Bagian 8

75.6K 5.9K 62
                                    

"Assalammualaikum," seru pria paruh baya yang tampak berkunjung ke rumah kediaman Pradipta.

Istri dari lelaki itu tampak menyenggol suaminya yang terus mengucapkan salam. "Kayaknya nggak ada orang, Mas."

Suaminya yang bernama Danu melirik putrinya yang kini diam menunduk di belakang kedua orang tuanya. "Eh, Nisa, bener ini rumah dosen kamu?"

Nisa mengangguk lalu menarik lengan kedua orang tuanya. "Ayah Ibu, kita pulang saja. Aku malu datang terus bawa beginian," gumamnya sambil menunjuk tentengan gula dan juga kue. "Yang ada entar skripsi aku makin diperlambat karena menyogok. Ayah nggak tau ya kalau Pak Asgaf itu tipe orang yang subjektif. Dia mana mau menerima ginian!"

Danu berdecak. "Lagian salah kamu juga. Udah enam tahun kuliah tapi nggak tamat tamat! Uang Ayah sama Ibu sudah habis! Padi sudah dijual gara-gara nguliyahin kamu. Jadi, sebaiknya kamu diam dan biarin Ayah sama Ibu yang ngomong sama dosenmu itu."

Tak jauh dari sana, ada Nafla yang mendengar dan juga Asgaf yang baru saja memarkirkan mobilnya. Tampaknya, keluarga itu sama sekali tidak menyadari kehadiran mereka sehingga pintu rumah Asgaf terbuka dan menampilkan sosok ibunya yang menyambut ramah tamunya. Melihat sekeluarga itu masuk, Nafla melirik Asgaf sekilas.

"Bapak sadar nggak sih kalau Bapak itu terlalu kejam sama mahasiswa kayak kami? Lihat tuh, mereka. Kasihan tahu, Pak," sungutnya tiba-tiba yang membuat alis tajam lelaki itu terangkat dan menatap datar sosok Nafla yang tampak sedih. "Orang tuanya bahkan rela datang dari kampung cuma untuk menemui Bapak dan meminta belas kasih." Nafla segera melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah dosennya. Meninggalkan pria itu begitu saja. Namun, tak berlangsung lama langkahnya terhenti seketika.

Nafla mengerutkan dahinya saat mengingat sesuatu bahwa ia tidak mungkin masuk melalui pintu depan mengingat ada kakak kelasnya disana. Tidak terlalu dekat dengan Nisa, namun Nafla cukup mengenal gadis itu mengingat mereka memiliki satu pembimbing yang sama dengan jadwal bimbingan yang sama pula.

"Kenapa berhenti?" suara Asgaf menyentak lamunannya. Nafla berbalik dan menatap laki-laki itu dengan pandangan memohon.

"Saya masuk dari samping saja, Pak. Nggak enak dilihat sama Kak Nisa."

"Nggak enak kenapa? Sebentar lagi semua orang juga akan tahu kalau kamu calon istri saya."

Nafla berdecak, jika ia menuruti untuk terus berdebat maka tidak akan ada habisnya. Sehingga, dengan langkah seribu ia meninggalkan Asgaf lalu memilih memasuki rumah Asgaf melalui pintu samping. Membuat pria itu menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah gadis yang sudah berhasil masuk ke dalam kehidupan pribadinya.

●●●

"... Seharusnya Bapak sama Ibu tidak perlu repot-repot seperti ini," gumam Viona saat tangannya dipenuhi oleh buah tangan pemberian keluarga Nisa.

Danu dan Mina tampak tersenyum segan. "Nggak apa-apa kok, Bu. Ini oleh-oleh dari kampung kami." Mina menyahut cepat. "Omong-omong, Pak Asgafnya sedang tidak di rumah ya, Bu?"

"Sebentar lagi juga-"

"Assalamu'alaikum," salam Asgaf saat masuk melalui pintu depan. Membuat keempat orang yang di ruang tamu seketika menoleh menatapnya dengan tatapan kaget.

"Nah, ini anaknya." Viona tersenyum lalu memperkenalkan tamu itu pada puteranya. "Gaf, ini orang tua mahasiswi kamu. Si Nisa," gumam Viona sebelum menatap Nisa yang kini menunduk tanpa berani menatap Asgaf. "Bener 'kan nama kamu Nisa?"

Nisa tersenyum canggung dan mengangguk. "Benar, Bu."

"Nah, ini orang tuanya." Viona lantas bangkit dari kursi. "Kamu ngobrol aja dulu sama mereka. Mama mau bikin minum."

"Tidak usah repot-repot, Bu. Kami tidak lama."

"Saya sama sekali tidak repot kok. Sebentar ya..." Tanpa menunggu jawaban, Viona segera ke dapur untuk menyuruh Ira yang merupakan pembantu mereka menyiapkan minum. Telinganya seketika mendengar suara orang tertawa di bagian dapur. Ia mempercepat langkahnya lantas terkejut melihat Nafla disana sedang membuat minuman yang dibantu oleh Ira.

"Lho, Sayang? Ngapain kamu disini? Sama siapa kemari?"

Nafla meringis pelan. "Maaf, Bu-"

"Mama jangan Ibu!" sela Viona cepat.

Nafla menurut dan mengangguk, "Sama Pak Asgaf, Ma. Nafla masuk lewat samping dan buatin minum buat tamunya Pak Asgaf."

Viona lantas tersenyum, "Ya sudah, kamu antar saja ke depan."

"Eh, nggak bisa, Ma... Nafla... Nafla... Buru-buru mau ke toilet." Kali ini mata Nafla melirik Ira yang seusianya sambil memohon, "Ra, kamu yang antar ya... Aku buru-buru." Lalu ia meninggalkan minuman itu, membiarkan Ira yang mengantarnya karena Nafla memang belum sanggup jika statusnya diketahui oleh orang lain selain keluarganya.

●●●

"... Jadi, intinya saya sebagai orang tua Nisa ingin meminta Bapak agar mempermudah skripsi anak saya," gumam Danu sedikit rasa segan terselip di benaknya walau sebenarnya dosen puterinya ini jauh lebih muda darinya. "Saya tahu ini lancang, tapi berhubung kami berdua sudah tua dan tidak sanggup lagi mencari uang, kami mohon atas keringanannya, Pak."

Asgaf masih memasang wajah datarnya. Mendengar seksama apa yang dikatakan oleh kedua orang paruh baya tersebut. Menilai penampilan mereka yang memang bukanlah berasal dari orang berada.

Tak lama kemudian, Ira mengantarkan empat buah sirup rasa leci yang dicampur dengan nata decoco buatan Nafla.

"Silakan diminum, Pak, Bu," tawar Asgaf membiarkan kedua orang tua itu meminum minuman yang mereka sediakan. Ia turut mencicipi sedikit minuman yang terlihat begitu segar, sebelum meletakkannya kembali ke atas meja. "Nisa, bukankah terakhir kali kamu konsul sama saya itu dua bulan lalu?" tanyanya langsung pada sosok mahasiswinya. Membuat Danu dan juga Mina menatap puterinya bingung.

Nisa perlahan mengangguk dan terus menunduk malu. "Iya, Pak."

"Jadi, dimana kamu selama dua bulan belakangan? Kamu bahkan sama sekali tidak mencari ataupun mengirimi pesan untuk mengajak saya konsul," ujarnya tanpa ragu sambil menatap Nisa sebelum menatap kedua orang tua mahasiswinya itu. "Pak, Bu, saya minta didikan Anda berdua untuk Nisa lebih diperketat karena dia yang telah melalaikan diri atas skripsinya sendiri. Saya sama sekali tidak memperlambatnya. Jadi, jangan salah paham," tuturnya tegas sambil menatap lurus pada ketiga sosok di depannya.

"Jadi, kamu yang lalai selama ini?" tanya Danu dengan nada tinggi.

"Ayah, sudahlah... Tidak enak sama dosennya Nisa." Mina menegur suaminya yang mulai terpancing emosi.

Danu menghela napas pelan dan memejamkan matanya erat. Ia menatap Asgaf penuh dengan permohonan maaf. "Saya minta maaf, Pak. Kalau begitu, kami permisi." Dan tak lama kedua orang tua Nisa menyalami Asgaf bergantian.

"Tidak pantas orang tua meminta maaf atas kesalahan anaknya. Seharusnya kamu malu saat ini, Nisa," tegur Asgaf tidak suka. "Saya akan memberikan waktu kamu satu minggu untuk memperbaiki skripsi BAB IV, setelahnya saya akan segera approve skripsimu untuk naik sidang. Ini saya lakukan untuk orang tuamu yang sudah bersusah payah kemari hanya karena kelalaianmu!"

Tidak memperdulikan perkataan dengan kejam itu, baik Danu dan Mina melebarkan matanya sambil mengucapkan terima kasih berulang kali kepada Asgaf akan kebaikan yang diberikan pria itu. Lalu, ketiganya segera pamit pergi dari rumah Asgaf.

"Menguping, Nafla?" tanya Asgaf tanpa menoleh yang membuat Nafla menggaruk pelipisnya tidak enak.

Nafla mendekati Asgaf pelan-pelan dan berujar, "Maaf, Pak. Saya kira Bapak yang sudah memperlambat skripsi Kak Nisa. Saya nggak tahu kalau Kak Nisa sendiri yang lalai." Dan ia benar-benar malu karena sudah mengira bahwa Asgaf yang menghambat skripsi kakak angkatannya itu.

"Saya tidak mengenal kata maaf, Na. Sebaiknya kata maafmu diganti dengan sesuatu yang bisa menyenangkan hati saya."

Nafla menyipitkan matanya curiga. Ia mundur satu langkah saat tatapan tajam Asgaf melucutinya. "M-Maksud Bapak apa?"

Asgaf memajukan tubuhnya, lantas tersenyum miring dan berujar dengan seduktif, "Mulai saat ini biasakan panggil saya dengan 'Mas', karena dengan begitu saya akan memaafkanmu."

●●●

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang