"Caca, sudah belajar?" tanya sang ayah pada saat ketiganya baru saja selesai makan malam.
Caca menggeleng pelan. "Belum, Pa."
"Belajar sekarang. Kamu mau ujian, 'kan?"
Caca mengangguk sementara Nafla hanya mampu melihat interaksi keduanya. Apakah memang selalu seperti ini? Ia melihat Asgaf yang terlihat seperti seorang penguji saat ini sedang mendisiplinkan anaknya.
"Papa mau kamu mendapatkan hasil yang memuaskan walau tidak bisa jadi yang terbaik. Apa kamu paham?"
"Paham, Pa."
Asgaf mengangguk. "Bagus! Sekarang masuk ke kamarmu dan belajar."
"Iya, Pa."
Setelah Caca meninggalkan meja makan, Nafla bersuara pelan. "Apa nggak keterlaluan menyuruh Caca belajar dengan memaksanya seperti itu?"
"Jika tidak seperti itu, maka anak-anak akan ngelunjak, Na. Jangan terlalu memanjakan Caca ataupun anak-anak kita ke depannya karena Mas nggak mau mereka menjadi besar kepala dan ngelawan orang tuanya!"
Nafla terdiam lalu membersihkan piring kotor yang tersisa. Tiba-tiba saja, ia merasa pelukan dari belakangnya. "Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah menunaikan tugasmu sebagai istri," bisik Asgaf seduktif sebelum membawa Nafla ke dalam kamar. Mendorong Nafla hingga ke dinding lalu menahan pergerakan wanita itu.
Ia menyatukan kedua bibir mereka dan saling membelit di dalam sana. Nafla mencoba melepaskan pagutan tersebut karena merasa membutuhkan oksigen. "M-as... Hmmph..."
Asgaf menurunkan ciumannya dan menggigit leher putih Nafla tanpa membiarkannya membekas karena ia tahu bahwa esok Nafla akan ke kampus. Asgaf tidak ingin mempermalukan istrinya itu. Ia segera membuka pakaian Nafla lalu membawanya ke ranjang. Memberikan beberapa pemanasan sebelum menyatukan dua tubuh yang berbeda agar bisa saling melampiaskan hasrat masing-masing. Serta meleburkan rasa yang terpendam dalam diri masing-masing melalui pergulatan keduanya.
●●●
"Sayang, sarapan dulu," tegur Nafla kala melihat Caca seakan terburu-buru.
Caca menyiapkan barang sekolahnya dengan gelisah. "Caca udah telat, Ma," gumamnya gundah sambil memeriksa ulang bukunya yang hilang satu. "Ma, kemarin waktu Mama bersihin meja belajar Caca ada lihat buku latihan matematikan nggak?"
Dahi Nafla berkerut seakan memikirkan apakah dia melihatnya atau tidak. "Nggak, Sayang. Yakin kamu taruhnya di sana?"
Caca mengangguk. "Aduh, Ma. Itu guru Caca killer pakai banget!" ia mengusap wajahnya. "Mana PR Caca juga kesalin di buku itu lagi. Gimana nih, Ma?"
Saat Caca hendak menjawab, Asgaf keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Ia menatap puterinya bingung sebelum melirik jam tangannya. "Sudah jam setengah 8, kamu masih belum berangkat?"
"Pa... Caca libur hari ini boleh?"
"Kenapa? Kamu nggak sakit kan?"
Caca menggeleng pelan, sebelum menatap Papanya dengan takut. "Please, Pa..."
"Nggak boleh! Kamu harus tetap sekolah. Lagipula, Papa sama Mama sama-sama ke kampus. Nggak ada orang di rumah."
"Caca bisa ke rumah Oma atau main ke tempat Nenek Sandra."
Seketika, mata Asgaf menajam. "Sekali Papa bilang tidak, itu artinya tidak, Ca!"
Nafla kembali merapikan mengandung tas sekolah Caca dan bergumam pelan tanpa Asgaf mampu dengar. "Coba inget-inget, mungkin di pinjam temanmu bukunya."
Mata Caca seketika melotot. "Ya ampun Ma! Iya, Mama bener. Kemarin Tia datang ke rumah terus ambil buku aku!" ia segera menyalami ayah dan ibunya bergantian. "Pa, Ma, Caca pergi. Assalamu'alaikum," serunya sambil berlari ke luar rumah tanpa menunggu jawaban orang tuanya.
"Waalaikumsalam," sahut keduanya bersamaan. Seketika, Asgaf melirik Nafla dan berujar. "Kalau kamu masih lelah, kamu tunda aja ke kampusnya."
Nafla menggeleng pelan walau bagian pinggangnya terasa sakit akibat pergumulan semalam, namun masih bisa ia tahan. "Hanya pinggangku yang terasa pegal, Mas. Selebihnya aku baik-baik aja."
"Mas kasar ya semalam?" tanyanya lembut sambil menggenggam punggung tangan Nafla. "Maaf ya?"
"Nggak pa-pa kok, Mas."
"Lain kali Mas janji akan lebih hati-hati."
Nafla mengangguk. "Iya, Mas."
●●●
"Gimana? Udah urus berkas yudisium?" Nafla mengulum es krim yang ia beli baru saja. Keduanya duduk di kantin kampus untuk menunggu para dosen yang sedang rapat mengenai pergantian ketua program pendidikan yang baru.
Raya mengangguk lalu mendesah. "Aku bingung, Na," gumamnya sambil menatap makanan yang ada di depannya tanpa minat. "Setelah tamat, kita bakal jadi pengangguran nggak ya?"
Membahas masalah ini membuat Nafla mendesah pelan. Ia bahkan tidak tahu apakah Mas Asgaf mengizinkannya untuk bekerja atau tidak, karena sejak dia menikah, Nafla sama sekali belum membahasnya dengan sang suami.
"Na, kamu dikasih kerja sama Pak Asgaf?" Raya bertanya kemudian. Menatap Nafla penasaran.
"Aku belum bahas, Ra. Tapi, sebelum menikah juga Mas Asgaf udah ngingetin sih kalau aku nggak dibolehin kerja."
Raya menempelkan pipi kirinya di atas meja. "Itulah susahnya nikah sama orang dewasa. Apalagi sama Pak Asgaf yang pernah menjalani pernikahan sekali, pasti dia pengalaman banget dalam menangani seorang istri." Raya terlihat gelisah. "Apalagi istrinya seumuran kita, ya kamu, Na. Mudah banget kayaknya ngatur-ngatur gitu." Gadis itu benar-benar tampak tidak sedang baik-baik saja. "Aku jadi takut nikah."
"Hush!" tegur Nafla pelan. "Nggak boleh ngomong kayak gitu."
"Habisnya aku ngalamin sendiri gimana hubungan orang tuaku sekarang," gumaman itu jelas terdengar menyakitkan. Entah apa yang Raya alami yang jelas Nafla hanya bisa menghiburnya tanpa memaksa Raya untuk bercerita apa yang sedang terjadi. "Orang tuaku udah cerai, Na."
Nafla melebarkan matanya. Es krim yang di pegangnya seketika jatuh. "Ra,"
"Mereka memutuskan untuk bercerai kemarin," desahnya pelan. "Padahal, aku nyuruh mereka untuk bertahan setidaknya sampai aku wisuda. Jadi, ada kenang-kenangan yang bisa aku simpan." Raya tersenyum miris. "Tapi, mereka memilih untuk egois tanpa memperdulikan perasaanku. Mereka tetap memilih untuk segera bercerai tanpa memikirkanku sebagai anak mereka."
Nafla yang mendengar serta melihat Raya seperti ini, seakan merasakan apa yang terjadi karena memang ia lebih dulu mengalami hal tersebut.
"Orang tua itu kadang egois ya, Na?" matanya yang berkaca-kaca menatap langit-langit kantin. "Selalu memikirkan diri sendiri. Harusnya mereka tidak usah beranak saja jika memang tidak membutuhkan anak. Aku itu kayak hiasan aja di rumah. Hanya dirawat dan dijadikan pajangan."
"Ra-"
"Aku nggak butuh uang, Na. Aku cuma butuh mereka, aku butuh perhatian dan kasih sayang mereka."
Nafla menatap sang sahabat prihatin sebelum tangannya bergerak mengelus bahu Raya dengan pelan. "Aku nggak tahu mau ngomong apa, Ra. Tapi yang jelas, kamu keluarin aja semua uneg-uneg kamu biar perasaan kamu lega. Aku janji, nggak akan kasih tahu masalah kamu sama anak-anak yang lain."
"Makasih, Na. Setidaknya, ada kamu yang masih bisa aku percaya."
"Iya, sama-sama, Ra."
●●●
Nggak mau konflik berat kan?
Kita santai aja yaa kalo gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
General FictionSUDAH TERSEDIA VERSI AUDIOBOOK YA GAESS!! CUSS LANGSUNG KE APP POGO DAN SEARCH, MIKAS4 ;) ** Nafla tidak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi dengan seorang duda. Bagaimana dia harus menghadapi pria yang usianya empat belas tahun lebih tua? ...