Bagian 19

70.8K 4.9K 51
                                    

"Pak," Nafla memanggil pelan sambil menatap tangannya yang bertaut dengan tangan kukuh milik dosennya. Tampaknya Asgaf tidak berniat melepaskan Nafla barang sedikit saja mengingat sejak tadi ia tak berhenti menggenggam tangan gadis itu.

"Hm," sahutnya tak menjawab. Menatap lekat Nafla yang akhir-akhir ini selalu tertekan. "Apa yang kamu pikirkan?"

"Keluarga Bapak," jawabnya lemah lalu menunduk. "Saya takut mereka nggak mau terima saya."

"Na, yang mau menikah itu saya bukan keluarga saya dan yang menjalani pernikahan ini juga saya bukan mereka. Saya percaya kalau kamu itu jauh beda dengan kakak kamu. Saya mempertaruhkan hidup saya untukmu, Na, dan yang perlu kamu lakukan adalah setia sama saya." Asgaf melirik pemandangan patung kuda putih yang di kelilingi oleh bunga. "Jangan pernah hancurkan kepercayaan yang saya kasih ke kamu, Na."

Nafla terdiam lama. "Pak," panggilnya lagi dengan nada pelan.

"Ada lagi yang menjadi bebanmu?"

Gadis itu mengangguk. "Saya takut sama Kak Rena. Saya juga ngerasa nggak enak sama dia. Saya..."

"Rena nggak ada lagi urusannya sama kita. Kami sudah bercerai baik di mata hukum maupun agama, Na. Jadi," wajah Asgaf seketika mendekat. Melepaskan tautan jari mereka sebelum mengelus kelopak mata bawah Nafla yang tampak membengkak. "Jangan pikirkan apapun lagi. Lihat, mata kamu saja sudah bengkak dan terlihat jelek. Mau jadi pengantin paling jelek yang pernah ada?"

Nafla cemberut membuat Asgaf tersenyum tipis. Pria itu membawa kepala Nafla ke bahunya agar gadis itu bisa bersandar.

"Bapak nggak terima saya apa adanya? Atau benar Bapak mau nikah sama saya Cuma untuk buktiin kalau sebenarnya Bapak nggak gay- awh!" ringisnya saat hidungnya di tarik. "Bapak sakit!" Nafla memukul pundak Asgaf.

"Baru saya cubit sedikit sakit, belum lagi kamu saya tusuk."

"Memang saya sate, ditusuk-tusuk!" sungutnya sambil mengusap hidungnya yang memerah.

Asgaf tertawa renyah. "Ya sudah, saya ganti bahasanya. Disuntik?"

"Iih, Bapak apaan sih!" Nafla merasa malu. Pipinya merona seketika. "Mesum banget."

"Sakitnya pas di awal kok, Na. Ntar lama kelamaan kamu juga menikmatinya." Asgaf tampak tidak peduli dengan wajah Nafla yang kian memerah. "Suntikan saya itu spesial bahkan bisa jadi janin di rahim kamu." Asgaf mengendikkan kepalanya pada perut datar Nafla. "Saya berharap bahwa kita punya anak-anak yang banyak dan lucu."

"Memang melahirkan enak? Belum lagi perut besar yang dibawa kemana-mana."

"Itu sudah tanggung jawab kamu sebagai seorang perempuan, Na," selanya cepat. "Yang penting perut kamu juga besar karena saya bukan pria lain."

"Saya jadi jelek nanti, Pak. Sekarang saja wajah saya pas-pasan, apalagi nanti dengan perut buncit-"

"Memangnya saya peduli? Kalau kamu nggak percaya diri, kamu bisa ajak saya kemana pun kamu pergi. Supaya orang-orang tahu kalau wanita jelek dan gendut karena sedang hamil itu adalah istri saya!"

Nafla mendesah seketika. Apapun yang ia katakan akan selalu ada jawabannya. "Saya kayaknya nggak bisa protes apapun selama sama Bapak."

"Karena tugas kamu itu menuruti permintaan suami bukan melawan suami." Asgaf lantas berdiri dan menarik tangan kecil Nafla. "Sekarang saya antar kamu pulang. Istirahat di rumah. Kalau bisa hindari Rena semampu kamu karena saya nggak mau terima alasan kamu sakit karena nggak ada tenaga di hari pernikahan kita."

"Iya, Pak," sahut Nafla patuh karena dia benar-benar tidak ingin lagi berdebat.

"Satu lagi," gumam Asgaf, "Selesai nikah, saya mau kamu panggil saya 'Mas'. Nggak ada bantahan, Nafla!" serunya saat melihat mulut Nafla hendak terbuka. "Karena saya bukan lagi dosenmu tapi suamimu. Beda halnya jika kita di kampus."

Lagi-lagi Nafla mengangguk cepat. Ia akan mengiyakan semua permintaan Pak Asgaf asalkan mereka cepat pulang dan sampai ke rumah dan beristirahat.

●●●

"Dek," tegur Rena saat dia baru saja masuk ke dalam rumah. Seketika badan Nafla menegang karena tidak pernah ia dan Rena bertegur sapa. Lalu, kini kakaknya lebih dulu memanggilnya. "Bisa kita bicara?"


Nafla menelan ludah gugup. Perasaannya mendadak kacau, tapi bagaimana pun ia harus menghadapi sang kakak. Tidak mungkin ia bersembunyi selamanya, bukan?

"Apa yang mau kakak bicarain?" tanyanya datar seakan mereka tidak pernah berpisah. "Tentang Pak Asgaf? Atau tentang pernikahan aku?"

Rena tersenyum tipis. "Kamu nggak kangen sama Kakak, Na?"

Pertanyaan sensitif Rena membuat Nafla terdiam cukup lama. Tentu saja dia merindukan Rena, tapi rasanya salah mengingat apa yang telah Rena lakukan pada anaknya sendiri yang tak lain adalah keponakan Nafla.

"Kangen?" tanyanya disertai senyuman miris. "Kakak bahkan nyaris memukulku saat itu. Mengira aku adalah wanita yang telah meracuni pikiran Pak Asgaf padahal aku dan dia belum ada hubungan." Nafla mendekati sang kakak, menatap lekat wanita yang telah menghancurkan segalanya. "Dan sekarang, aku benar-benar akan memiliki hubungan dengan mantan suami Kakak. Apa yang akan kakak lakukan, hm?" Nafla menatap berani sosok kakaknya. "Membunuhku?"

Rena menggeleng pelan. "Maafin Kakak, Na," ia mundur satu langkah. "Tapi, Kakak mohon sama kamu jangan lanjutin pernikahan ini. Kakak ingin menebus semua kesalahan Kakak, Na," pintanya lemah. "Kakak masih mencintai Mas Asgaf. Kakak juga merindukan anak Kakak, Na. Cuma kamu yang bisa bantu Kakak."

Nafla membuang wajahnya ke samping saat melihat sang kakak menangis di depannya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat saat air matanya juga turut mengalir. Nafla berdeham pelan, "Pak Asgaf yang memutuskan, bukan aku. Jadi, kalau Kakak berniat untuk membatalkan pernikahan kami. Silakan minta sama dia jangan sama aku."

"Na, please...," gumam Rena saat melihat adiknya hendak melangkah. "Apa perlu Kakak sujud di kaki kamu? Kamu tahu selama ini Kakak seperti orang gila yang mengemis padanya dan itu nggak berhasil."

Nafla menarik napas dalam-dalam dan bergumam, "Kalau selama ini saja nggak berhasil, berarti memang Pak Asgaf sudah melupakan Kakak." Nafla melirik Kakaknya yang menangis sesenggukan. "Aku nggak bisa berbuat banyak, Kak. Kakak tahu sendiri 'kan sifat mantan suami Kakak itu seperti apa? Dia konsisten pada pilihannya, Kak. Itu yang aku tahu sebagai pembimbingku." Dan Nafla benar-benar pergi meninggalkan Kakaknya seorang diri.

Namun, tak jauh dari sana, Sandra melihat segalanya. Ia juga sudah di telepon oleh Viona agar pernikahan mereka tetap dilanjutkan. Sandra merasa prihati melihat puteri sulungnya seperti ini. Rasanya keluarganya kini benar-benar hancur. Jika saja Rendra mampu mendidik keluarganya dengan benar, maka hal seperti ini pasti tidak akan terjadi. Namun, pria itu sendiri sudah membuat kesalahan fatal dan memintanya kembali.

Sandra menghela napas pelan. Menatap langit ruangan rumah mereka dengan mata berkaca-kaca.

Haruskah ia kembali bersama suaminya? Lalu, bagaimana dengan Dona? Tidakkah ia kejam telah memisahkan Dona dan Mas Rendra disaat mereka juga sudah memiliki anak?

Sandra menggeleng pelan. Semua juga salahnya. Dia yang tidak pernah memberikan waktu untuk keluarganya, dia yang tidak pernah mendidik Rena dengan baik karena pekerjaannya yang sibuk, dan dia yang salah telah membiarkan babysitter mengasuh Rena selama 11 tahun tanpa campur tangannya.

Ya Allah... Apa yang sudah kuperbuat? Bagaimana aku bertanggung jawab atas kesalahan puteriku dihadapanMu kelak?

Dan Sandra tahu bahwa ia takkan lagi membuat pilihan yang salah. Dia tidak ingin menambah beban dirinya dengan menghancurkan pernikahan Rendra dan Dona. Ya, Sandra tidak akan lagi membuat keputusan yang salah kali ini.

●●●

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang