di kepalanya. Seandainya saja Mas Asgaf mengetahui semuanya, semua kesalah pahaman kakaknya, apakah mungkin Mas Asgaf memaafkan kakaknya dan meminta mereka kembali bersama? Mengingat waktu yang mereka habiskan tidaklah sedikit, namun nyaris 10 tahun. Dan Nafla yang baru menjalaninya sehari ini akan tersisihkan begitu saja.
"Na,"
"Kenapa Mas nggak cerita?" Nafla menyela cepat. Menatap nanar sosok Asgaf yang sedang menyetir. "Kenapa Mas nggak kasih tahu aku apa yang Mas suka dan nggak Mas suka? Mesti aku tahu dari orang lain? Orang yang tak lain adalah istri Mas sendiri?" ia benar-benar tidak mampu menahan air matanya yang mengalir begitu saja.
Asgaf segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang lumayan sepi. Ia menghela napas pelan sebelum menangkup wajah Nafla yang memerah akibat tangisan wanita itu. "Sayang, kita selesaikan di rumah ya? Mas janji akan cerita semua sama kamu apapun yang Mas suka dan nggak Mas suka," jemari kukuhnya menghapus air mata Nafla dengan lembut. "Mas cuma mau kita saling mengenal bukan dari cerita diri kita masing-masing melainkan dari tingkah laku, kelakuan, dan lain-lain. Karena kita hidup bersama bukan untuk sementara, Na, tapi untuk selamanya." Ia tersenyum tipis sambil menarik pelan hidung yang juga memerah sedikit itu. "Kalau sudah begini, Mas akan cerita. Kamu juga harus janji cerita sama Mas tentang kesukaan kamu dan tentang apapun yang kamu benci. Paham?"
Nafla tidak ingin membesarkan ego dengan mempertahankan haknya untuk tetap bersikap tidak acuh, tapi dia belajar untuk mempertahankan rumah tangganya yang diibaratkan masih seperti bibit tanaman yang tidak diketahui akankah berhasil tumbuh dengan subur atau tumbuh sebentar lalu layu dan mati?
"Iya, Mas,"
Asgaf tersenyum sambil memberikan kecupan singkat di bibir Nafla. Ia kembali mengendarai mobilnya dan bergumam, "Nanti malam Mama ngantar Caca ke rumah kita. Jadi, mungkin dia akan tinggal bersama kita."
"Hm," sahut Nafla pelan sambil memandang luar jendela mobil.
"Kalau tahu yang kamu temui adalah Rena, Mas pasti nggak akan mengizinkanmu pergi. Mas tahu pasti kamu jadi seperti ini."
Nafla menggeleng tanpa niat menoleh. "Nggak ada hubungannya sama Kak Rena. Lagipula, ilmu yang dia punya lumayan bisa bantu aku untuk mengetahui Mas lebih jauh."
"Na-"
"Mas, Nafla capek. Mau istirahat." Dan Nafla memejamkan matanya erat setelah menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada sandaran kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
General FictionSUDAH TERSEDIA VERSI AUDIOBOOK YA GAESS!! CUSS LANGSUNG KE APP POGO DAN SEARCH, MIKAS4 ;) ** Nafla tidak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi dengan seorang duda. Bagaimana dia harus menghadapi pria yang usianya empat belas tahun lebih tua? ...