Bagian 11

74K 5.8K 92
                                    

“Hari ini fitting baju kamu ya?” ajak Sandra melihat putrinya yang baru saja bangun tidur. “Kan kamu hari ini nggak ke kampus, terus juga SK sidangmu keluar besok, ‘kan?”

Nafla menutup mulutnya yang menguap lebar. Mengucek matanya pelan sebelum duduk di kursi meja makan. “Fitting apaan sih, Ma?” serunya lalu meraih susu putih dan meminumnya mengingat subuh ia selalu menyempatkan menyikat gigi sebelum shalat. “Mama aja deh yang pergi sama Mama Viona. Aku mau leha-leha di rumah.”

“Ya nggak bisa gitu dong, Sayang.” Sandra meletakkan roti panggang selai coklat kesukaan Nafla. “Asgaf juga ntar nyusul setelah ngajar.”

Nafla memegang kepalanya yang terasa pusing. “Ma, aku perlu belajar untuk sidang yang sudah di depan mata! Masa mau fitting baju, sih.”

“Ya mau gimana? Pernikahan kamu itu tinggal hitungan minggu, Nafla. Lagipula, pembimbing kamu ‘kan calon suamimu sendiri, pasti kamu di lulusin deh.”

Nafla berdecak tidak suka. “Aku nggak suka di lulusin cuma gara-gara dia calon suami aku! Lalu, dimana jerih payah aku sendiri selama ini?”

Sandra tampak merenungi apa yang putrinya katakan. Ia mengangguk lalu menelepon Viona dan mengatakan bahwa fitting baju pengantin untuk Nafla ditunda hingga ia selesai sidang.

“Mama sudah tunda fitting baju kamu. Jadi, setelah sidang nanti nggak ada alasan untuk nolak cari baju.”

“Iya, Ma.” Nafla memakan dengan lahap roti bakar selai coklat tersebut. “Ma, apa perlu kita memberitahu Papa?”

“Terserah kamu. Mama bisa temani kalau kamu mau. Memangnya kamu nggak keberatan?” tanya sang ibu yang tahu bahwa sejak dulu Nafla tidak pernah akur dengan ayahnya yang pergi meninggalkan mereka.

Nafla mengedikkan bahunya. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan sang ibu dengan jujur. Namun, jika memang ia menemui ayahnya. Apakah ayahnya akan mau mendengar ceritanya? Atau ayahnya justru tidak mau menemuinya?

●●●

Pagi ini, Nafla disibukkan dengan semua barang-barang yang akan dibawanya untuk sidang. Ia mengenakan almamater dan mengikat rambutnya agar tidak mengganggu konsentrasinya ketika presentasi kelak.

Bahkan, Nafla sengaja membawa sendiri mobilnya tanpa disupiri oleh Pak Sardi karena ia benar-benar tidak ingin merepotkan siapapun. Gadis itu menggigit plastik snack lalu menenteng keluar dua buah plastik lainnya yang berisi buah-buahan dan juga berkas skripsinya.

Tak jauh dari sana, Asgaf yang melihat Nafla tampak keteteran memilih mendekat. Ia menggelengkan kepalanya sebelum mengambil alih kantong plastik yang digigit oleh Nafla.

“Apa kamu nggak bisa minta tolong?” tanya Asgaf sambil melirik isi kantong sebelum mengambil satu kantong lagi yang berada di tangan gadis itu. “Lagian ngapain kamu bawa makanan sebanyak ini? Kamu mau sidang atau mau pesta?”

Nafla mengerucutkan bibirnya, menatap jengkel pria yang kini berjalan disampingnya. “Bisa kali, Pak kalau ngebantu nggak usah cerewet!” sungutnya sambil menghentakkan kaki. “Lagian saya bisa sendiri juga tanpa Bapak bantu.”

“Oh ya?” tantangnya lalu meletakkan kembali kantong plastik yang ia pegang di depan Nafla. “Coba bawa. Saya mau lihat!”

Sialan!

Mengepalkan tangannya erat, Nafla segera mengambil dua kantong plastik. Walau berat dan sedikit susah, ia berjanji tidak akan meminta tolong pada dosen kurang ajarnya itu! Lalu, dengan segera Nafla meninggalkan Asgaf begitu saja yang tampak menahan senyumnya.

Sampai di depan prodi, barulah Nafla menghela napas lega. Meletakkan semua barangnya kemudian membuka SK sidangnya yang tertulis tempat dan jadwal disana. Sama seperti Putri, Nafla kena di ruang diseminasi bawah. Saat ia hendak beranjak, suara nyaring milik Ifa terdengar.

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang